MAKALAH ANALISIS PERKEMBANGAN KOGNITIF DAN BAHASA ANAK USIA DINI Menurut teori PIaget, Vygotsky dan Brunner
Tugas
individu MAKALAH
ANALISIS PERKEMBANGAN KOGNITIF DAN BAHASA
ANAK
USIA DINI
Diajukan untuk memenuhi tugas individu dari
mata kuliah Bermain dan Permainan Anak Usia Dini
Dosen Pengampu :
Gustiana, M. Pd
Disusun Oleh :
Nama : Nugroho Galih Wicaksono
NPM : 1411070184
Jurusan :
Pendidikan Guru Raudhatul Athfal
Kelas :
D
Semester : II (dua)

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
PENDIDIKAN GURU RAUDHATUL ATHFAL
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
TAHUN 2015
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr, Wb.
Segala puji bagi
Allah SAW yang telah memberikan rahmat dan kenikmatan iman dan Islam terhadap
kita semua. Atas petunjuk-petunjukNya sebagaimana yang terkandung didalam Al
Qur’an dan As Sunnah, petunjuk menuju ke
jalan yang lurus dan jalan yang diridloi-Nya. Demikian juga penulis, penulis
bersyukur kepada-Nya yang telah memudahkan penulisan makalah yang sederhana
ini, meskipun dalam penyusunannya penulis mengalami berbagai kesuliatan karena
masih terbatasnya pengetahuan penulis namun berkat kerja keras dan kerjasama
kelompok yang baik akhirnya dapat
terselesaikan dengan baik dengan judul “ANALISIS PERKEMBANGAN KOGNITIF DAN BAHASA ANAK
USIA DINI”.
Tidak lupa kami
haturkan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah ini, yang telah
bersedia mengarahkan dan membimbing
kami, dan kepada semua pihak yang membantu terselesaikannya makalah ini.
Penulisan makalah
ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Bermain Dan Permainan Anak Usia Dini, yang dalam kesempatan ini berbentuk makalah yang dikerjakan
secara individu .
Tentunya dalam
dalam penulisan makalah ini masih
terdapat banyak kekeliruan baik secara penulisan maupun materi-materi yang
dibahas didalamnya, oleh karena itu sangat diharapkan keritik dan saran dari
pembaca yang bersifat konstruktif demi kesempurnaan penulisan makalah
dimasa-masa berikutnya. Selebihnya semoga dengan adanya makalah ini dapat
menambah wawasan bagi pembaca secara umum.
Wassalamu’alaikum Wr, Wb.
Bandarlampung,28 Mei
2015
Penulis
DAFTAR ISI
Kata pengantarii
Daftar Isiiii
Bab I
Pendahuluan1
Bab II
Pembahasan
A.
Teori perkembanagn kognitif Piaget, Vygotsky dan Bruner2
B.
Perbedaan antara teori Piaget, Vygotsky dan Bruner19
C.
Teori konstruksivisme23
D.
Perkembangan bahasa anak usia dini31
E.
Perkembangan kognitif, bahasa, fisik-motorik, moral-Agama
dan Seni-kreativitas47
Bab III Penutup
A.
Kesimpulan65
B.
Kritik dan
Saran65
Daftar Pustaka
BAB 1
PENDAHULUAN
Perkembangan secara umum dapat diartikan sebagai pola perubahan yang
dimulai pada saat konsepsi (pembuahan) dan berlanjut di sepanjang rentang
kehidupan. Kebanyakan perkembangan melibatkan pertumbuhan bahkan pada kematian
sekalipun, pertumbuhan tetap ada.
Berbicara tentang perkembangan tentunya tidak terlepas dari tanggapan
para pakar psikologi, kalau dalam perkembangan kognitif dikenal beberapa tokoh
dengan teorinya yang menjadi cikal ilmu dalam pendidikan diantaranya Piaget,
Vygotsky dan Bruner. Dari ketiga tokoh tersebut memiliki pandangan berbeda
tentang perkembangan kognitif anak, namun secara garis besar mereka memandang
bahwa perkembangan kognitif tidak serta merta didapatkan begitu saja melainkan
ada proses yang perlu dilakukan anak untuk mencapai perkembangan kognitifnya
atau sering disebut dengan pengalaman. Kognitif sangat erat hubungannya dengan
kinerja otak dan rasionalitas pola pikir seseorang yang dipengaruhi oleh
lingkungan dimana ia berada.
Perkembangan bahasa anak usia dini, bahasa merupakan alat utama dalam
berkomunikasi, karena melalui bahasa seseorang akan memahami apa yang menjadi
gagasan seseorang baik bahasa dalam bentuk verbal maupun nonverbal.
Perkembangan bahasa anak dimulai semenjak ia lahir samapai sepanjang rentang
hidupnya. Bahasa yang dimiliki seseorang memiliki tahapan mulai dari kata tanpa
makna seperti yang terjadi pada awal perkembangannya berbunyi “aaaaaaa’’
kemudian tahap satu kata, dua kata hingga tahap kemampuan untuk menyusun sebuah
kalimat yang belum terstruktur hingga kesempurnaan pelafalan dan kelengkapan
sebuah kalimat berdasarkan kaidah bahasa yang berlalaku.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Teori
Perkembangan Kognitif Piaget, Vygotsky, Dan Bruner
1. Pengertian
Kognitif
Kognitif adalah salah satu ranah dalam taksonomi pendidikan. Secara
umum kognitif diartikan
sebagai potensi intelektual yang terdiri dari
tahapan: pengetahuan (knowledge), pemahaman (comprehention), penerapan (aplication),
analisa (analysis), sintesa (sinthesis), evaluasi (evaluation). Kognitif
berarti persoalan yang menyangkut kemampuan untuk mengembangkan kemampuan
rasional (akal). Teori kognitif lebih menekankan
bagaimana proses atau upaya untuk mengoptimalkan kemampuan aspek rasional yang
dimiliki oleh orang lain. Oleh sebab itu kognitif berbeda dengan teori
behavioristik, yang lebih menekankan pada aspek kemampuan perilaku
yang diwujudkan dengan cara kemampuan merespons terhadap stimulus yang datang
kepada dirinya.
Dalam
kehidupan sehari-hari kita sering mendengar kata kognitif. Dari aspek tenaga
pendidik misalnya. Seorang dosen diharuskan memiliki kompetensi bidang kognitif.
Artinya dosen tersebut harus memiliki kemampuan intelektual, seperti penguasaan
materi perkuliahan, pengetahuan mengenai cara mengajar, pengetahuan cara
menilai mahasiswa dan sebagainya.
Jean
Piaget (1896-1980), pakar psikologi dari Swiss, mengatakan bahwa anak dapat
membangun secara aktif dunia kognitif mereka sendiri. Dalam pandangan Piaget,
terdapat dua proses yang mendasari perkembangan dunia individu, yaitu
pengorganisasian dan penyesuaian (adaptasi). Kecenderungan organisasi dapat dilukiskan sebagai
kecenderungan bawaan setiap organisme untuk mengintegasi proses-proses sendiri
menjadi sistem-sistem
yang koheren. Adaptasi dapat dilukiskan sebagai kecenderungan bawaan setiap
organisme untuk memyesuaikan diri dengan lingkungan dan keadaan sosial.
Sedangkan Lev
Vygotsky (1896-1934) menekankan bagaimana proses-proses perkembangan mental
seperti ingatan, perhatian, dan penalaran melibatkan pembelajaran menggunakan
temuan-temuan masyarakat seperti bahasa, sistem matematika, dan alat-alat
ingatan. Ia juga menekankan bagaimana anak-anak dibantu berkembang dengan
bimbingan dari orang-orang yang sudah terampil di dalam bidang-bidang tersebut.
Penekanan Vygotsky pada peran kebudayaan dan masyarakat di dalam perkembangan
kognitif berbeda dengan gambaran Piaget tentang anak sebagai ilmuwan kecil yang
kesepian. Menurut Vygotsky, anak-anak lahir dengan fungsi mental yang relatif
dasar seperti kemampuan untuk memahami dunia luar dan memusatkan perhatian.
Namun, anak-anak tak banyak memiliki fungsi mental yang lebih tinggi seperti
ingatan, berfikir dan menyelesaikan masalah.
2.
Teori Piaget
a.
Dasar Teori
Teori kognitif dari Jean Piaget ini masih tetap
diperbincangkan dan diacu dalam bidang pendidikan. Teori ini mulai banyak
dibicarakan lagi kira-kira permulaan tahun 1960-an. Pengertian kognisi
sebenarnya meliputi aspek-aspek struktur intelek yang digunakan untuk
mengetahui sesuatu. Piaget menyatakan bahwa perkembangan kognitif bukan hanya
hasil kematangan organisme, bukan pula pengaruh lingkungan semata, melainkan
hasil interaksi diantara keduanya.
Menurut Piaget, perkembangan kognitif mempunyai empat aspek, yaitu:
1) Kematangan, sebagai
hasil perkembangan susunan syaraf;
2) Pengalaman, yaitu
hubungan timbal balik antara orgnisme dengan dunianya;
3) Interaksi social, yaitu
pengaruh-pengaruh yang diperoleh dalam hubungannya dengan lingkungan social,
dan
4)
Ekullibrasi, yaitu adanya kemampuan atau system mengatur
dalam diri organisme agar dia selalu mampu mempertahankan keseimbangan dan
penyesuaian diri terhadap lingkungannya.
Sistem yang mengatur dari dalam mempunyai dua faktor, yaitu skema dan adaptasi.
Skema berhubungan dengan pola tingkah laku yang teratur yang diperhatikan oleh
organisma yang merupakan akumulasi dari tingkah laku yang sederhana hingga yang
kompleks. Sedangkan adaptasi adalah fungsi penyesuaian terhadap lingkungan yang
terdiri atas proses asimilasi dan akomodasi.
Piaget mengemukakan
penahapan dalam perkembangan intelektual anak yang dibagi ke dalam empat
periode, yaitu :
1)
Periode sensori-motor ( 0 – 2,0 tahun )
2)
Periode pra-operasional (2,0 – 7,0 tahun )
3)
Periode operasional konkret ( 7,0 – 11,0 tahun )
4)
Periode opersional formal ( 11,0 – dewasa )
Piaget memperoleh gelar Ph.D dalam biologi pada umur 21, ia kemudian tertarik
pada psikologi dan mempelajari anak-anak abnormal di salah satu rumah sakit di
Paris. Pada periode hidupnya, Piaget semakin tertarik pada logika anak dan
metode berpikir yang berbeda-beda yang digunakan anak dalam menjawab
peertanyaan pada usia yang berbeda pula. Selanjutnya Piaget bekerja melakukan penelitian selama kurang
lebih 40 tahun. Studinya dipusatkan pada persepsi anak dalam pemahamannya
mengenai alam/benda, jumlah, waktu, perpindahan, ruang, dan geometri. Ia
menganalisis operasi-operasi mental yang digunakan oleh anak, cara berpikir
simbolis dan logika mereka.
Teori perkembangan Piaget mewakili konstruktivisme, yang memandang perkembangan
kognitif sebagai suatu proses di mana anak secara aktif membangun sistem makna
dan pemahaman realitas melalui pengalaman-pengalaman dan interaksi-interaksi
mereka.
b.
Implikasi Terhadap
Pendidikan
Teori Piaget membahas kognitif atau intelektual. Perkembangan intelektual
erat hubungannya dengan belajar, sehingga perkembangan intelektual ini dapat
dijadikan landasan untuk memahami belajar.
Implikasi
teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah :
a.
Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru
mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
b.
Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan
baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan
sebaik-baiknya.
c.
Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
d.
Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
e.
Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan
diskusi dengan teman-temanya.
3. Teori Vygotsky
a.
Dasar Teori
Perkembangan kognitif dan bahasa anak-anak tidak berkembang dalam suatu situasi
sosial yang hampa. Lev Vygotsky (1896-1934), seorang psikolog berkebangsaan
Rusia, mengenal poin penting tentang pikiran anak ini lebih dari setengah abad
yang lalu. Teori Vygotsky mendapat perhatian yang makin besar ketika memasuki
akhir abad ke-20.
Sezaman dengan Piaget, Vygotsky menulis di Uni Soviet selama 1920-an dan
1930-an. Namun, karyanya baru dipublikasikan di dunia Barat pada tahun 1960-an.
Sejak saat itulah, tulisan-tulisannya menjadi sangat berpengaruh. Vygotsky
adalah pengagum Piaget. Walaupun setuju dengan Piaget bahwa perkembangan
kognitif terjadi secara bertahap dan dicirikan dengan gaya berpikir yang
berbeda-beda, tetapi Vygotsky tidak setuju dengan pandangan Piaget bahwa anak
menjelajahi dunianya sendirian dan membentuk gambaran realitas batinnya
sendiri.
Vygotsky mengemukakan ada empat prinsip dasar kunci dalam pembelajaran, yaitu:
1) Penekanan pada hakekat sosio-kultural pada
pembelajaran (the sosiocultural of
learning),
2) Zona perkembangan terdekat (zone of proximal development),
3) Pemagangan kognitif (cognitive appreticeship)
4) Perancahan (scaffolding).
Keempat prinsip tersebut secara singkat dijelaskan berikut ini.
Prinsip pertama
Menurut Vygotsky siswa belajar melalui interaksi dengan orang dewasa dan teman
sebaya yang lebih mampu. Vygotsky menekankan pentingnya interaksi sosial dengan orang lain dalam proses
pembelajaran.
Prinsip kedua
Menurut Vygotsky dalam proses perkembangan kemampuan kognitif setiap anak
memiliki apa yang disebut zona perkembangan proksimal (zone of proximal development) yang didefinisikan sebagai jarak atau selisih antara
tingkat perkembangan anak
yang aktual dengan tingkat perkembangan potensial yang lebih tinggi yang bisa
dicapai si anak jika ia mendapat bimbingan atau bantuan dari seseorang yang
lebih dewasa atau lebih berkompeten.
Prinsip ketiga
Menurut Vygotsky adalah pemagangan kognitif, yaitu suatu proses dimana seorang
siswa belajar setahap demi setahap akan memperoleh keahlian dalam interaksinya
dengan seorang ahli. Seorang ahli bisa orang dewasa atau orang yang lebih tua
atau teman sebaya yang telah menguasai permasalahannya.
Prinsip keempat
Menurut Vygotsky adalah perancahan atau scaffolding, merupakan
satu ide kunci yang ditemukan dari gagasan pembelajaran sosial Vygotsky.
Perancahan berarti pemberian sejumlah besar bantuan kepada seorang anak selama
tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian secara perlahan bantuan tersebut
dikurangi dengan memberikan kesempatan kepada anak untuk mengambil alih
tanggung jawab setelah ia mampu mengerjakan sendiri. Berdasarkan uraian di
atas, maka implikasi utama dari teori Vygotsky terhadap pembelajaran adalah
kemampuan untuk mewujudkan tatanan pembelajaran kooperatif dengan dibentuk
kelompok-kelompok belajar yang mempunyai tingkat kemampuan berbeda dan
penekanan perancahan dalam pembelajaran supaya siswa mempunyai tanggungjawab
terhadap belajar. (dari berbagai sumber)
b.
Ide kunci Dalam Teori Vygotsky
Vygotsky mengakui bahwa faktor biologis ( misalnya , pematangan neurologis ) memainkan peran dalam perkembangan. Anak-anak membawa karakteristik tertentu dan menerima yang mereka hadapi untuk situasi tertentu dan tanggapan mereka berbeda-beda. Namun, fokus utama Vygotsky adalah pada peran lingkungan terutama lingkungan sosial dan budaya anak yang mendorong pertumbuhan kognitif . Berikut adalah konsep utama dan prinsip-prinsip dalam teori Vygotsky :
1. Beberapa proses kognitif yang terlihat unik dan berbeda dengan orang
lain .
Vygotsky membedakan dua jenis proses atau fungsi kognisi . Banyak jenis menunjukkan fungsi mental yang rendah: belajar dan menanggapi lingkungan tertentu dengan cara dasar - mencari makanan apa yang dimakan , bagaimana cara terbaik untuk mendapatkan dari satu tempat ke tempat lain , dan seterusnya. Tapi manusia unik dalam penggunaan fungsi mental yang lebih tinggi : secara sengaja focus pada proses kognitif yang meningkatkan belajar , memori, dan penalaran logis . Dalam pandangan Vygotsky , fungsi mental yang rendah dimiliki dibangun secara biologis/diwariskan, tapi masyarakat dan budaya mempunyai pengaruh penting untuk pengembangan fungsi mental yang lebih tinggi .
