MAKALAH ANALISIS PERKEMBANGAN KOGNITIF DAN BAHASA ANAK USIA DINI Menurut teori PIaget, Vygotsky dan Brunner



Tugas individu                    MAKALAH
ANALISIS PERKEMBANGAN KOGNITIF DAN BAHASA
 ANAK USIA DINI
Diajukan untuk memenuhi tugas individu dari mata kuliah Bermain dan Permainan Anak Usia Dini
Dosen Pengampu :
Gustiana, M. Pd

Disusun Oleh :
Nama          : Nugroho Galih Wicaksono
NPM                    : 1411070184
Jurusan       : Pendidikan Guru Raudhatul Athfal
Kelas          : D
Semester     : II (dua)

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
PENDIDIKAN GURU RAUDHATUL ATHFAL
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
TAHUN 2015

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr, Wb.

            Segala puji bagi Allah SAW yang telah memberikan rahmat dan kenikmatan iman dan Islam terhadap kita semua. Atas petunjuk-petunjukNya sebagaimana yang terkandung didalam Al Qur’an dan As Sunnah,  petunjuk menuju ke jalan yang lurus dan jalan yang diridloi-Nya. Demikian juga penulis, penulis bersyukur kepada-Nya yang telah memudahkan penulisan makalah yang sederhana ini, meskipun dalam penyusunannya penulis mengalami berbagai kesuliatan karena masih terbatasnya pengetahuan penulis namun berkat kerja keras dan kerjasama kelompok yang baik akhirnya  dapat terselesaikan dengan baik dengan judul “ANALISIS PERKEMBANGAN KOGNITIF DAN BAHASA ANAK USIA DINI”.
            Tidak lupa kami haturkan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah ini, yang telah bersedia mengarahkan dan membimbing  kami, dan kepada semua pihak yang membantu terselesaikannya makalah ini.
            Penulisan makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Bermain Dan Permainan Anak Usia Dini, yang dalam kesempatan ini berbentuk makalah yang dikerjakan secara individu .
            Tentunya dalam dalam  penulisan makalah ini masih terdapat banyak kekeliruan baik secara penulisan maupun materi-materi yang dibahas didalamnya, oleh karena itu sangat diharapkan keritik dan saran dari pembaca yang bersifat konstruktif demi kesempurnaan penulisan makalah dimasa-masa berikutnya. Selebihnya semoga dengan adanya makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca secara umum.

Wassalamu’alaikum Wr, Wb.
                                                                                                                                                                                                                        Bandarlampung,28 Mei 2015
                                                               
                                            Penulis                                  

DAFTAR ISI



Kata pengantarii
Daftar Isiiii
Bab I Pendahuluan1

Bab II Pembahasan