Vygotsky membedakan dua jenis proses atau fungsi kognisi . Banyak jenis menunjukkan fungsi mental yang rendah: belajar dan menanggapi lingkungan tertentu dengan cara dasar - mencari makanan apa yang dimakan , bagaimana cara terbaik untuk mendapatkan dari satu tempat ke tempat lain , dan seterusnya. Tapi manusia unik dalam penggunaan fungsi mental yang lebih tinggi : secara sengaja focus pada proses kognitif yang meningkatkan belajar , memori, dan penalaran logis . Dalam pandangan Vygotsky , fungsi mental yang rendah dimiliki dibangun secara biologis/diwariskan, tapi masyarakat dan budaya mempunyai pengaruh penting untuk pengembangan fungsi mental yang lebih tinggi .
2. Melalui kedua percakapan informal dan pendidikan formal , orang
dewasa menyampaikan kepada anak-anak cara-cara budaya mereka menafsirkan dan
menanggapi dunia . Untuk meningkatkan fungsi mental yang lebih tinggi ,
orang dewasa mengajarkan pada anak-anak makna/nilai yang menempel pada benda,
peristiwa , dan pengalaman manusia pada umumnya . Dalam prosesnya , mereka
berubah atau memediasi situasi pertemuan dengan anak . Makna yang disampaikan
melalui berbagai mekanisme , termasuk bahasa ( kata-kata yang diucapkan
,menulis , dll ) , simbol matematika , seni, musik , dan sebagainya. Percakapan
informal adalah salah satu metode umum yang relevan di mana orang dewasa
menyampaikan budaya untuk menafsirkan keadaan tertentu . Tapi pendidikan formal
tidak kalah pentingnya bagi Vygotsky, di mana guru secara sistematis menanamkan
ide, konsep , dan terminologi yang digunakan dalam berbagai disiplin akademis .
3. Setiap kebudayaan melewati sarana fisik dan kognitif yang membuat
hidup bersama setiap hari lebih efektif dan efisien. Tidak hanya orang
dewasa mengajari anak-anak cara-cara khusus untuk menafsirkan pengalaman tetapi
mereka juga menyampaikan alat khusus yang dapat membantu anak mengatasi
berbagai tugas dan masalah mereka yang cenderung
untuk dihadapi. Beberapa alat , seperti gunting , mesin jahit , dan komputer , adalah benda-benda fisik . Lainnya, seperti sistem penulisan, sistem nomor,dan peta, melibatkan simbol-simbol sebagai serta identitas fisik . Dalam pandangan Vygotsky , memperoleh alat yang setidaknya sebagian simbolik maupun mental di alam - kognitif sebagai alat yang sangat meningkatkan kemampuan berpikir anak-anak . suatu Budaya yang berbeda menyampaikan alat kognitif yang berbeda. Jadi teori Vygotsky menuntun kita untuk berharap banyak keragaman kemampuan khusus kognitif anak-anak sebagai hasil dari mereka yang bervariasi latar belakang budaya. Misalnya, anak lebih mungkin untuk memperoleh keterampilan membaca peta - peta jika (mungkin dari jalan, sistem kereta bawah tanah , dan pusat perbelanjaan) adalah bagian penting dari komunitas mereka
dan kehidupan keluarga ( Liben & Myers , 2007) . Dan anak-anak belajar menghitung dan berhitung operasi ( misalnya, penambahan , perkalian ) hanya dalam budaya yang memiliki jumlah yang tepat sistem yang sistematis memberikan simbol yang berbeda untuk jumlah yang berbeda ( M. Cole , 2006; Pinker , 2007) .
untuk dihadapi. Beberapa alat , seperti gunting , mesin jahit , dan komputer , adalah benda-benda fisik . Lainnya, seperti sistem penulisan, sistem nomor,dan peta, melibatkan simbol-simbol sebagai serta identitas fisik . Dalam pandangan Vygotsky , memperoleh alat yang setidaknya sebagian simbolik maupun mental di alam - kognitif sebagai alat yang sangat meningkatkan kemampuan berpikir anak-anak . suatu Budaya yang berbeda menyampaikan alat kognitif yang berbeda. Jadi teori Vygotsky menuntun kita untuk berharap banyak keragaman kemampuan khusus kognitif anak-anak sebagai hasil dari mereka yang bervariasi latar belakang budaya. Misalnya, anak lebih mungkin untuk memperoleh keterampilan membaca peta - peta jika (mungkin dari jalan, sistem kereta bawah tanah , dan pusat perbelanjaan) adalah bagian penting dari komunitas mereka
dan kehidupan keluarga ( Liben & Myers , 2007) . Dan anak-anak belajar menghitung dan berhitung operasi ( misalnya, penambahan , perkalian ) hanya dalam budaya yang memiliki jumlah yang tepat sistem yang sistematis memberikan simbol yang berbeda untuk jumlah yang berbeda ( M. Cole , 2006; Pinker , 2007) .
4. Pemikiran dan bahasa menjadi semakin saling tergantung dalam beberapa
tahun pertama kehidupan . satu alat yang kognitif sangat penting adalah
bahasa . Bagi kita sebagai orang dewasa , pemikiran dan bahasa saling
berhubungan. Selain itu, biasanya kita mengungkapkan pikiran kita ketika kita
berkomunikasi dengan yang lain , Pada tahun-tahun awal kehidupan , berpikir
terjadi secara independen dari bahasa , dan ketika bahasa muncul , itu pertama
kali digunakan terutama sebagai sarana komunikasi bukan sebagai mekanisme
pemikiran . Tapi kadang-kadang sekitar usia 2 tahun , pemikiran dan bahasa
menjadi saling terkait : Anak mulai untuk mengungkapkan pikiran mereka ketika
mereka berbicara, dan mereka mulai berpikir dari segi kata-kata . Ketika
berpikir dan berbahasa , anak-anak sering berbicara untuk diri mereka sendiri
dan dalam melakukan jadi mungkin tampak berbicara dalam ” egosentris ” cara
jelas Piaget . Dalam pandangan Vygotsky , seperti self-talk ( juga
dikenal sebagai pidato pribadi ) memainkan peran penting dalam perkembangan
kognitif . Dengan berbicara kepada diri mereka sendiri , anak-anak belajar
untuk membimbing dan mengarahkan perilaku mereka sendiri melalui tugas yang
sulit dan manuver yang kompleks dalam banyak cara yang sama bahwa orang dewasa
telah membimbing mereka sebelumnya. Self-talk akhirnya berkembang menjadi inner
speech , di mana anak-anak berbicara sendiri lewat mental bukan lewat suara
. Artinya , mereka terus mengarahkan diri secara verbal melalui tugas dan
kegiatan , tetapi yang lain tidak bisa lagi melihat dan mendengar yang mereka
melakukan.
5. Proses mental Kompleks muncul dari kegiatan sosial , seperti
anak-anak mengembangkan , mereka secara bertahap internalisasi proses yang
mereka gunakan dalam konteks sosial dan mulai menggunakannya secara mandiri
. Vygotsky diusulkan bahwa fungsi mental yang lebih tinggi memiliki akar dalam
interaksi sosial . Sebagai anak-anak,mereka mendiskusikan benda, peristiwa,
tugas,dan masalah dengan orang dewasa dan lainnya. sering dalam konteks budaya
sehari-hari kegiatan mereka secara bertahap dimasukkan ke dalam cara mereka
sendiri memikirkan cara-cara di mana orang-orang di sekitar mereka berbicara
tentang dan menafsirkan dunia, dan mereka mulai menggunakan kata-kata , konsep,
simbol , dan strategi pada dasarnya, kognitif alat yang khas untuk budaya
mereka. Proses melalui mana kegiatan sosial berkembang menjadi kegiatan mental
internal disebut internalisasi.
6. Anak-anak berpikir sesuai budaya mereka dan cara mereka sendiri.
Anak-anak tentu tidak menginternalisasi apa yang mereka lihat dan dengar dalam
konteks sosial . Sebaliknya , mereka sering mengubah ide, strategi , dan
alat-alat kognitif lainnya untuk memenuhi kebutuhan dan dengan tujuan merka
sendiri. Teori Vygotsky memiliki unsur konstruktivis untuk itu . Istilah
apropriasi mengacu pada proses ini internalisasi tetapi juga mengadaptasi
ide-ide dan strategi budaya seseorang untuk digunakan sendiri.
7. Anak-anak dapat menyelesaikan tugas-tugas lebih sulit ketika mereka
memiliki bantuan dari banyak orang yang lebih paham/pandai dan kompeten dari
diri mereka . Vygotsky membedakan antara dua jenis tingkat kemampuan yang
mencirikan keterampilan anak-anak pada setiap titik tertentu dalam
perkembangan. tingkat perkembangan seorang anak adalah batas atas tugas-tugas
yang ia dapat melakukan secara mandiri , tanpa bantuan dari orang lain .
Tingkat seorang anak perkembangan potensial adalah batas atas tugas bahwa dia
dapat melakukan dengan bantuan individu yang lebih kompeten . Untuk mendapatkan
yang benar rasa perkembangan kognitif anak , Vygotsky menyarankan , kita harus
menilai kemampuan mereka baik saat melakukan sendirian dan ketika tampil dengan
bantuan .
8. Tugas Menantang mendorong pertumbuhan kognitif yang maksimal.
Berbagai tugas bahwa anak-anak belum biasa melakukan secara mandiri tetapi
dapat melakukan dengan bantuan dan bimbingan dari orang lain , di terminologi
Vygotsky, zona perkembangan proksimal ( ZPD) ( lihat Gambar berikut ) . ZPD
Seorang anak termasuk belajar dan kemampuan pemecahan masalah yang baru mulai
muncul dan mengembangkan kemampuan secara matang .ZPD setiap anak akan berubah
seiring waktu . sebagai beberapa tugas yang dikuasai, yang lebih kompleks akan
muncul untuk menyajikan tantangan baru . Singkatnya , itu adalah tantangan
dalam hidup , daripada keberhasilan mudah, yang mempromosikan perkembangan
kognitif .
koleksi
gambar pribadi penulis
Gambar 1.1
Tugas di zona anak perkembangan proksimal (ZPD) mempromosikan pembelajaran maksimal dan pertumbuhan kognitif.
Tugas di zona anak perkembangan proksimal (ZPD) mempromosikan pembelajaran maksimal dan pertumbuhan kognitif.
9. Bermain memungkinkan anak-anak untuk ” meregangkan “
kognitif sendiri. Dalam bermain anak selalu berperilaku melampaui
rata-rata usianya, di atas perilaku sehari-hari, dalam bermain itu seolah-olah
dia adalah kepala lebih tinggi dari dirinya sendiri ” ( Vygotsky , 1978,
hlm.102) Selain itu, karena anak-anak bermain, perilaku mereka harus mengikuti
standar atau harapan tertentu. Pada tahun-tahun awal sekolah dasar , anak-anak
sering bertindak sesuai dengan bagaimana seorang ayah,guru,atau pelayan akan
berperilaku. Dalam pertandingan grup terorganisir dan olahraga yang datang
kemudian, anak-anak harus mengikuti set spesifik aturan. Dengan berpegang pada
batasan tertentu pada perilaku mereka, anak-anak belajar untuk merencanakan ke
depan , untuk berpikir sebelum bertindak, dan untuk terlibat dalam menahan diri
- keterampilan yang penting untuk partisipasi sukses di dunia orang.
c.
Implikasi Terhadap
Pendidikan
Pengaruh karya Vygotsky terhadap dunia pengajaran dijabarkan oleh Smith et
al. (1998).
a.
Anak tetap dilibatkan dalam pembelajaran aktif, guru harus secara aktif
mendampingi setiap kegiatan anak-anak. Dalam istilah teoritis, ini berarti
anak-anak bekerja dalam zona perkembangan proksimal dan guru menyediakan scaffolding bagi anak selama
melalui ZPD.
b.
Secara khusus Vygotsky mengemukakan bahwa disamping guru, teman sebaya juga
berpengaruh penting pada perkembangan kognitif anak.berlawanan dengan
pembelajaran lewat penemuan individu (individual
discovery learning), kerja kelompok secara kooperatif ( cooperative group work) tampaknya
mempercepat perkembangan anak.
c.
Gagasan tentang kelompok kerja kreatif ini diperluasa menjadi pengajaran
pribadi oleh teman sebaya ( peer tutoring),
yaitu seorang anak mengajari anak lainnya yang agak tertinggal dalam pelajaran.
Foot et al. (1990) menjelaskan
keberhasilan pengajaran oleh teman sebaya ini dengan menggunakan teori
Vygotsky. Satu anak bisa lebih efektif membimbing anak lainnya melewati ZPD
karena mereka sendiri baru saja melewati tahap itu sehingga bis adengan mudah
melihat kesulitan-kesulitan yang dihadapi anak lain dan menyediakan scaffolding
yang sesuai.
4. Teori Bruner
a.
Dasar Teori
Jerome Bruner dilahirkan dalam tahun 1915. Jerome
Bruner, seorang ahli psikologi yang terkenal
telah banyak menyumbang dalam penulisan teori pembelajaran, proses pengajaran
dan falsafah pendidikan. Bruner setuju dengan Piaget bahawa perkembangan
kognitif anak-anak adalah melalui peringkat-peringkat tertentu. Walau
bagaimanapun, Bruner lebih menegaskan pembelajaran secara penemuan yaitu
mengolah apa yang diketahui pelajar itu kepada satu corak dalam keadaan baru
(lebih kepada prinsip konstruktivisme).
Beliau bertugas sebagai profesor psikologi di Universitas
Harvard di Amerika Syarikat dan dilantik sebagai pengarah
di Pusat Pengajaran Kognitif dari tahun 1961 sehingga 1972, dan memainkan
peranan penting dalam struktur Projek Madison di Amerika Syarikat. Setelah itu, beliau menjadi seorang profesor Psikologi di
Universiti Oxford di England.
Jerome S. Bruner adalah seorang ahli psikologi
perkembangan dan ahli psikologi belajar kognitif. Pendekatannya tentang psikologi adalah
eklektik. Penelitiannya yang demikian banyak itu meliputi persepsi manusia,
motivasi, belajar dan berfikir. Dalam mempelajarai manusia, ia menganggap
manusia sebagai pemroses, pemikir dan pencipta informasi. Bruner menganggap,
bahwa belajar itu meliputi tiga proses kognitif, yaitu memperoleh informasi
baru, transformasi pengetahuan, dan menguji relevansi dan ketepatan
pengetahuan. Pandangan terhadap belajar yang disebutnya sebagai konseptualisme
instrumental itu, didasarkan pada dua prinsip, yaitu pengetahuan orang tentang
alam didasarkan pada model-model mengenai kenyataan yang dibangunnya, dan
model-model itu diadaptasikan pada kegunaan bagi orang itu.
Pematangan intelektual atau pertumbuhan
kognitif seseorang ditunjukkan oleh bertambahnya ketidaktergantungan respons
dari sifat stimulus. Pertumbuhan itu tergantung pada bagaimana seseorang menginternalisasi
peristiwa-peristiwa menjadi suatu ”sistem simpanan” yang sesuai dengan
lingkungan. Pertumbuhan itu menyangkut peningkatan kemampuan seseorang untuk
mengemukakan pada dirinya sendiri atau pada orang lain tentang apa yang telah
atau akan dilakukannya.
Menurut Bruner belajar bermakna hanya dapat terjadi
melalui belajar penemuan. Pengetahuan yang diperoleh melalui belajar penemuan
bertahan lama, dan mempunyai efek transfer yang lebih baik. Belajar penemuan
meningkatkan penalaran dan kemampuan berfikir secara bebas dan melatih
keterampilan-keterampilan kognitif untuk menemukan dan memecahkan masalah.
Teori instruksi menurut Bruner hendaknya mencakup:
1)
Pengalaman-pengalaman optimal bagi siswa
untuk mau dan dapat belajar, ditinjau dari segi aktivasi, pemeliharaan dan
pengarahan.
2)
Penstrukturan pengetahuan untuk pemahaman
optimal, ditinjau dari segi cara penyajian, ekonomi dan kuasa.
3)
Perincian urutan-urutan penyajian materi
pelajran secara optimal, dengan memperhatikan faktor-faktor belajar sebelumnya,
tingkat perkembangan anak, sifat materi pelajaran dan perbedaan individu.
4)
Bentuk dan pemberian reinforsemen.
Beliau berpendapat bahawa seseorang anak belajar dengan cara menemui
struktur konsep-konsep yang dipelajari. Anak-anak membentuk konsep dengan mengasingkan benda-benda mengikut
ciri-ciri persamaan dan perbedaan. Selain itu, pengajaran didasarkan kepada perangsang
anak terhadap konsep itu dengan pengetahuan yang ada. Misalnya,anak-anak
membentuk konsep segiempat dengan mengenal segiempat mempunyai 4 sisi dan
memasukkan semua bentuk bersisi empat kedalam kategori segiempat,dan memasukkan
bentuk-bentuk bersisi tiga kedalam kategori segitiga.
Dalam teori belajarnya Jerome Bruner berpendapat bahwa kegiatan belajar
akan berjalan baik dan kreatif jika anak dapat menemukan sendiri suatu aturan
atau kesimpulan tertentu. Dalam
hal ini Bruner membedakan menjadi tiga tahap. Ketiga tahap itu adalah:
1) Tahap
informasi, yaitu tahap awal untuk memperoleh pengetahuan atau pengalaman baru,
2) Tahap
transformasi, yaitu tahap memahami, mencerna dan menganalisis pengetahuan baru
serta ditransformasikan dalam bentuk baru yang mungkin bermanfaat untuk hal-hal
yang lain,
3)
Tahap evaluasi, yaitu untuk mengetahui apakah hasil
tranformasi pada tahap kedua tadi benar atau tidak.
Kajian Bruner menekankan perkembangan kognitif anak-anak. Ia menekankan
cara-cara manusia berinteraksi dalam alam sekitar dan menggambarkan pengalaman
secara mendalam. Menurut Bruner, perkembangan kognitif juga melalui
peringkat-peringkat tertentu. Peringkat-peringkat tersebut adalah seperti
berikut:
a.
Peringkat enaktif ( 0 – 2 tahun )
b.
Peringkat ikonik ( 2 – 4 tahun )
c.
Peringkat simbolik ( 5 – 7 tahun )
Bruner amat menekankan pembelajaran konsep atau kategori. Beliau mengutamakan
pembelajaran secara induktif dengan menggunakan konsep atau kategori. Beliau
juga mementingkan sistem pengekodan dalam uraiannya tentang pemikiran. Dengan
adanya sistem pengekodan, kita dapat membuat inferens ( kesimpulan ) daripada
rangsangan yang diterima.
b.
Implikasi Teori Bruner
kedalam pengajaran dan pembelajaran.
Anak belajar melalui pengalaman. Dengan itu guru perlu menyediakan
peluang untuk anak menroka, memegang, mencium dan merasa. Pengalaman
seperti ini mewujudkan proses pembelajaran yang bermakna. Bagi anak-anak di
Tahap Satu, gambar, cartu kata dan objek perlu digunakan bagi memudahkan
pembentukan
konsep. Bagi
anak-anak Tahun Enam ke atas, hukum dan prinsip perlu ditekankan agar
murid-murid berupaya mengaplikasikannya dalam proses penyelesaian masalah.
Bruner juga menekankan pembelajaran yang terhasil daripada interaksi
anak dengan guru, interaksi dengan anak-anak lain dan interaksi dengan bahan
pengajaran. Maka kerja berkumpulan dan sesi perbincangan perlu diadakan dari
masa ke semasa. Pelibatan
anak-anak penting agar mereka dapat menikmati pembelajaran bermakna.
Pengetahuan juga perlu disusun dan diperingkatkan agar pembentukan konsep
bermula daripada peringkat yang mudah kepada peringkat yang rumit. Ini bermakna
guru perlu memeringkatkan isi pelajaran.
Bruner juga menekankan motivasi ekstrinsik dan motivasi intrinsik.
Ini bermakna guru perlu memberi ganjaran dan pujian apabila sesuatu tingkahlaku
yang diingini dilakukan. Kesediaan belajar juga ditekankan oleh Bruner. Dengan
itu, guru perlu mengambil kira kesediaan belajar anak-anak ketika merancang
proses pengajarannya. Sementara itu, nilai-nilai murni seperti bekerjasama,
bertolak ansur dan tolong-menolong akan dapat dipupuk dalam aktiviti
pengumpulan maklumat projek dan perbincangan.
c.
Ciri
khas Teori Pembelajaran Menurut Bruner
1.
Empat Tema tentang Pendidikan
Tema pertama mengemukakan pentingnya arti struktur pengetahuan. Hal
ini perlu karena dengan struktur pengetahuan kita menolong anak untuk untuk
melihat, bagaimana fakta-fakta yang kelihatannya tidak ada hubungan, dapat
dihubungkan satu dengan yang lain.
Tema kedua adalah tentang kesiapan untuk belajar. Menurut Bruner
kesiapan terdiri atas penguasaan ketrampilan-ketrampilan yang lebih sederhana
yang dapat mengizinkan seseorang untuk mencapai kerampilan-ketrampilan yang
lebih tinggi.
Tema ketiga adalah menekankan nilai intuisi dalam proses pendidikan.
Dengan intuisi, teknik-teknik intelektual untuk sampai pada formulasi-formulasi
tentatif tanpa melalui langkah-langkah analitis untuk mengetahui apakah
formulasi-formulasi itu merupaka kesimpulan yang sahih atau tidak.
Tema keempat adalah tentang motivasi atau keingianan untuk belajar
dan cara-cara yang tersedia pada para guru untuk merangsang motivasi itu.
2.
Model dan
Kategori
Pendekatan Bruner terhadap belajar didasarkan pada dua asumsi. Asumsi pertama
adalah bahwa perolehan pengetahuan merupakan suatu proses interaktif.
Berlawanan dengan penganut teori perilakau Bruner yakin bahwa orang yang
belajar berinteraksi dengan lingkungannya secara aktif, perubahan tidak hanya
terjadi di lingkungan tetapi juga dalam diri orang itu sendiri.
Asumsi kedua adalah bahwa
orang mengkontruksi pengetahuannya dengan menghubungkan informasi yang masuk
dengan informasi yang disimpan yang diperoleh sebelumnya, suatu model alam (model
of the world). Model Bruner ini mendekati sekali struktur kognitif
Aussebel. Setiap model seseorang khas bagi dirinya. Dengan menghadapi berbagai
aspek dari lingkungan kita, kita akan membentuk suatu struktur atau model yang
mengizinkan kita untuk mengelompokkan hal-hal tertentu atau membangun suatu
hubungan antara hal-hal yang diketahui.
3.
Belajar
sebagai Proses Kognitif
Bruner mengemukakan bahwa belajar melibatkan tiga proses yang berlangsung
hampir bersamaan. Ketiga proses itu adalah (1) memperoleh informasi baru, (2)
transformasi informasi dan (3) menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan
(Bruner, 1973).
Informasi baru dapat merupaka penghalusan dari informasi sebelumnya yang
dimiliki seseorang atau informasi itu dapat dersifat sedemikian rupa sehingga
berlawanan dengan informasi sebelumnya yang dimiliki seseorang. Dalam
transformasi pengetahuan seseorang mempelakukan pengetahuan agar cocok dengan
tugas baru. Jadi, transformasi menyangkut cara kita memperlakukan pengetahuan,
apakah dengan cara ekstrapolasi atau dengan mengubah bentuk lain.
Hampir semua orang dewasa melalui penggunaan tiga sistem keterampilan untuk
menyatakan kemampuannya secara sempurna. Ketiga sistem keterampilan itu adalah
yang disebut tiga cara penyajian (modes of presentation) oleh Bruner
(1966). Ketiga cara itu
ialah: cara enaktif, cara ikonik dan cara simbolik.
Cara penyajian enaktif ialah melalui tindakan, jadi bersifat
manipulatif. Dengan cara ini seseorang mengetahui suatu aspek dari kenyataan
tanpa menggunakan pikiran atau kata-kata. Jadi cara ini terdiri atas penyajian
kejadian-kejadian yang lampau melalui respon-respon motorik. Misalnya seseorang
anak yang enaktif mengetahui bagaimana mengendarai sepeda.
Cara penyajian ikonik didasarkan atas pikiran internal. Pengetahuan
disajikan oleh sekumpulan gambar-gambar yang mewakili suatu konsep, tetapi
tidak mendefinisikan sepenuhnya konsep itu. Misalnya sebuah segitiga menyatakan
konsep kesegitigaan.
Penyajian simbolik menggunakan kata-kata atau bahasa. Penyajian simbolik
dibuktikan oleh kemampuan seseorang lebih memperhatikan proposisi atau
pernyataan daripada objek-objek, memberikan struktur hirarkis pada
konsep-konsep dan memperhatikan kemungkinan-kemungkinan alternatif dalam suatu
cara kombinatorial.
Sebagai contoh dari ketiga cara penyajian ini, tentang pelajaran penggunaan
timbangan. Anak kecil hanya dapat bertindak berdasarkan ”prinsip-prinsip”
timbangan dan menunjukkan hal itu dengan menaiki papan jungkat-jungkit. Ia tahu
bahwa untuk dapat lebih jauh kebawah ia harus duduk lebih menjauhi pusat. Anak
yang lebih tua dapat menyajikan timbangan pada dirinya sendiri dengan suatu
model atau gambaran. ”Bayangan” timbangan itu dapat diperinci seperti yang
terdapat dalam buku pelajaran. Akhirnya suatu timbangan dapat dijelaskan dengan
menggunakan bahasa tanpa pertolongan gambar atau dapat juga dijelaskan secara
matematik dengan menggunakan Hukum Newton tentang momen.
Ciri khas Teori
Bruner dan perbedaannya dengan teori yang lain
Teori Bruner mempunyai ciri khas daripada teori belajar yang lain yaitu
tentang ”discovery” yaitu belajar dengan menemukan konsep sendiri.
Disamping itu, karena teori Bruner ini banyak menuntut pengulangan-penulangan,
maka desain yang berulang-ulang itu disebut ”kurikulum spiral kurikulum”.
Secara singkat, kurikulum spiral menuntut guru untuk memberi materi pelajaran
setahap demi setahap dari yang sederhana ke yang kompleks, dimana materi yang
sebelumnya sudah diberikan suatu saat muncul kembali secara terintegrasi di
dalam suatu materi baru yang lebih kompleks. Demikian seterusnya sehingga siswa
telah mempelajari suatu ilmu pengetahuan secara utuh.
Bruner berpendapat bahwa seseorang murid belajar dengan cara menemui
struktur konsep-konsep yang dipelajari. Anak-anak membentuk konsep dengan
melihat benda-benda berdasarkan ciri-ciri persamaan dan perbedaan. Selain itu,
pembelajaran didasarkan kepada merangsang siswa menemukan konsep yang
baru dengan menghubungkan kepada konsep yang lama melalui pembelajaran
penemuan.
4.
Belajar
Penemuan
Salah satu model kognitif yang sangat berpengaruh adalah model dari Jerome
Bruner (1966) yang dikenal dengan nama belajar penemuan (discovery learning).
Bruner menganggap bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan
secara aktif oleh manusia dan dengan sendirinya memberikan hasil yang paling
baik. Bruner menyarankan agar anak hendaknya belajar melalui berpartisipasi
aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip agar mereka dianjurkan untuk
memperoleh pengalaman dan melakukan eksperimen-eksperimen yang mengizinkan
mereka untuk menemukan konsep dan prinsip itu sendiri.
Pengetahuan yang
diperoleh dengan belajar penemuan menunjukkan beberapa kebaikan. Diantaranya
adalah:
1.
Pengetahuan itu bertahan lama atau lama dapat diingat.
2.
Hasil belajar penemuan mempunyai efek transfer yang lebih baik.
3. Secara
menyeluruh belajar penemuan meningkatkan penalaran anak dan kemampuan untuk
berfikir secara bebas.
Asumsi umum tentang teori belajar kognitif:
a. Bahwa
pembelajaran baru berasal dari proses pembelajaran sebelumnya.
b. Belajar melibatkan
adanya proses informasi (active learning).
c. Pemaknaan
berdasarkan hubungan.
d. Proses
kegiatan belajar mengajar menitikberatkan pada hubungan dan strategi.
Model kognitif
mulai berkembang pada abad terakhir sebagai protes terhadap teori perilaku yang
yang telah berkembang sebelumnya. Model kognitif ini memiliki perspektif
bahwa para peserta didik memproses infromasi dan pelajaran melalui upayanya
mengorganisir, menyimpan, dan kemudian menemukan hubungan antara
pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang telah ada. Model ini menekankan
pada bagaimana informasi diproses.
Peneliti yang
mengembangkan kognitif ini adalah Ausubel, Bruner, dan Gagne. Dari ketiga
peneliti ini, masing-masing memiliki penekanan yang berbeda. Ausubel
menekankan pada apsek pengelolaan (organizer) yang memiliki pengaruh
utama terhadap belajar. Menurut Ausubel, konsep tersebut dimaksudkan untuk
penyiapan struktur kognitif peserta didik untuk pengalaman belajar. Bruner
bekerja pada pengelompokkan atau penyediaan bentuk konsep sebagai suatu jawaban
atas bagaimana peserta didik memperoleh informasi dari
lingkungan. Bruner mengembangkan teorinya tentang perkembangan
intelektual, yaitu:
1.
enactive, dimana seorang peserta didik belajar tentang dunia
melalui tindakannya pada objek, anak melakukan aktifitas-aktifitasnya dalam
usahanya memahami lingkungan.
2.
iconic, dimana belajar terjadi melalui penggunaan model dan gambar
3. symbolic
yang mendeskripsikan kapasitas dalam berfikir
abstrak, siswa mempunyai gagasan-gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi bahasa
dan logika dan komunikasi dilkukan dengan pertolongan sistem simbol. Semakin
dewasa sistem simbol ini samakin dominan.
Sejalan dengan pernyataan di atas, maka untuk mengajar sesuatu tidak usah
ditunggu sampai anak mancapai tahap perkembangan tertentu. Yang penting bahan
pelajaran harus ditata dengan baik maka dapat diberikan padanya. Dengan lain
perkataan perkembangan kognitif seseorang dapat ditingkatkan dengan jalan
mengatur bahan yang akan dipelajari dan menyajikannya sesuai dengan tingkat
perkembangannya.
Penerapan teori Bruner yang terkenal dalam dunia pendidikan adalah
kurikulum spiral dimana materi pelajaran yang sama dapat diberikan mulai dari
Sekolah Dasar sampai Perguruan tinggi disesuaikan dengan tingkap perkembangan
kognitif mereka. Cara belajar yang terbaik menurut Bruner ini adalah dengan
memahami konsep, arti dan hubungan melalui proses intuitif kemudian dapat
dihasilkan suatu kesimpulan (discovery learning).
Berdasarkan pendapat ketiga ahli di atas (Burner, Ausubel, dan Gagne), ternyata teori kognitif melibatkan hal-hal mental
atau pemikiran seseorang individu. Teori ini ada kaitan dengan ingatan jangka
pendek dan ingatan jangka panjang. Sesuatu pengetahuan yang diperolehi melalui
pengalaman atau pendidikan formal akan disimpan dan disusun melalui
proses pengumpulan pengetahuan supaya dapat digunakan kemudian.
B.
Perbedaan Antara Teori
Piaget, Vygotsky Dan Bruner
Piaget memandang anak-anak sebagai pembelajaran lewat penemuan individual,
sedangkan Vygotsky lebih banyak menekankan peranan orang dewasa dan anak-anak
lain dalam memudahkan perkembangan si anak.
1. Konsep Sosiokultural
Banyak developmentalis yang bekerja di
bidang kebudayaan dan pembangunan menemukan dirinya sepaham dengan Vygotsky,
yang berfokus pada konteks pembangunan sosial budaya. Teori Vygotsky menawarkan
suatu potret perkembangan manusia sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan dari
kegiatan-kegiatan sosial dan budaya. Vygotsky menekankan bagaimana
proses-proses perkembangan mental seperti ingatan, perhatian, dan penalaran
melibatkan pembelajaran menggunakan temuan-temuan masyarakat seperti bahasa,
sistem matematika, dan alat-alat ingatan. Ia juga menekankan bagaimana
anak-anak dibantu berkembang dengan bimbingan dari orang-orang yang sudah
terampil di dalam bidang-bidang tersebut. Penekanan Vygotsky pada peran
kebudayaan dan masyarakat di dalam perkembangan kognitif berbeda dengan
gambaran Piaget tentang anak sebagai ilmuwan kecil yang kesepian.
Piaget memandang anak-anak sebagai pembelajaran lewat penemuan individual,
sedangkan Vygotsky lebih banyak menekankan peranan orang dewasa dan anak-anak
lain dalam memudahkan perkembangan si anak. Menurut Vygotsky, anak-anak lahir
dengan fungsi mental yang relatif dasar seperti kemampuan untuk memahami dunia
luar dan memusatkan perhatian. Namun, anak-anak tak banyak memiliki fungsi
mental yang lebih tinggi seperti ingatan, berfikir dan menyelesaikan masalah.
Fungsi-fungsi mental yang lebih tinggi ini dianggap sebagai ”alat kebudayaan”
tempat individu hidup dan alat-alat itu berasal dari budaya. Alat-alat
itu diwariskan pada anak-anak oleh anggota-anggota kebudayaan yang lebih tua
selama pengalaman pembelajaran yang dipandu. Pengalaman dengan orang lain
secara berangsur menjadi semakin mendalam dan membentuk gambaran batin anak
tentang dunia. Karena itulah berpikir setiap anak dengan cara yang sama dengan
anggota lain dalam kebudayaannya.
Vygotsky menekankan baik level konteks sosial yang bersifat institusional
maupun level konteks sosial yang bersifat interpersonal. Pada level
institusional, sejarah kebudayaan menyediakan organisasi dan alat-alat yang
berguna bagi aktivitas kognitif melalui institusi seperti sekolah, penemuan
seperti komputer, dan melek huruf. Interaksi institusional memberi kepada anak
suatu norma-norma perilaku dan sosial yang luas untuk membimbing hidupnya.
Level interpersonal memiliki suatu pengaruh yang lebih langsung pada
keberfungsian mental anak. Menurut Vygotsky (1962), keterampilan-keterampilan
dalam keberfungsian mental berkembang melalui interaksi sosial langsung.
Informasi tentang alat-alat, keterampilan-keterampilan dan hubungan-hubungan interpersonal
kognitif dipancarkan melalui interaksi langsung dengan manusia. Melalui
pengorganisasian pengalaman-pengalaman interaksi sosial yang berada di dalam
suatu latar belakang kebudayaan ini, perkembangan mental anak-anak menjadi
matang.
2. Perkembangan Bahasa
Para pakar perilaku memandang bahasa
sama seperti perilaku lainnya, misalnya duduk, berjalan, atau berlari. Mereka
berpendapat bahwa bahasa hanya merupakan urutan respons (Skinner,1957) atau
sebuah imitasi (Bandura, 1977). Tetapi banyak diantara kalimat yang kita
hasilkan adalah baru, kita tidak mendengarnya atau membicarakannya sebelumnya.
Kita tidak mempelajari bahasa di dalam suatu ”ruang hampa sosial” (social vacuum). Kebanyakan anak-anak
diajari bahasa sejak usia yang sangat muda. Kita memerlukan pengenalan kepada
bahasa yang lebih dini untuk memperoleh keterampilan bahasa yang baik
(Adamson,1992; Schegloff,1989). Dewasa ini, kebanyakan peneliti penguasaan
bahasa yakin bahwa anak-anak dari berbagai konteks sosial yang luas menguasai
bahasa ibu mereka tanpa diajarkan secara khusus dan dalam beberapa kasus tanpa
penguatan yang jelas ( Rice,1993). Dengan demikian aspek yang penting dalam
mempelajari suatu bahasa tampaknya tidaklah banyak. Walaupun begitu, proses
pembelajaran bahasa biasanya memerlukan lebih banyak dukungan dan keterlibatan
dari pengasuh dan guru. Suatu peran lingkungan yang membangkitkan rasa ingin
tahu dalam penguasaan bahasa pada anak kecil disebut motherese, yakni
cara ibu dan orang dewasa sering berbicara pada bayi dengan frekuensi dan
hubungan yang lebih luas dari pada normal, dan dengan kalimat-kalimat yang
sederhana.
Bahasa dipahami dalam suatu urutan tertentu. Pada setiap tahap di dalam tahap
perkembangan, interaksi linguistik anak dengan orang tua dan orang lain pada
dasarnya mengikuti suatu prinsip tertentu ( Conti-Ramsden & Snow, 1991;
Maratsos, 1991). Perkembangan pemahaman bahasa pada anak bukan saja sangat
dipengaruhi oleh kondisi biologis anak, tetapi lingkungan bahasa di sekitar anak
sejak usia dini jauh lebih penting dibandingkan dengan apa yang diperkirakan di
masa lalu ( Von Tetzchner & Siegel, 1989).
Vygotsky lebih banyak menekankan bahasa dalam perkembangan kognitif daripada
Piaget. Bagi Piaget, bahasa baru tampil ketika anak sudah mencapai tahap
perkembangan yang cukup maju. Pengalaman berbahasa anak tergantung pada tahap
perkembangan kognitif saat itu. Namun, bagi Vygotsky, bahasa berkembang dari
interaksi sosial dengan orang lain. Awalnya, satu-satunya fungsi bahasa adalah
komunikasi. Bahasa dan pemikiran berkembang sendiri, tetapi selanjutnya anak
mendalami bahasa dan belajar menggunakannya sebagai alat untuk membantu
memecahkan masalah. Dalam tahap praoperasional, ketika anak belajar menggunakan
bahasa untuk menyelesaikan masalah, mereka berbicara lantang sembari
menyelesaikan masalah. Sebaliknya, begitu menginjak tahap operasional konkret,
percakapan batiniah tidak terdengar lagi.
3. Zona Perkembangan Proksimal
Meskipun pada akhirnya anak-anak akan
mempelajari sendiri beberapa konsep melalui pengalaman sehari-hari, Vygotsky
percaya bahwa anak akan jauh lebih berkembang jika berinteraksi dengan orang
lain. Anak-anak tidak akan pernah mengembangkan pemikiran operasional formal
tanpa bantuan orang lain.
Pada satu sisi, Piaget menjelaskan proses perkembangan kognitif sejalan dengan
kemajuan anak-anak, dan dia menggambarkan bahwa anak-anak mampu melakukan
sesuatu sendiri. Pada sisi lain, Vygotsky mencari pengertian bagaimana
anak-anak berkembang dengan melalui proses belajar, dimana fungsi-fungsi
kognitif belum matang, tetapi masih dalam proses pematangan. Vygotsky membedakan
antara aktual development dan potensial development pada anak. Aktual
development ditentukan apakah seorang anak dapat melakukan sesuatu tanpa
bantuan orang dewasa atau guru. Sedangkan potensial development membedakan apakah seorang anak dapat melakukan sesuatu,
memecahkan masalah di bawah petunjuk orang dewasa atau kerjasama dengan teman
sebaya.
Menurut teori Vygotsky, Zona Perkembangan Proksimal merupakan celah antara
actual development dan potensial development, dimana antara apakah seorang anak
dapat melakukan sesuatu tanpa bantuan orang dewasa dan apakah seorang anak
dapat melakukan sesuatu dengan arahan orang dewasa atau kerjasama dengan teman
sebaya.
Maksud dari ZPD adalah menitikberatkan ZPD pada interaksi sosial akan dapat
memudahkan perkembangan anak. Ketika anak mengerjakan pekerjaanya di sekolah
sendiri, perkembangan mereka kemungkinan akan berjalan lambat. Untuk
memaksimalkan perkembangan, anak seharusnya bekerja dengan teman yang lebih
terampil yang dapat memimpin secara sistematis dalam memecahkan masalah yang
lebih kompleks. Melalui perubahan yang berturut-turut dalam berbicara dan
bersikap, anak mendiskusikan pengertian barunya dengan temannya kemudian
mencocokkan dan mendalami kemudian menggunakannya. Sebuah konsekuensi pada
proses ini adalah bahwa anak belajar untuk pengaturan sendiri (self-regulasi).
4. Konsep Scaffolding
Scaffolding merupakan suatu istilah yang
ditemukan oleh seorang ahli psikologi perkembangan-kognitif masa kini, Jerome
Bruner, yakni suatu proses yang digunakan orang dewasa untuk menuntun anak-anak
melalui zona perkembangan proksimalnya.
Pengaruh
karya Vygotsky dan Bruner terhadap dunia pengajaran dijabarkan oleh Smith et
al. (1998).
a.
Walaupun Vygotsky dan Bruner telah mengusulkan peranan yang lebih penting bagi
orang dewasa dalam pembelajaran anak-anak daripad peran yang diusulkan Piaget,
keduanya tidak mendukung pengajaran didaktis diganti sepenuhnya. Sebaliknya
mereka malah menyatakan, walaupun anak tetap dilibatkan dalam pembelajaran
aktif, guru harus secara aktif mendampingi setiap kegiatan anak-anak. Dalam
istilah teoritis, ini berarti anak-anak bekerja dalam zona perkembangan
proksimal dan guru menyediakan scaffolding bagi anak selama melalui ZPD.
b.
Secara khusus Vygotsky mengemukakan bahwa disamping guru, teman sebaya juga
berpengaruh penting pada perkembangan kognitif anak.berlawanan dengan
pembelajaran lewat penemuan individu (individual discovery learning), kerja
kelompok secara kooperatif ( cooperative
group work) tampaknya mempercepat perkembangan anak.
c.
Gagasan tentang kelompok kerja kreatif ini diperluasa menjadi pengajaran
pribadi oleh teman sebaya ( peer tutoring),
yaitu seorang anak mengajari anak lainnya yang agak tertinggal dalam pelajaran.
Foot et al. (1990) menjelaskan keberhasilan pengajaran oleh teman sebaya ini
dengan menggunakan teori Vygotsky. Satu anak bisa lebih efektif membimbing anak
lainnya melewati ZPD karena mereka sendiri baru saja melewati tahap itu
sehingga bis adengan mudah melihat kesulitan-kesulitan yang dihadapi anak lain
dan menyediakan scaffolding yang sesuai.
Komputer juga dapat digunakan untuk meningkatkan pembelajaran dalam berbagai
cara. Dari perspektif pengikut Vygotsky-Bruner, perintah-perintah di layar
komputer merupakan scaffolding ( Crook, 1994). Ketika anak menggunakan
perangkat lunak (software)
pendidikan, komputer memberikan bantuan atau petunjuk secara detail seperti
yang diisyaratkan sesuai dengan kedudukan anak yang sedang dalam ZPD. Tak pelak
lagi, beberapa anak di kelas lebih terampil dalam menggunakan komputer sehingga
bisa berperan sebagai tutor bagi teman sebayanya. Dengan murid-murid yang
bekerja dengan komputer, guru bisa dengan bebas mencurahkan perhatinnya kepada
individu-individu yang memerlukan bantuan dan menyiapkan scaffolding yang sesuai bagi masing-masing anak.
C. Teori Konstruktivisme
a.
Dasar
Teori
Teori ini menekankan pembinaan pengetahuan oleh anak. Anak dapat membina
pengetahuan dengan menggunakan pengetahuan sedia ada mereka. Pelajar akan
mengaitkan pembelajaran baru dengan pembelajaran lama yang sedia ada.
Prinsip-prinsip asas Teori
Konstruktivisme ialah seperti berikut:
a.
Pengetahuan dibina oleh pelajar.
b.
Setiap pelajar memiliki idea dan pengetahuan asas.
c.
Proses pembinaan pengetahuan melibatkan aspek sosial.
Komunikasi antara guru dengan murid mungkin menimbulkan perselisihan faham.
Guru dianggap sebagai fasilitator dalam proses pembinaan pengetahuan pelajar.
b.
Implikasi Teori
Konstruktivisme
Kanak-kanak ialah pembina teori. Ilmu pengetahuan tidak disampaikan kepadanya.
Sebaliknya, dia bertanggungjawab membina pengetahuan. Oleh itu, guru perlu
menyediakan suasana pengajaran dan pembelajaran yang sesuai untuk pembinaan
pengetahuan kanak-kanak.
Guru juga perlu menerima hakikat bahawa kanak-kanak datang ke kelas dengan
berbekalkan pelbagai pengetahuan yang sedia ada dan nilai-nilai tertentu.
Mereka akan membina pengetahuan berdasarkan idea-idea dan nilai-nilai yang
sedia ada itu. Sebenarnya, guru bukan merupakan penyebar pengetahuan,
sebaliknya beliau lebih merupakan seorang pemudah cara atau fasilitator. Beliau
akan menyedikan pelbagai jenis bahan pembelajaran dan menggalakkan uji kaji,
percubaan serta penyelesaian masalah agar pembinaan pengetahuan oleh
kanak-kanak dapat berlaku.
Guru perlu menggalakkan interaksi di kalangan murid. Interaksi ini akan dapat
memudahkan mereka bertukar-tukar idea dan pembinaan pengetahuan mereka. Guru
juga perlu berupaya menyesuaikan diri dengan keadaan bilik darjah yang
menggalakkan pergerakan murid dan tahap kebisingan yang dibenarkan. Bilik
darjah juga perlu disediakan dengan pelbagai jenis bahan dan media pembelajaran
yang boleh menggalakkan dan merangsangkan pembelajaran kanak-kanak. Bahan-bahan
pembelajaran yang mencukupi dan mencabar akan memudahkan murid-murid membina
pengetahuan.
Kurikulum yang disediakan tidak seharusnya terlalu ketat. Rancangan pengajaran
dan pembelajaran perlu fleksibel kerana pada kebiasannya, proses pembelajaran
kanak-kanak adalah spontan dan sukar diramal. Kurikulum itu juga perlu memenuhi
keperluan, minat dan kebolehan kanak-kanak.
1. Teori
Psikologi Piaget
Piaget dalam teorinya memandang anak sebagai individu (pembelajar) yang aktif.
Perhatian utama Piaget tertuju kepada bagaimana anak-anak dapat mengambil peran
dalam lingkungannya dan bagaimana lingkungan sekitar berpengaruh pada
perkembangan mentalnya. Menurut Piaget (dalam Helena, 2004), anak senantiasa
berinteraksi dengan sekitarnya dan selalu berusaha mengatasi masalah-masalah
yang dihadapinya di lingkungan itu. Melalui kegiatan yang dimaksudkan untuk
memecahkan masalah itulah pembelajaran terjadi. Piaget tidak memberikan
penekanan terhadap pentingnya bahasa dalam perkembangan kognoitif anak. Bagi
Piaget bukan perkembangan bahasa pertama yang paling fundamental dalam
perkembangan kognitif melainkan aktivitas atau action.
Menurut psikologi Piaget, dua macam perkembangan dapat terjadi sebagai hasil
dari beraktivitas, yaitu asimilasi dan akomodasi. Suatu
perkembangan disebut asimilasi jika aktivitas terjadi tanpa menghasilkan
perubahan pada anak, sedangkan akomodasi terjadi jika anak menyesuaikan diri
terhadap hal-hal yang ada di lingkungannya. Misalnya menurut contoh Cameron
(2001), ketika anak sudah bisa menggunakan sendok dan kemudian diberi garpu dan
dia menggunakan garpu (alat makan baru) sebagaimana ia menggunakan sendok yang
berfungsi sebagai alat makan yang dikenal sebelumnya, berarti ia telah
melakukan asimilasi. Akan tetapi, ketika ia sadar bahwa dengan garpu ia
memiliki kesempatan untuk makan dengan cara menusukkan garpu ke makanan dan
bukan cuma menyendoknya. Dengan demikian, anak itu telah melakukan akomodasi.
Pada mulanya asimilasi dan akomodasi merupakan proses adaptasi perilaku yang
kemudian menjadi proses berpikir. Akomodasi merupakan konsep penting yang
kemudian dipertimbangkan dalam dunia pembelajaran bahasa yang dikenal dengan sebutan
restructuring. Istilah ini mengacu kepada reorganisasi representasi
mental dalam sebuah bahasa (McLaughlin, 1992). Maksudnya, anak telah memiliki
pola-pola bahasa dalam pikirannya, tetapi ketika dihadapkan kepada fakta bahasa
(pola) baru dan fakta baru tersebut memiliki potensi untuk berkomunikasi dengan
cara berbeda, maka anak melakukan penyesuaian dengan pola-pola baru.
Menurut pandangan Piaget, pikiran anak berkembang perlahan-lahan seiring dengan
pertumbuhan pengetahuan dan keterampilan intelektualnya hingga sampai ke tahap
berpikir logis dan formal. Akan tetapi, pertumbuhan ditandai dengan
perubahan-perubahan mendasar tertentu yang menyebabkan anak mampu melampaui
serangkaian tahapan yang dimaksud. Pada setiap tahap, anak mampu berpikir
memikirkan hal-hal tertentu, tetapi tidak atau belum mampu memikirkan hal-hal
yang lain. Jadi, menurut Piaget, berpikir melibatkan hal-hal yang abstrak dan
menggunakan jalur logika belum mampu dilakukan anak sebelum ia berusia 11 tahun
atau lebih.
Pendapat ini banyak dikritik karena ketika diakhir tahun 70-an dan di awal
tahun 80-an diterapkan kebijakan bahwa anak-anak harus terlebih dahulu
melakukan srangkaian kegiatan yang menyiapkan mereka untuk menulis kalimat yang
memakan waktu lama, anak akan kehilangan kesempatan untuk mengalami proses yang
holistik atau menyeluruh. Proses holistik tersebut ialah proses yang
menyadarkan anak bahwa tujuan menulis adalah komunikasi dan bukan berlatih
menulis bentuk huruf semata. Aspek komunikasi inilah
yang merupakan aspek sosial dari kegiatan menulis, dan aspek ini yang
terabaikan oleh Piaget. Piaget lebih memperhatikan anak dalam dunianya sendiri,
dan bukan anak yang berkomunikasi dengan orang dewasa atau dengan anak lain.
Ada pendapat Piaget yang penting, yaitu anak sebagai pembelajar dan pemikir
yang aktif, yang membangun pengetahuannya dengan ‘bergulat’ dengan benda-benda
atau gagasan-gagasan. Jika kita mengambil gagasan Piaget bahwa anak beradaptasi
dengan lingkungannya, kita dapat melihat bagaimana lingkungan dapat menjadi setting
untuk perkembangan. Lingkungan menawarkan berbagai kesempatan kepada anak untuk
bertindak. Oleh karenanya, lingkungan kelas, misalnya, dapat menjadi ajang
kegiatan dan kreativitas yang menyebabkan pembelajaran terjadi. Berdasarkan
pendapat ini, pembelajaran bahasapun dapat terjadi jika lingkungan kelas maupun
sekitarnya dimanfaatkan sedemikian rupa agar menawarkan berbagai kesempatan
bagi keterlibatan dan kreativitas anak.
2. Teori
Psikologi Vygotsky
Pakar psikologi lain, Vygotsky (1962, 1978), memberikan pandangan berbeda
dengan Piaget terutama pandangannya tentang pentingnya faktor sosial dalam
perkembangan anak. Vygotsky memandang pentingnya bahasa dan orang lain dalam
dunia anak-anak. Meskipun Vygotsky dikenal sebagai tokoh yang memfokuskan
kepada perkembangan sosial yang disebut sebagai sosiokultural, dia tidak
mengabaikan individu atau perkembangan kognitif individu. perkembangan bahasa
pertama anak tahun kedua di dalam hidupnya dipercaya sebagai pendorong
terjadinya pergeseran dalam perkembangan kognitifnya. Bahasa memberi anak
sebuah alat baru sehingga memberi kesempatan baru kepada anak untuk melakukan
berbagai hal, untuk menata informasi dengan menggunakan simbol-simbol.
Anak-anak sering terlihat berbicara sendiri dan mengatur dirinya sendiri ketika
ia berbuat sesuatu atau bermain. Ini disebut sebagai private speech.
Ketika anak menjadi semakin besar, bicaranya semakin lirih, dan mulai
membedakan mana kegiatan bicara yang ditujukan ke orang lain dan mana yang ke
dirinya sendiri.
Yang mendasari teori Vygotsky adalah pengamatan bahwa perkembangan dan
pembelajaran terjadi di dalam konteks sosial, yakni di dunia yang penuh dengan
orang yang berinteraksi dengan anak sejak anak itu lahir. Ini berbeda dengan
Piaget yang memandang anak sebagai pembelajar yang aktif di dunia yang penuh
orang. Orang-orang inilah yang sangat berperan dalam membantu anak belajar
dengan menunjukkan benda-benda, dengan berbicara sambil bermain, dengan
membacakan ceritera, dengan mengajukan pertanyaan dan sebagainya. Dengan kata
lain, orang dewasa menjadi perantara bagi anak dan dunia sekitarnya.
Kemampuan belajar lewat instruksi dan perantara adalah ciri inteligensi
manusia. Dengan pertolongan orang dewasa, anak dapat melakukan dan memahami
lebih banyak hal dibandingkan dengan jika anak hanya belajar sendiri. Konsep
inilah yang disebut Vygotsky sebagai Zone of Proximal Development (ZPD).
ZPD memberi makna baru terhadap ‘kecerdasan’. Kecerdasan tidak diukur dari apa
yang dapat dilakukan anak dengan bantuan yang semestinya. Belajar melakukan
sesuatu dan belajar berpikir terbantu dengan berinteraksi dengan orang dewasa.
Menurut Vygotsky, pertama-tama anak melakukan segala sesuatu dalam konteks
sosial dengan orang lain dan bahasa membantu proses ini dalam banyak hal.
Lambat laun, anak semakin menjauhkan diri dari ketergantungannya kepada orang
dewasa dan menuju kemandirian bertindak dan berpikir. Pergeseran dari berpikir
dan berbicara nyaring sambil melakukan sesuatu ke tahap berpikir dalam hati
tanpa suara disebut internalisasi. Menurut Wretsch (dalam Helena, 2004)
internalisasi bagi Vygotsky bukanya transfer, melainkan sebuah transformasi.
Maksudnya, mampu berpikir tentang sesuatu yang secara kualitatif berbeda dengan
mampu berbuat sesuatu. Dalam proses internalisasi, kegiatan interpersonal
seperti bercakap-cakap atau berkegiatan bersama, kemudian menjadi
interpersonal, yaitu kegiatan mental yang dilakukan oleh seorang individu.
Banyak gagasan Vygotsky yang dapat membantu dalam membangun kerangka berpikir
untuk mengajar bahasa asing bagi anak-anak. Untuk membuat keputusan apa yang
bisa dilakukan guru agar mendukung pembelajaran kita dapat menggunakan gagasan
bahwa orang dewasa menjadi perantara. “Lalu … apalagi yang dapat dipelajari
anak-anak?”. Ini dapat berdampak pada bagaimana menyiapkan pelajaran atau
bagaimana guru harus berbicara dengan siswa setiap saat. ZPD dapat menjadi
pemandu dalam memilih dan menyusun pengalaman pembelajaran bagi siswa untuk
membantu mereka maju dari tahap interpersonal ke intrapersonal. Kita membantu
anak agar internalisasi terjadi sehingga bahasa baru yang diajarkan menjadi
bagian dari pengetahuan dan keterampilan berbahasa anak.
3. Teori
Psikologi Bruner
Menurut Bruner (dalam Helena, 2004) bahasa adalah alat yang paling penting bagi
pertumbuhan kognitif anak. Bruner meneliti bagaimana orang dewasa menggunakan
bahasa untuk menjembatani dunia sekitar dengan anak-anak dan membantu mereka
memecahkan masalah. Pembicaraan atau “omongan” yang mendukung anak dalam
melakukan kegiatan disebut scaffolding talk. Scaffolding talk atau
omongan guru yang digunakan untuk menyelenggarakan kegiatan di kelas, dapat
berlangsung mulai dari memeriksa presensi sampai membubarkan kelas. Ketika scaffolding
talk itu terjadi dalam pembelajaran bahasa Inggris, maka semua itu juga
harus dilakukan dalam bahasa Inggris pula. Dalam sebuah ekxperimen yang
dilakukan terhadap ibu-ibu dan anak-anak di Amerika, orang tua yang melakukan scaffolding
talk secara efektif biasa melakukan hal-hal sebagai berikut:
a.
Mereka membuat anak tertarik kepada tugas-tugas yang diberikan;
b.
Mereka membuat tugas menjadi lebih sederhana, seringkali dengan memecah-mecah
tugas menjadi langkah-langkah yang lebih kecil;
c.
Mereka mampu mengarahkan anak kepada penyelesaian tugas dengan mengingatkan
anak tentang tujuan utamanya;
d.
Mereka menunjukkan apa-apa yang penting untuk dikerjakan, atau menunjukkan
bagaimana melakukan bagian-bagian dari tugas itu;
e.
Mereka menunjukkan bagaimana tugas itu dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya.
Gagasan Bruner yang lain yang sangat relevan dan berguna bagi pembelajaran
adalah mengenai format and routine. Kedua hal ini mengacu pada
kebiasaan-kebiasaan yang memungkinkan kegiatan scaffolding terjadi. Scaffolding
adalah aktivitas guru, baik secara fisik maupun verbal, yang dilakukan secara
rutin sehingga anak menjadi terbiasa dengan kegiatan atau ungkapan-ungkapan
guru waktu pelajaran berlangsung. Jadi, ketika anak terbiasa dengan pola
kegiatan atau bahasa guru, mereka merasa “nyaman” dan percaya diri dan mereka
menjadi siap untuk menerima hal-hal yang baru. Caontoh yang paling menonjol
yang diberikan Bruner adalah kebiasaan membaca ceritera atau story reading
yang dilakukan orang tua di Amerika kepada anak-anaknya. Tentu saja, ketika
anak bertambah usia, buku cerita yang digunakan juga berubah, tetapi format
kegiatannya masih serupa. Dalam kegiatan ini, orang dewasalah yang banyak
bicara baik ketika membaca ceritera (yang sering diberi ilustrasi
gambar-gambar) maupun sambil memberi pertanyaam atau instruksi kepada
anak-anak, seperti “Coba lihat ini… hidungnya besar, kan?”. Dengan cara ini
keterlibatan anak dalam berbicara akan meningkat pula. Jika orang tua atau guru
banyak melakukan pembacaan ceritera, maka guru akan banyak melakukan
pengulangan ungkapan-ungkapan yang semakin lama semakin canggih yang dipahami
oleh siswa. Kegiatan membaca certera ini ditunjang oleh orang dewasa agar anak
dapat berpartisipasi sesuai dengan tingkat kemampuannya.
Dengan kata lain penggunaan bahasa yang dilakukan secara rutin menjadi mudah
ditebak; anak mudah menebak apa yang dikatakan guru dan anak akan dapat lebih
mudah merespon perkataan guru. Di sini terdapat “ruang” tempat anak dapat
mempraktikkan bahasanya sendiri. “Ruang untuk tumbuh” atau space of growth
ini menjadi zone of proximal development (ZPD) sebagaimana ada dalam
teori Vygotsky. Menurut Bruner, kegiatan rutin dan penyesuaian-penyesuain
inilah yang menyediakan tempat bagi perkembangan bahasa dan kognitif anak.
Implikasi Praktis
Teori Vygotsky tentang Zone of Proximal Development menekankan betapa
peran guru sangat dibutuhkan dalam rangka terjadinya pembelajaran yang optimal.
Dikatakan bahwa anak atau siswa memiliki kapasitas atau potensi untuk belajar
sendiri (seperti teori Piaget), tetapi belajar yang optimal terjadi karena anak
mendapat pertolongan dari orang dewasa yang ada di sekitarnya. Pembelajaran
terjadi karena adanya interaksi dengan lingkungan sosialnya. Penelitian
Halliday mengenai bagaimana anak kecil ber(tukar) makna (learning how to
mean) memberikan ilustrasi yang bernilai terhadap teori Vygotsky ini.
Bahasan ini menunjukkan betapa pentingnya bagi guru untuk merencanakan kegiatan
belajar mengajar yang seksama. Rencana tersebut secara eksplisit perlu
mencantumkan kegiatan apa yang akan dilakukan atau pengalaman pembelajaran apa
yang akan diberikan dan untuk tujuan apa. Rencana pengajaran tersebut
diharapkan secara serius mempertimbangkan jenis-jenis interaksi di dalam kelas
yang menjadikan kelas sebagai ZPD. Implikasinya ialah bahwa guru memang masih
perlu menjelaskan pola kalimat, melakukan drill jika perlu melatih
ucapan, tetapi sebagian besar waktu sebaiknya dimanfaatkan semaksimal mungkin
agar terjadi macam interaksi. Teori Burner juga mendukung
gagasan Vygotsky. Gagasan Bruner tentang scaffolding atau memberikan
kegiatan-kegiatan pendukung dalam upaya terjadinya internalisasi sangat relevan
dengan pendidikan bahasa. Di bidang ini, kegiatan scaffolding secara
verbal merupakan keniscayaan jika pendidikan bahasa dimaksudkan sebagai
pendidikan komunikasi. Sayangnya, justru scaffolding talk atau “omongan”
guru yang diharapkan menyertai seluruh proses pembelajaran bahasa Inggris
sering tidak muncul di dalam kelas. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa guru
berbahasa Inggris hanya kalau sedang membaca bacaan, pertanyaan yang ada di
buku dan instruksi-instruksi tertulis. Kegiatan lain diselenggarakan dalam
bahasa Indonesia. Misalnya, memeriksa kehadiran siswa, mengatur atau mengelola
kelas, memberi komentar-komentar; semuanya dilakukan dalam bahasa Indonesia.
Padahal, justru ungkapan-ungkapan bahasa Inggris yang “bukan pelajaran” inilah
yang potensial untuk membangun ZPD, menanamkan kebiasaan, dan memungkinkan
terjadinya internalisasi.
Implikasi lain, terutama teori Vygotsky, tampaknya terjadi pula pada pandangan
para pengikut konstruktivisme dalam pembelajaran (bahasa). Seperti telah
disinggung di depan bahwa menurut teori Vygotsky, anak-anak dibesarkan di dalam
suatu setting kelompok sosial. Vygotsky memandang pentingnya kultur dan
pentingnya konteks sosial bagi perkembangan kognitif. Menurut Vygotsky, atau
dengan cara pandang konstruktivisme ini, anak-anak dengan pertolongan orang
dewasa dapat menguasai konsep-konsep atau gagasan-gagasan yang mereka tidak
bisa pahami sendiri. Annie Susany (2002) menyatakan bahwa dalam visi konstruktivisme
terdapat empat pandangan utama yang diyakini oleh para pendukungnya, yaitu:
a.
Belajar dan berkembang adalah bersifat sosial, sehingga belajar merupakan suatu
kegiatan kolaboratif;
b.
“The Zone of Proximal Development” dapat bertindak sebagai suatu
pegangan untuk rencana kurikuler dan mata pelajaran;
c.
Pengajaran di sekolah seyogyanya terjadi dalam suatu konteks yang bermakna (meaningful
context) dan tidak bisa dipisahkan dari pengajaran serta pengetahuan yang
dikembangkan oleh para siswa dan “dunia nyata”;
d.
Pengalaman-pengalaman di luar sekolah hendaknya dihubungkan dengan
pengalaman-pengalaman para anak-anak di dalam lingkungan sekolah.
ZPD dalam hal ini merupakan suatu gagasan yang memandang bahwa potensi
perkembangan kognitif seseorang terbatas pada suatu waktu tertentu saja. ZPD
ini bisa dikembangkan secara terus menerus dan memerlukan interaksi sosial. ZPD
menurut Vygotsky sebagai jarak antara tingkat perkembangan dengan tingkat
potensi perkembangan yang dimiliki seseorang. Berdasarkan pada konsep ini,
seorang guru bisa menawarkan suatu tujuan yang mungkin sulit dicapai oleh para
anak-anak dan kemudian mereka ini berusaha untuk mencapainya sendiri atau
dengan bantuan anak-anak lain yang lebih dewasa. Vigotsky memandang bermain
sebagai faktor atau sarana yang sangat penting dalam belajar.
D.
Perkembangan
Bahasa Anak Usia Dini
A.
Teori-teori
Perkembangan Bahasa
Implementasi pengembangan bahasa pada
anak tidak terlepas dari berbagai teori yang dikemukakan para ahli. Pemahaman
akan berbagai teori dalam pengembangan bahasa dapat mempengaruhi dalam
menerapkan metode yang tepat bagi implementasi terhadap pengembangan bahasa
anak itu sendiri sehingga diharapkan pendidik mampu mencari dan membuat bahan
pengajaran yang sesuai dengan tingkat usia anak.
Adapun beberapa teori yang dapat dijadikan rujukan
dalam implementasi pembelajaran bahasa adalah:
1) Teori behaviorist oleh Skinner, mendefinisikan bahwa pembelajaran dipengaruhi oleh perilaku yang dibentuk oleh lingkungan eksternalnya, artinya pengetahuan merupakan hasil dari interaksi dengan lingkungannya melalui pengkondisian stimulus yang menimbulkan respon. Perubahan lingkungan pembelajaran dapat mempengaruhi pikiran, perasaan, dan perilaku anak secara bertahap. Perilaku positif jika diperkuat cenderung untuk diulangi lagi karena pemberian penguatan secara berkala dan disesuaikan dengan kemampuan anak akan efektif untuk membentuk perilaku anak. Latihan yang diberikan kepada anak harus dalam bentuk pertanyaan (stimulus) dan jawaban (respon) yang dikenalkan anak melalui tahapan-tahapan, mulai dari yang sederhana sampai pada yang lebih rumit contoh: sistem pembelajaran drilling. Anak akan memberikan respon pada setiap pembelajaran dan dapat segera memberikan balikan. Disini Pendidik perlu memberikan penguatan terhadap hasil kerja anak yang baik dengan pujian atau hadiah.
2) Teori Nativist oleh Chomsky, mengutarakan bahwa bahasa sudah ada di dalam diri anak. Pada saat seorang anak lahir, dia telah memiliki seperangkan kemampuan berbahasa yang disebut ‘Tata Bahasa Umum” atau ‘Universal Grammar’. Meskipun pengetahuan yang ada di dalam diri anak tidak mendapatkan banyak rangsangan, anak akan tetap dapat mempelajarinya. Anak tidak sekedar meniru bahasa yang dia dengarkan, tapi ia juga mampu menarik kesimpulan dari pola yang ada, hal ini karena anak memiliki sistem bahasa yang disebut Perangkat Penguasaan Bahasa (Language Acquisition Devise/LAD). Teori ini berpengaruh pada pembelajaran bahasa dimana anak perlu mendapatkan model pembelajaran bahasa sejak dini. Anak akan belajar bahasa dengan cepat sebelum usia 10 tahun apalagi menyangkut bahasa kedua (second language). Lebih dari usia 10 tahun, anak akan kesulitan dalam mempelajari bahasa.
3) Teori Constructive oleh Piaget, Vigotsky dan Gardner, menyatakan bahwa perkembangan kognisi dan bahasa dibentuk dari interaksi dengan orang lain sehingga pengetahuan, nilai dan sikap anak akan berkembang. Anak memiliki perkembangan kognisi yang terbatas pada usia-usia tertentu, tetapi melalui interaksi sosial anak akan mengalami peningkatan kemampuan berpikir. Pengaruhnya dalam pembelajaran bahasa adalah anak akan dapat belajar dengan optimal jika diberikan kegiatan sementara anak melakukan kegiatan perlu didorong untuk sering berkomunikasi. Adanya anak yang lebih tua usianya atau orang dewasa yang mendampingi pembelajaran dan mengajak bercakap-cakap akan menolong anak menggunakan kemampuan berbahasa yang lebih tinggi atau melejitkan potensi kecerdasan bahasa yang sudah dimiliki anak. Oleh karena itu pendidik perlu menggunakan metode yang interaktif, menantang anak untuk meningkatkan pembelajaran dan menggunakan bahasa yang berkualitas.
Permainan yang dapat mendukung terciptanya rangsangan
pada anak dalam berbahasa antara lain alat peraga berupa gambar yang terdapat
pada buku atau poster, mendengarkan lagu atau nyanyian, menonton film atau
mendengarkan suara kaset, membaca cerita (story
reading/story telling) ataupun mendongeng. Semua aktivitas yang dapat
merangsang kemampuan anak dalam berbahasa dapat diciptakan sendiri oleh
pendidik. Pendidik dapat berimprovisasi dan mengembangkan sendiri dengan cara
menerapkannya kepada anak sesuai dengan kondisi dan lingkungannya.
Perkembangan bahasa pada anak usia dini sangat penting
karena dengan bahasa sebagai dasar kemampuan seorang anak akan dapat
meningkatkan kemampuan-kemampuan yang lain. Pendidik perlu menerapkan ide-ide
yang dimilikinya untuk mengembangkan kemampuan berbahasa anak, memberikan
contoh penggunaan bahasa dengan benar, menstimulasi perkembangan bahasa anak
dengan berkomunikasi secara aktif. Anak terus perlu dilatih untuk berpikir dan
menyelesaikan masalah melalui bahasa yang dimilikinya. Kegiatan nyata yang
diperkuat dengan komunikasi akan terus meningkatkan kemampuan bahasa anak.
Lebih daripada itu, anak harus ditempatkan di posisi yang terutama, sebagai
pusat pembelajaran yang perlu dikembangkan potensinya. Anak belajar bahasa
perlu menggunakan berbagai strategi misalnya dengan permainan-permainan yang
bertujuan mengembangkan bahasa anak dan penggunaan media-media yang beragam
yang mendukung pembelajaran bahasa. Anak akan mendapatkan pengalaman bermakna
dalam meningkatkan kemampuan berbahasa dimana pembelajaran yang menyenangkan
akan menjadi bagian dalam hidup anak.
B. Pengertian Bahasa
Bahasa merupakan alat untuk berkomunikasi. Melalui
bahasa manusia dapat berinteraksi dan berkomunikasi mengemukakan hasil
pemikirannya dan dapat mengekspresikan perasaannya. Dengan bahasa orang dapat
membuka cakrawala berfikir dan mengmbangakan wawasannya. Anak-anak belajar
bahasa melalui interaksi dengan lingkungannya baik lingkungan rumah,sekolah,
atau masyrakat. Di sekolah anak belajar bahsa melalui interaksi dengan guru,
teman sebaya dan orang dewasa lainnya. Guru atau pendidik anak usia dini perlu
memahami tentang perkembangan dan pengembangan bahasa anak.
Menurut Ensiklopedia Indonesia (1980) bahasa adalah
kumpulan kata dan aturan yang tetap di dalam menggabungkannya berupa kalimat,
merupakan system bunyi yang melambangkan pengertian-pengertian tertentu.
Menurut Fred Ebbeck (1989) bahasa dapat dimaknai
sebagai suatu system tanda,baik lisan maupun tulisan merupakan system
komunikasi antar manusia.
Menurut Yus
Badudu (1989) bahasa merupakan alat penghubung atau komunikasi antar anggota
masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang menyatakan perasaan, dan
keinginannya. Bahasa sebagai suatu system lambing bekerja sama, berinteraksi,
dan mengidentifikasikan diri. Lebih lanjut menurut Broomly dalam Nurbiana Dieni
dkk (2005) mendefinisikan bahasa sebagai system simbol yang teratur untuk
mentransfer berbagai ide maupun informasi yang terdiri dari simbol-simbol
visual maupun verbal.
Pendapat lain tentang bahasa dikemukakan oleh Eliason (1994) bahwa bahasa meliputi berbicara, menyimak,menulis dan ketrampilan membaca. Sedangkan menurut Hui Ling Chua (2003) bahasa memungkinkan anak untuk menterjemahkan pengalaman mentah ke dalam symbol-simbol yang dapat digunakan untuk berkomunikasi dan berfikir.Menurut Eliason, bahasa adalah alat untuk berfikir, mengekspresikan diri dan berkomunikasi.
Pendapat lain tentang bahasa dikemukakan oleh Eliason (1994) bahwa bahasa meliputi berbicara, menyimak,menulis dan ketrampilan membaca. Sedangkan menurut Hui Ling Chua (2003) bahasa memungkinkan anak untuk menterjemahkan pengalaman mentah ke dalam symbol-simbol yang dapat digunakan untuk berkomunikasi dan berfikir.Menurut Eliason, bahasa adalah alat untuk berfikir, mengekspresikan diri dan berkomunikasi.
C. Perkembangan Bahasa Anak
Menurut Eliason (1994) perkembangan bahasa dimulai
sejak bayi dan mengandalkan perannya pada pengalaman,penguasaan dan pertumbuhan
bahasa.Anak belajar bahasa sejak masa bayi sebelum belajar berbicara mereka
berkomunikasi melalui tangisan, senyuman dan gerakan badan.
Belajar
bahasa sangat krusial terjadi pada usia sebelum enam tahun. Oleh karena itu
pendidikan Anak Usia Dini merupakan wahana yang sangat penting dalam
mengembangkan bahasa anak sehingga kondisi ini bisa memfasilitasi pengembangan
ketrampilan berbahasa pada anak usia dini. Anak memperoleh bahasa dari
lingkungan keluarga dan lingkungan tetangga. Dengan kosa kata yang mereka
miliki pertumbuhan kosa kata anak akan tumbuh dengan cepat seperti dikemukan
oleh Sroufe(1996) pertumbuhan kosa kata anak akan lebihcepat setelah mereka
mulai berbicara.
D. Tujuan Pengembangan Bahasa bagi Anak Usia Dini
Pengembangan kemampuan berbahasa
bagi Anak Usia Dini bertujuan agar anak mampu berkomunikasi secara lisan dengan
lingkungannya. Lingkungan yang dimaksud adalah lingkunagn di sekitar anak
antara lain teman sebaya, teman bermain,orang dewasa, baik yanga da di sekolah,
di rumah, maupun dengan tetangga di sekitar tempat tinggalnya.
Kemampuan bahasa Anak Usia Dini diperoleh dan dipelajari anak secara alami untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya sehingga anak akan ammpu bersosialisasi, berinteraksi dan merespon orang lain.
Kemampuan bahasa Anak Usia Dini diperoleh dan dipelajari anak secara alami untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya sehingga anak akan ammpu bersosialisasi, berinteraksi dan merespon orang lain.
E.
Fungsi
Bahasa bagi anak
Fungsi bahasa bagi Anak Usia Dini
adalah sebagai alat untuk mengembangkan kemampuan intelektual dan kemampuan
dasar anak. Secara khusus Gardner mengemukakan bahwa fungsi bahasa bagi anak
usia Dini adlah untuk mengembangkan ekspresi,perasaan, Imajinasi dan pikiran.
DEPDIKNAS (2000) menjelaskan fungsi
pengembangan kemampuan berbahasa bagi anak Usia Dini anatara lain:
1.
Sebagai alat untuk berkomunikasi
dengan lingkungan
2.
Sebagai alat untuk mengembangkan
kemampuan intelektual anak
3.
Sebagai alat untuk mengembangkan
ekspresi anak
4.
Sebagai alat untuk menyatakan
perasaan dan buah pikiran kepada orang lain
Tujuan khusus komunikasi bagi anak meliputi : Bahasa
reseftif, bahasa ekspresif, komunikasi verbal,mengingat dan membedakan.
1.
Bahasa Reseftif
Yang dimaksud dengan bahasa reseftif adalah bahasa pasif. Tujuan khusus bahasa reseftif
a.
Membantu anak mengembangkan
kemampuan mendengarkan,contohnya mendengarkan cerita, nyanyian dan sebagainya.
b.
Membantu anak mengindentifikasi
konsep melalui pemahaman pelabelan kata-kata.
c.
Meningkatkan kemampuan untuk
merespon pembelajaran langsung contohnya bagaiman anak dapat menjawab atau
merespon pertanyaan yang diajukan oleh guru.
d.
Membantu anak untuk mereaksi setiap komunikasi
lainnya contohnya anak dapat memberi respon atau reaksi ketika ia berinteraksi
dengan lingkungannya baik dengan guru, orang tua atau teman sebayanya.
2.
Bahasa ekspresif
a.
Membantu anak mengekspresikan
kebutuhan, keinginan dan perasaan secara verbal.
b.
Mendorong anak untuk berbicara secara lebih
jelas dan tegas sehingga mudah dipahami.
c.
Mendorong kepasihan berbahasa. Anak
harus belajar bahasa yang pasih baik ucapan maupun susunan kalimatnya sehingga
mudah dimengerti oleh orang lain melalui pemberian contoh guru sendiri
menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
d.
Membantu anak memahami bahwa
komunikasi tesebut dapat berpengaruh secara lebih efektif terhadap lingkungan
sosial dan lingkungan anak.
3. Komunikasi
non verbal
a.
Membantu anak untuk mengeksresikan
perasaan dan emosinya melalui ekspresi wajah.
b.
Membantu anak mengeksresikan
keinginan dan kebutuhannya melalui gerak tubuh dan tangan.
c.
Mendorong anak untuk menggunakan
kontak mata ketika berinteraksi dengan orang lain.
4.
Mengingat dan membedakan
a.
Mengajar anak untuk membedakan antara
tipr/nada/kerasnya bunyi
b.
Membantu anak untuk mengulang dan
meniru pola mimik
c.
Membantu anak mengirim pesan verbal
yang kompleks
d.
Meningkatkan kemampuan anak untuk
mengingat, membangun dan mengurutkan.
F. Prinsip Pengembangan Bahasa
Dalam mengembangkan bahasa Anak Usia
Dini perlu memperhatikan prinsip sebagai berikut:
Sesuaikan dengan tema kegiatan dan
lingkungan terdekat.Misalnya tentang jenis-jenis kendaraan,bagian-bagian
kendaraan, gunanya,warnanya dll.
1. Pembelajaran harus berorientasi pada kemampuan yang
hendak dicapai sesuai potensi anak. Misalnya anak dapat menyebutkan makanan
khas kota Bandung,
2. Tumbuhkan kebebasan dalam mengungkapkan pikiran dan
perasaan dikaitkan dengan spontanitas. Misalnya anak dapat mengungkapkan
pengalamannya yang berkaitan dengan naik kendaraan.
3. Diberikan alternatif pikiran dalam mengungkapkan
isi hatinya. Apabila anak sulit untuk mengungkapkan pikirannnya dengan
kata-kata bisa dilakukan melalui tulisan atau gambar.
4. Komunikasi guru dan anak akrab dan menyenangkan
5. Guru menguasai pengembangan bahasa
6. Guru bersikap normatif, model, contoh pengguna
bahasa Indonesia yang baik dan benar
7. Bahan pembelajaran membantu pengembangan kemampuan
dasar anak
8. Tidak menggunakan huruf satu-satu secara formal.
G. Konteks Pengembangan Bahasa
Konteks Pengembangan bahasa atau yang dikenal dengan ketrampilan
berbahasa meliputi:
1. Mendengarkan
2. Berbicara
3. Membaca
4. Menulis
H. Metode Pengembangan Bahasa Anak Usia Dini
Metode yang digunakan guru dalam mengembangkan kemampuan
berbahasa anak usia dini.
1. Metode bercerita
a. Pengertian
Metode
bercerita merupakan salah satu pemberian pengalaman belajar bagi Anak Usia Dini
dengan membawakan cerita kepada anak secara lisan. Cerita yang dibawakan guru
harus menarik dan mengundang perhatian anak.
Penggunaan
bercerita sebagai salah satu strategi pembelajaran untuk Anak Usia Dini,
haruslah memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Isi cerita harus terkait dengan
dunia kehidupan anak, sehingga anak memahami isi cerita tersebut
2. Kegiatan bercerita diusahakan dapat
memberikan perasaan gembira lucu dan mengasyikan sesuai dengan kehidupan anak
yang penuh suka cita.
3. Kegiatan bercerita diusahakan
menjadi pengalaman yang bersifat unik dan menarik bagi anak.
Untuk dapat bercerita dengan baik,
pendidik harus memperhatikan hal-hal berikut:
1. Menguasai isi cerita secara
tuntas
2. Memiliki ketrampilan bercerita
3. Berlatih dalam irama dan modulasi
suara secara terus-menerus
4. Menggunakan perlengkapan yang
menarik perhatian anak
5. Menciptakan situasi emosional
sesuai dengan tuntutan cerita.
Teknik-teknik
yang bisa digunakan guru dalam membacakan cerita:
1. Membaca langsung dari buku cerita
2. Bercerita dengan menggunakan
ilustrasi gambar dari buku
3. Menceritakan dongeng
4. Bercerita dengan papan flannel
5. Bercerita dengan menggunakan
media boneka
6. Dramatisasi suatu cerita
7. Bercerita sambil memainkan
jari-jari tangan
b. Manfaat bercerita bagi anak:
1. Bagi Anak Usia Dini mendenganrkan
cerita yang menarik yang dekat denganlingkungannya merupakan kegiatan yang
mengaksyikan.
2. Guru dapat menanmkan kegiatan
bercerita untuk menanamkan kejujuran, keberanian,kesetiaan,
keramahan,ketulusan,dan sikap-sikap positif yang lain daalm kehidupan
lingkungan keluarga, sekolah dan luar sekolah.
3. Memberikan sejumlah pengetahuan
sosial, nilai-nilai moral dan keagamaan.
4. Memberikan pengalaman untuk belajar
dan berlatih mendengarkan
5. Memungkinkan anak untuk
mengembangkan kemampuan kognitif, efektif maupun psikomotorik.
6. Memungkinkan dimensi perasaan
anak.
7. Memberika informasi tentang
kehidupan sosial anak dengan orang-orang yang ada di sekitarnya dengan bermacam
pekerjaan.
8. Membantu anak membangun bermacam
peran yang mungkin dipilih anak, dan
bermacam layanan jasa yang ingin
disumbangkan anak kepada masyarakat.
c. Tujuan Kegiatan Bercerita bagi
Anak Usia Dini :
1. Menanamkan pesan-pesan atau
nila-nilai sosial, moral dan agama yang terkandung dalam sebuah cerita.
2. Guru memberikan informasi tentang
lingkungan fisik dan lingkungan sosial yang perlu diketahui oleh anak.
d. Tema Kegiatan bercerita bagi Anak
Usia Dini
Tema yang
dipilih sebagai materi sangatlah banyak dan beragam, diantaranya adalah
tema-tema yang berkaitan dengan kehidupan anak sehari-hari.
e. Prosedur Pelaksanaan Kegiatan
Bercerita:
1. Menetapkan tujuan dan tema cerita
2. Menetapkan bentuk bercerita yang
dipilih
3. Menetapkan bahan dan alat yang
diperlukan dalam kegiatan bercerita
4. Menetapkan langkah-langkah
kegiatan bercerita
2. Metode Bercakap-cakap
a. Pengertian Metode Bercakap-cakap
Metode
bercakap-cakap merupakan suatu penyampaian pengembangan yang dilaksanakan
melalui bercakap-cakap antara guru dengan anak.
Tujuan meroda bercakap-cakap menurut Moeslihatun (1999) adalah:
Tujuan meroda bercakap-cakap menurut Moeslihatun (1999) adalah:
1. Mengmbangkan kecakapan dan
keberanian anak dalam menyampaikan pendapat kepada siapapun.
2. memberi kesempatan pada anak
untuk berekspresi secara lisan
3. Memperbaiki lafal dan ucapan anak
4. Mengembangka intelegensi anak
5. Menambah perbendaharaan kosa kata
6. Melatih daya tangkap
7. Melatih daya fikir dan fantasi
anak
8. Menambah pengetahuan dan
pengalaman anak
9. Memberikan kesenangan pada anak
10. Merangsang anak untuk belajar
membaca dan menulis
b. Bentuk metode bercakap-cakap
1). Bercakap-cakap bebas
2). Bercakap-cakap menurut pokok
bahasan
3). Bercakap-cakap dengan
menggunakan gambar seri
3. Metode tanya jawab
Metode tanya jawab biasanya dapat
digunakan dengan metoda lain yang disebut metode bantu.Menurut Depdikbud (1998)
adalah suatu metode dalam pengembangan bahasa yang dapat memberi rangsangan
agar anak aktif untuk berfikir, melalui pertanyaan-pertanyan guru, anak akan
berusaha memahaminya dan menenukan jawabannya.
4. Metode bermain Peran
Metode
bermain peran merupakan salah satu metode yang dapat digunakan dalam
mengmbangkan kemampuan bahasa dimana diupayakan untuk membantu anak dalam
menemukan makna dari lingkungan yang bermanfaat dan memecahkan masalah yang dihadapi
dengan kelompok sebayanya.
E. Perkembangan Kognitif, Bahasa, Fisik-motorik, Moral Dan Agama dan Seni Anak Usia Dini
A.
Perkembangan Kognitif
1.
Pengertian Kognitif
kognitif adalah yang
mencakup kegiatan mental (otak). Segala upaya yang menyangkut aktivitas otak
adalah termasuk dalam kognitif. kognitif memiliki enam jenjang atau aspek, yaitu:
1. Pengetahuan/hafalan/ingatan (knowledge)
2. Pemahaman (comprehension)
3. Penerapan (application)
4. Analisis (analysis)
5. Sintesis (syntesis)
6. Penilaian/penghargaan/evaluasi (evaluation)
Tujuan aspek
kognitif berorientasi pada kemampuan berfikir yang mencakup kemampuan
intelektual yang lebih sederhana, yaitu mengingat, sampai pada kemampuan
memecahkan masalah yang menuntut siswa untuk menghubungakan dan menggabungkan
beberapa ide, gagasan, metode atau prosedur yang dipelajari untuk memecahkan
masalah tersebut. Dengan demikian aspek kognitif adalah subtaksonomi yang
mengungkapkan tentang kegiatan mental yang sering berawal dari tingkat
pengetahuan sampai ke tingkat yang paling tinggi yaitu evaluasi.
2. Tahap-tahap
Perkembangan Kognitif
a. Tahap
Sensomotorik
Tahap ini merupakan tahap pertama dalam
perkembangan kognisi anak. Pada tahap ini bayi belum mampu membedakan dirinya
dari isi dunia lainnya, tingkahnya terbatas pada penggunaan pola respon. Urutan
perkembangannya adalah penggunaan panca indera, lalu motorik, koordinasi
keduanya, baru sensomotorik.
b.
Tahap
Praoperasional
Cara berpikir bayi pada tahap ini masih
dalam tahap yang sederhana, belum operasional.
c.
Tahap
Operasional Konkret
Tahap ini dilalui anak pada usia tujuh
sampai sebelas tahun. Pada tahap ini anak dapat menyebutkan sesuatu secara
kongkret suatu kesamaan benda, namun belum bisa menjelaskannya.
d.
Tahap
Operasional Formal
Pada tahap ini anak sudah berusia
sebelas tahun ke atas. Anak sudah berpikir logis seperti halnya orang dewasa.
Mereka mulai merumuskan dan mengetas hipotesis yang rumit, berpikir abstrak,
men-generalisasikan dengan menggunakan konsep abstrak, dari satu situasi ke
situasi lain.
3.
Alat Peraga Edukatif Pada Sentra
Kognitif meluputi:
SENTRA
PERSIAPAN BERHITUNG
|
c. Pasak
Geometri
|
|
1.
|
ABACUS
|
d. Puzzle
Geometri Cat
|
a.
|
Sempoa Angka Domino
|
e. Puzzle
Geometri Bentuk
|
b.
|
Tangga Kubus
|
f. Pasak Silinder
|
c.
|
Ball Shorter
|
g. Balok Bangun & Angka
|
d.
|
Ring Shorter
|
4. PUZZLE ANGKA
|
e.
|
Silinder Shorter
|
a. Puzzle Angka Kaki
|
2.
|
KESEIMBANGAN
|
b. Magic Numeric
|
a.
|
Timbangan Bulat
|
c. Puzzle Angka Tangan
|
b.
|
Timbangan Persegi
|
d. Puzzle Seri Angka 0-9
|
c.
|
Timbangan Kubus
|
e. Puzzle Seri Angka PSP
|
d.
|
Timbangan Geometri
|
5. JAM
|
3.
|
SENTRA
BERHITUNG
|
a. Model Jam Bundar
|
a.
|
Kubus Angka & Huruf
|
b. Jam Bundar
|
b.
|
Kotak Berjenjang Angka
|
c. Jam & Gambar
|
Tabel 1. (
Alat peraga edukatif sentra kognitif)
Gambar 1 (APE
Sentra Kognitif)
B.
Perkembangan Bahasa
Bayi, sudah
mampu berkomunikasi tanpa harus berbahasa, baik dengan tangisan, senyum, dan
gerak gerik tubuhnya. Tahap perkembangan ini dibagi kepada dua, tahap
perkembangan artikulasi dan tahap perkembangan kata/kalimat.
1.
Tahap Perkembangan
Atikulasi
Tahap ini
dilalui bayi pada usia 14 bulan. Pada tahap ini bayi sudah mampu menghasilkan
bunyi vokal, “aaa”, “eee” atau “uuu”. Adapun tahapan perkembangan artikulasi
itu sebagai berikut:
a.
Bunyi
Resonansi
Bunyi paling
umum yang dibuat bayi adalah bunyi tangis, meskipun ada banyak arti yang
diungkapkan bayi melalui tangisan tersebut. Selain bunyi tangis, ada pula bunyi
kuasi resonansi. Bunyi ini belum ada konsonan dan vokalnya.
b.
Bunyi
Berdekut
Bunyi ini adalah
bunyi kuasi konsonan yang berlangsung dalam satu embusan nafas. Bunyi yang
dihasilkan adalah konsonan belakang dan tengah, dengan vokal belakang, tapi
tanpa resonansi penuh. Bunyi ini seperti meledak-ledak yang disertai tawa.
c.
Bunyi
Berleter
Bayi
mengeluarkan suara terus menerus tanpa tujuan. Bayi mencoba berbagai macam
bunyi. Bayi sudah mampu membuat bunyi vokal seperti a.
d.
Bunyi
Berleter Ulang
Bayi
memonyongkan bibirnya, menarik ke dalam tanpa menggerakkan rahang. Konsonan
yang mula-mula diucap adalah p, b, bunyi letup t dan d, bunyi nasal dan bunyi
j.
e.
Bunyi
Vokabel
Bunyi ini
menyerupai kata, tapi tidak mempunyai arti, dan bukan tiruan dewasa. Bentuk
vokabel ini sudah konsisten secara fonetis. Seiring dengan perkembangan ini,
bayi yang normal sudah bisa menirukan intonasi kalimat dan kemampuan
mengucapkan kata.
2. Tahap
Perkembangan Kata dan Kalimat
a.
Kata
Pertama
Kemampuan
mengucapkan kata pertama ditentukan oleh penguasaan artikulasi dan kemampuan
mengaitkan kata dengan benda yang menjadi rujukannya.
b.
Kalimat
Satu Kata
Kata pertama
yang dihasilkan anak, dilanjutkan dengan kata kedua, ketiga dan seterusnya.
Yang pertama kali muncul melalui kalimat satu kata si anak adalah ujaran yang
seringkali didengarnya dari orang dewasa. Hingga usia 18 bulan, anak telah
memiliki 50 buah kosakata, meskipun kalimat satu kata (holofrasis).
c.
Kalimat
Dua Kata
Ucapan kalimat
dua kata ini diungkapkan anak sudah lebih produktif dibanding kalimat satu
kata. Misalnya, hubungan agen + asi pada kalimat mommy come.
d.
Kalimat
Lebih Lanjut
Menjelang usia
dua tahun, anak rata-rata sudah bisa menyusun kalimat empat kata, yakni dengan
cara perluasan, meskipun kalimat dua kata masih mendominasi korpus bicaranya.
3. Tahap
Menjelang Sekolah
Yang dimaksud
ini adalah menjelang anak masuk sekolah dasar; yakni pada usia lima sampai enam
tahun. Anak pada usia ini sudah menguasai hampir semua kaidah dasar gramatikal
bahasanya. Dia bisa membuat berita, tanya, dan keontruksi lainnya. Mereka sudah
dapat menggunakan bahasa dalam konteks sosial yang bermacam-macam.
4. Alat
Peraga Edukatif Sentra Bahasa
SENTRA
PERSIAPAN MEMBACA & MENULIS
|
PUZZLE ALPHABET
|
1. Puzzle Alphabet Huruf Besar
|
2.
Puzzle
Alphabet Cat
|
3.
Puzzle
Alphabet Cat Huruf Kecil
|
4.
Puzzle
Alphabet Kura-Kura
|
5.
Puzzle
Seri Alphabet
|
6.
Puzzle
Alphabet Ikan
|
7.
Balok
Huruf
|
Balok
Huruf 3 Dimensi
|
1. Kutu
|
2. Sapi
|
3. Baju Besar
|
4.
Sepatu
|
5.
Bebek
|
6.
Pisang
|
Tabel 2. (Alat peraga edukatif
sentra bahasa)
Gambar 2. (APE Sentra Bahasa)
C.
Perkembangan Fisik-motorik
1. Pengertian
Perekembangan Fisik-motorik
Perkembangan
fisik/motorik diartikan sebagai perkembangan dari unsur kematangan dan
pengendalian gerak tubuh. Ketrampilan motorik kasar diawali dengan bermain yang
merupakan gerakan kasar. Pada usia 3 tahun sesuai dengan tahap perkembangan,
anak pada umumnya sudah menguasai sebagian besar ketrampilan motorik kasar.
Sementara ketrampilan motorik halus baru mulai berkembang, yang diawali dengan
kegiatan yang amat sederhana seperti memegang sendok, memegang pensil,
mengaduk. Ketrampilan motorik halus lebih lama pencapaiannya dari pada
ketrampilan motorik kasar karena ketrampilan motorik halus membutuhkan
kemampuan yang lebih sulit misalnya konsentrasi, control, kehati-hatian, dan
kondisi otot tubuh yang satu dengan yang lain.
Keterampilan motorik anak pada usia 4-6 tahun mempunyai perbedaan dengan orang
tua dalam hal (1) cara memegang, (2) cara berjalan dan (3) cara
menyepak/menendang. Pada anak cara mamegang dilakukan dengan asal saja,
sedangkan orang dewasa memegang benda dengan cara yang khas, agar dapat
dipergunakan secara optimal. Ketika orang dewasa
berjalan, hanya memerlukan otot-ototnya yang diperlukan saja, sedangkan
anak-anak berjalan seolah-olah semua tubuhnya ikut bergerak. Dalam
menyepak/menendang, anak-anak menyepak bola diikuti dengan kedua belah
tangannya yang ikut maju kedepan secara berlebihan. Masa lima tahun pertama
adalah masa emas bagi motorik anak.
Perkembangan keterampilan motorik merupakan factor yang sangat penting bagi
perkembangan kepribadian anak secara keseluruhan. Elizabeth Hurlock (1956)
mencatat beberapa alasan tentang fungsi perkembangan motorik bagi konstelasi
perkembangan individu, yaitu sebagai berikut :
a. Melalui keterampilan motorik, anak dapat menghibur dirinya dan
memperoleh perasaan senang, seperti anak merasa senang dengan memiliki
ketrampilan memainkan boneka, melempar dan menangkap bola atau memainkan
alat-alat lainnya.
b. Melalui keterampilan motorik anak dapat beranjak dari kondisi
helplessness (tidak berdaya) pada bulan-bulan pertama kehidupannya, ke
kondisi yang independence (bebas tidak bergantung). Anak dapat bergerak
dari satu tempat ketempat yang lainnya, dan dapat berbuat sendiri untuk
dirinya. Kondisi ini akan menunjang perkembangan self confidence (rasa percaya
diri).
c. Melalui keterampilan motorik, anak dapat menyesuaikan dirinya
dengan lingkungan sekolah (school adjustment). Pada usia TK atau pra sekolah,
anak sudah dapat dilatih menulis, menggambar, mewarnai dll.
d. Melalui perkembangan motorik yang normal memungkinkan anak dapat
bermain atau bergaul dengan teman sebayanya, sedangkan yang tidak normal
akan menghambat anak untuk dapat bergaul dengan teman sebayanya bahkan dia akan
dikucilkan atau menjadi anak yang fringer (terpinggirkan).
e.
Perkembangan
keterampilan motorik sangat penting bagi perkembangan self concept atau kurang
konsep diri/kepribadian anak.
2. Alat Peraga Edukatif pada Sentra
Fisik-motorik
SENTRA OUTDOOR
|
|
1.
|
Prosotan
|
2.
|
Jembatan Goyang
|
3.
|
Jungkitan
|
4.
|
Papan Titian
|
5.
|
Bola Dunia
|
6.
|
Ayunan
|
7.
|
Gawang Futsal
|
Tabel 3. (Alat peraga edukatif sentra fisik-motorik)
Gambar 3. ( APE Sentra Fisik-Motorik)
D.
Perkembangan Moral Dan Agama.
A. Perkembangan Moral Anak Usia Dini
1. Perkembangan Moral Anak Usia Dini
Manusia
merupakan makhluk etis atau makhluk yang mampu memahami kaidah-kaidah moral dan
mampu menjadikannya sebagai pedoman dalam bertutur kata, bersikap, dan
berperilaku. Kemampuan seperti di atas bukan merupakan kemampuan bawaan
melainkan harus diperoleh melalui proses belajar. Anak dapat mengalami perkembangan
moral jika dirinya mendapatkan pengalamanan bekenaan dengan moralitas.
Perkembangan moral anak ditandai dengan kemampuan anak untuk memahami aturan,
norma, dan etika yang berlaku (Slamet Suyanto, 2005: 67). Mengingat
moralitas merupakan factor penting dalam kehidupan manusia maka manusia sejak
dini harus mendapatkan pengaruh yang positif untuk menstimulasi perkembangan
moralnya.
2. Konsep-konsep Pengembangan Moral Anak Usia Dini
Menurut
Megawangi, dalam Siti Aisyah dkk. (2007: 8.36), anak-anak akan tumbuh menjadi
pribadi yang berkarakter apabila mereka berada di lingkungan yang berkarakter
pula. Usaha mengembangkan anak-anak agar menjadi pribadi-pribadi yang bermoral
atau berkarakter baik merupakan tangguang jawab keluarga, sekolah, dan seluruh
komponen masyarakat. Usaha tersebut harus dilakukan secara terencana, terfokus,
dan komprehensif. Pengembangan moral anak usia dini melalui pengembangan
pembiasaan berperilaku dalam keluarga dan sekolah.
a. Pengembangan berperilaku yang baik
dimulai dari dalam keluarga
Keluarga
merupakan lingkungan pertama dan utama bagi perkembangan anak. Keluarga
merupakan lingkungan pendidikan pertama dan paling efektif untuk melatih
berbagai kebiasaan yang baik pada anak.
Menurut Thomas Lickona, sebagimana
pendapatnya dikutip oleh Siti Aisyah dkk. (2007: 8.38 – 8.41), ada 10 hal
penting yang harus diperhatikan dan dijadikan prinsip dalam mengembangkan
karakter anak dalam keluarga, yaitu sebagai berikut.
1) Moralitas
penghormatan
Hormat merupakan kuci utama untuk dapar
hidup harmonis dengan masyarkat. Moralitas penghormatan mencakup:
a)
Penghormatan kepada diri sendiri untuk mencegah agar diri sendiri tidak
terlibat dalam perilaku yang merugikan diri sendiri.
b)
Penghormatan kepada sesame manusia meskipun berbeda suku, agama, kemampuan
ekonomi, dst.
c)
Penghormatan kepada lingkungan fisik yang merupakan ciptaan Tuhan.
2) Perkembangan
moralitas kehormatan berjalan secara bertahap
Anak-anak tidak
bisa langsung berkembang menjadi manusia yang bermoral, tetapi memerlukan waktu
dan proses yang terus menerus, dan memerlukan kesabaran orang tua untuk
melakukan pendidikan tersebut.
3) Mengajarkan
prinsip menghormati
Anak-anak akan
belajar menghormati orang lain jika dirinya merasa bahwa pihak lain
menghormatinya. Oleh karena itu orang tua hendaknya menghormati anaknya.
Penghormatan orang tua kepada anak dapat dilakukan misalnya dengan menghargai
pendapat anak, menjelaskan kenapa suatu aturan dibuat untuk anak, dst.
4) Mengajarkan dengan
contoh
Pembentukan
perilaku pada anak mudah dilakukan melalui contoh. Oleh karena itu contoh nyata
dari orang tua bagaimana seharusnya anak berperilaku harus diberikan. Selain
itu, orang tua juga bisa membacakan buku-buku yang di dalamnya terdapat
pesan-pesan moral. Orang tua hendaknya mengontrol acara-acara televisi yang
sering ditonton anaknya, jangan sampai acara yang disukai anak adalah acara
yang berpengaruh buruk pada perkembangan moralnya.
5) Mengajarkan
dengan kata-kata
Selain mengajar
dengan contoh, orang tua hendaknya menjelaskan dengan kata-kata apa yang ia
contohkan. Misalnya anak dijelaskan mengapa berdusta dikatakan sebagai tindakan
yang buruk, karena orang lain tidak akan percaya kepadanya.
6) Mendorong
anak unruk merefleksikan tindakannya
Ketika anak
telah melakukan tindakan yang salah, misalnya merebut mainan adiknya sehingga
adiknya menangis, anak disuruh untuk berpikir jika ada anak lain yang merebut
mainannya, apa reaksinya.
7) Mengajarkan
anak untuk mengemban tanggung jawab
Anak-anak harus
dididik untuk menjadi pribadi-pribadi yang altruistik, yaitu peduli pada
sesamana. Untuk itu sejak dini anak harus dilatih melalui pemberian tanggung
jawab.
8) Mengajarkan
keseimbangan antara kebebasan dan kontrol
Keseimbangan
antara kebebasan dan kontrol diperlukan pengembangan moral anak. Anak
diberi pilihan untuk menentukn apa yang akan dilakukannya namun aturan-aturan
yang berlaku harus ditaati.
9) Cintailah
anak, karena cinta merupakan dasar dari pembentukan moral
Perhatian dan
cinta orang tua kepada anak merupakan kontribusi penting dalam pembentukan
karakter yang baik pada anak. Jika anak-anak diperhatikan dan disayangi maka
mereka juga belajar memperhatikan dan menyayangi orang lain.
10) Menciptakan
keluarga bahagia
Pendidikan moral
kepada anak tidak terlepas dari konteks keluarga. Usaha menjadikan anak menjadi
pribadi yang bermoral akan lebih mudah jika jika anak mendapatkan pendidikan
dari lingkungan keluarga yang bahagia. Untuk itu usaha mewujudkan keluarga yang
bahagia merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh orang tua sehubungan dengan
erkembangan moral anaknya.
b. Pengembangan kebiasaan
berperilaku yang baik di sekolah
Perkembangan
moral anak tidak terlepas dari lingkungan di luar rumah. Menurut Goleman (1997)
dan Megawangi 2004) dalam Siti Aisyah dkk. (2007: 8.41 – 8.42), bahwa
lingkungan sekolah berperan dalam pengembangan moral anak usia dini.
Pendidikan moral pada lembaga pendidikan formal dimulai ketika anak-anak
mengikuti pendidikan pad ataman kanak-kanak. Menurut Schweinhart (Siti Aisyah
dkk., 2007: 8.42), pengalaman yang diperoleh anak-anak dari taman kanak-kanak
memberikan pengaruh positif pada pada perkembangan anak selanjutnya.
Di lembaga
pendidikan formal anak usia dini, peran pendidik dalam pengembangan moral anak
sangat penting. Oleh karena itu, menurut Megawangi (Siti Aisyah, 2007: 8.45),
pendidik harus memperhatikan beberapa hal, yaitu sebagai berikut.
1)
Memperlakukan anak didik dengan kasih sayang, adil, dan hormat.
2)
Memberikan perhatian khusus secara individual agar pendidik dapat mengenal
secara baik anak didiknya.
3)
Menjadikan dirinya sebagai contoh atau tokoh panutan.
4)
Membetulkan perilaku yang salah pada anak didik.
c. Strategi dan Teknik Pengembangan Moral Anak Usia Dini
Pengembangan
moral anak usia dini dilakukan agar terbentuk perilaku moral. Pembentukan
perilaku moral pada anak, khususnya pada anak usia dini memerlukan perhatian
serta pemahaman terhadap dasar-dasar serta berbagai kondisi yang mempengaruhi
dan menenytukan perilaku moral. Ada 3 strategi dalam pembentukan perilaku moral
pada anak usia dini, yaitu: 1) Strategi latihan dan pembiasaan, 2) Strategi
aktivitas dan bermain, dan 3) Strategi pembelajaran (Wantah, 2005: 109).
1. Strategi Latihan
dan Pembiasaan
Latihan dan
pembiasaan merupakan strategi yang efektif untuk membentuk perilaku tertentu
pada anak-anak, termasuk perilaku moral. Dengan latihan dan pembiasaan
terbentuklah perilaku yang bersifat relatif menetap. Misalnya, jika anak
dibiasakan untuk menghormati anak yang lebih tua atau orang dewasa lainnya,
maka anak memiliki kebiasaan yang baik, yaitu selalu menghormati kakaknya atau
orang tuanya.
2. Strategi Aktivitas
Bermain
Bermain
merupakan aktivitas yang dilakukan oleh setiap anak dapat digunakan dan
dikelola untuk pengembangan perilaku moral pada anak. Menurut hasil penelitian
Piaget (dalam Wantah, 2005: 116), menunjukkan bahwa perkembangan perilaku moral
anak usia dini terjadi melalui kegiatan bermain. Pada mulanya anak bermain
sendiri tanpa dengan menggunakan mainan. Setelah itu anak bermain menggunakan
mainan namun dilakukan sendiri. Kemudian anak bermain bersama temannya bersama
temannya namun belum mengikuti aturan-aturan yang berlaku. Selanjutnya anak bermain
bersama dengan teman-temannya berdasarkan aturan yang berlaku.
3. Strategi
Pembelajaran
Usaha
pengembangan moral anak usia dini dapat dilakukan dengan strategi pembelajaran
moral. Pendidikan moral dapat disamakan dengan pembelajaran nilai-nilai dan pengembangan
watak yang diharapkan dapat dimanifestasikan dalam diri dan perilaku seseorang
seperti kejujuran, keberanian, persahabatan, dan penghargaan (Wantah, 2005:
123).
Pembelajaran
moral dalam konteks ini tidak semata-mata sebagai suatu situasi seperti yang
terjadi dalam kelas-kelas belajar formal di sekolah, apalagi pembelajaran ini
ditujukan pada anak-anak usia dini dengan cirri utamanya senang bermain. Dari
segi tahapan perkembangan moral, strategi pembelajaran moral berbeda
orientasinya antara tahapan yang satu dengan lainnya. Pada anak usia 0 – 2
tahun pembelajaran lebih banyak berorientasi pada latihan aktivitas motorik dan
pemenuhan kebutuhan anak secara proporsional. Pada anak usia antara 2 – 4 tahun
pembelajaran moral lebih diarahkan pada pembentukan rasa kemandirian anak dalam
memasuki dan menghadapi lingkungan. Untuk anak usia 4 – 6 tahun strategi
pembelajaran moral diarahkan pada pembentukan inisiatif anak untuk memecahkan
masalah yang berhubungan dengan perilaku baik dan buruk.
Secara umum ada
berbagai teknik yang dapat diterapkan untuk mengembangkan moral anak usia dini.
Menurut Wantah (2005: 129) teknik-teknik dimaksud adalah: 1. membiarkan, 2.
tidak menghiraukan, 3. memberikan contoh (modelling), 4. mengalihkan arah
(redirecting), 5. memuji, 6. mengajak, dan 7. menantang (challanging).
B. Pengembangan
Nilai-nilai Agama Anak Usia Dini
Menurut Zakiah
Darajat (dalam Lilis Suryani dkk., 2008: 1.9), agama suatu keimanan yang
diyakini oleh pikiran, diresapkan oleh perasaan, dan dilaksanakan dalam
tindakan, perkataan, dan sikap. Perkembangan nilai-nilai agama artinya
perkembangan dalam kemampuan memahami, mempercayai, dan menjunjung tinggi
kebenaran-kebenaran yang berasal dari Sang Pencipta, dan berusaha menjadikan
apa yang dipercayai sebagai pedoman dalam bertutur kata, bersikap dan
bertingkah laku dalam berbgaia situasi.
Pemahaman anak akan nilai-nilai agama menurut Ernest Harms (dalam Lilis Suryani dkk., 2008; 1.10 – 1.11) berlangsung melalui 3 tahap, yaitu sebagai berikut.
Pemahaman anak akan nilai-nilai agama menurut Ernest Harms (dalam Lilis Suryani dkk., 2008; 1.10 – 1.11) berlangsung melalui 3 tahap, yaitu sebagai berikut.
1. Tingkat Dongeng (The Fairy Tale Stage)
Tingkat ini
dialami oleh anak yang berusia 3 – 6 tahun. Ciri-ciri perilaku anak pada masa
ini masih banyak dipengaruhi oleh daya fantasinya sehingga dalam menyerap
materi ajar agama anak juga masih banyak menggunakan daya fantasinya.
2. Tingkat Kenyataan (The Realistic Stage)
Tingkat ini
dialami anak usia 7 – 15 tahun. Pada masa ini anak sudah dapat menyerap materi
ajar agama berdasarkan kenyataan-kenyataan yang dijumpai dalam kehidupan
sehari-hari. Anak sudah tertarik pada apa yang dilakukan oleh lembaga-lembaga
keagamaan. Segala bentuk tindak amal keagamaan mereka ikuti dan tertarik untuk
mempelajari lebih jauh.
3. Tingkat Individu (The Individual Stage)
Tingkat
individu dialami oleh anak yang berusia 15 ke atas. Konsep keagaamaan yang
individualistic ini terbagi atas tiga bagian, yaitu: a. konsep keagamaan yang
konvensional dan konservatif yang dipengaruhi oleh sebagian kecil fantasi, b.
konsep keagamaan yang murni dinyatakan dengan pandangan yang bersifat personal,
dan c. konsep keagamaan yang humanistic. Agama telah menjadi etos humanis dalam
diri mereka dalam menghayati ajaran agama.
Pengembangan nilai-nilai agama pada anak harus didasarkan pada karakteristik perkembangan anak. Jika memperhatikan pendapat Ernest Harms sebagaimana dikemukakan di atas, maka usaha pengembangan nilai-nilai agama menjadi efektif jika dilakukan melalui cerita-cerita yang di dalamnya terkandung ajaran-ajaran agama. Dengan demikian daya fantasi anak berperan dalam menyerap nilai-nilai agama yang terdapat dalam cerita yang diterimanya.
Pengembangan nilai-nilai agama pada anak harus didasarkan pada karakteristik perkembangan anak. Jika memperhatikan pendapat Ernest Harms sebagaimana dikemukakan di atas, maka usaha pengembangan nilai-nilai agama menjadi efektif jika dilakukan melalui cerita-cerita yang di dalamnya terkandung ajaran-ajaran agama. Dengan demikian daya fantasi anak berperan dalam menyerap nilai-nilai agama yang terdapat dalam cerita yang diterimanya.
C.
Alat Peraga Edukatif Senra Moral Dan
Agama
SENTRA AGAMA
|
|||
1.
|
PUZZLE
|
2.
|
ALAT PERAGA
|
a.
|
Puzzle Hijjayah
|
a.
|
Peraga Shalat
|
b.
|
Puzzle Rumah Ibadah
|
b.
|
Peraga Wudhu
|
c.
|
Puzzle Peraga Wudhu
|
c.
|
Gambar Pajang Rumah Ibadah
|
d.
|
Balok Iqro
|
||
e.
|
Peraga Baca
|
Tabel 4.
(Alat peraga edukatif sentra moral dan agama)
Gambar 4. (APE Sentra moral dan Agama)
E.
Perkembangan Seni Dan Kreativitas
Anak Usia Dini
a.
Pengertian Perkembangan Seni Dan
Kreativitas
Perkembangan seni dan kreativitas
merupakan tahapan perubahan kecerdasan atau kemampuan kinestetik-jasmani, visual-spasial,
sistematis, konseptual, dan logis-matematis yang dimiliki oleh setiap manusia.
Dari beberapa kecerdasan itu tidak dapat diketahui apabila tidak adanya
rangsangan atau stimulus dari luar diri individu. Apabila seseorang sudah
mengetahui bakat seninya maka perlu adanya pengasahan bakat tersebut sehingga
akan menjadi terampil dan menjiwai atas bakat yang dimiliki, diantara nya
melalui latihan, mengikuti kompetisi maupun melalui pendidikan tertentu.
b.
Macam-macam Kesenian
1.
Seni teater atau peran untuk
mengasah kemampuan verbal-linguistik dan berpikir sistematis
2.
Seni rupa untuk mengasah kemampuan
berpikir logis anak
3.
Seni musik untuk mengasah
4.
Seni tari (seni gerak tubuh) untuk
mengasah kemmapuan konseptual, matematis dan kinestetik
5.
Seni lukis, gambar, peta, diagram,
membuat kerajinan tangan, merancang untuk menggasah kemampuan visual spasial
c.
Alat Peraga Edukatif Sentra Seni Dan
Kreativitas
BAHAN AJAR PENUNJANG KONSENTRASI
|
SORTING BOX
|
1. Kotak Pengenal Bentuk (1 Papan )
|
8.
Kotak
Pengenal Bentuk (5 Papan )
|
9.
Rumah
Pengenal Bentuk
|
MENARA SUSUN
|
1. Menara Susun Segi 3
|
2. Menara Susun Segi 4
|
3. Menara Susun Segi 5
|
5. Menara Susun Segi 6
|
6. Menara Susun Silinder
|
SLIDING MARBLE
|
Sliding Marble
|
Tabel 5.
(Alat peraga edukatif sentra seni dan kreativitas)
Gambar 5. (APE
Sentra seni dan kreativas)
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Perkembangan
kognitif anak dipengaruhi oleh bebrapa faktor salah satunya faktor lingkungan.
Seiring dengan perkembangan fisik anak, maka kemampuan kognitifnya juga akan
berkembang. Mulai dari seorang anak mampu bealajar sendiri dengan pemahamannya
sampai terjadinya proses interaksi dengan lingkungannya yang menambah porsi
kemampuan kognitif seorang anak, sehingga dengan kata lain anak usi dini lebih
banyak membangun kemampuan kognitifnya melalui interaksi dengan lingkungan
dengan cara imitasi (meniru) dari apa yang ia lihat dan ia dengar.
Perkembangan
bahasa merupakan proses yang sangat kompleks, dimana bahasa anak tidak hanya
lepas dari adanya komunikasi aktif antara sang anak dengan orang lain mulai
dari interaksi dengan ayah ibu, teman sebaya sampai komunikasi dengan orang
yang lebih dewasa. Dari komunikasi itulah anak belajar berbahasa dan memperkaya
kosa kata yang dimilikinya. Perkembangan bahasa anak berjalan seiring dengan
perkembangan kognitifnya, melalui proses kognitif anak mampu menyampaikan
gagasannya menggunakan bahasa dan kalimat yang benar dan tepat sasaran
B.
Kritik dan Saran
Penulis sadar dalam makalah ini
terdapat kesalahan, baik dari segi materi yang
hingga penulisannya. Sehingga diharapkan agar pembaca berkenan memberi
masukan dalam bentuk apapun, agar makalag ini bisa menajadi sumber bacaan yang
bermutu dan bermanfaat.
DAFTAR
PUSTAKA
Akses: 4 Maret 2011, Jumad/20.15 http://anwarholil.blogspot.com/2008/04/teori-perkembangan-kognitif-piaget.html
[4 Maret 2011]
Bruner,
J. (1990). Acts of Meaning. Cambridge: Havard University Press.
Cameron.
(2001). Teaching Languages to Young Learners. UK: Cambridge University
Press.
Chomsky,
N. (1965). Aspects of the Theory of Syntax. Cambridge: MIT Press.
Ee
Ah Meng. (2002). Psikologi Pendidikan 111, Penerbitan Fajar Bakti
Lilis
Suryani dkk. (2008) Metode Pengembangan Perilaku dan Kemampuan Dasar Anak Usia
Dini. Jakarta: Universitas Terbuka.
Masitoh
dkk. (2005) Strategi Pembelajaran TK. Jakarta: 2005.
Siti
Aisyah dkk. (2007) Perkembangan dan Konsep Dasar Pengembangan Anak Usia Dini.
Jakarta: Universitas Terbuka.
Slamet
Suyanto. (2005) Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Direktorat
Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan Dan
Ketenagaan Perguruan Tinggi.
Komentar
Posting Komentar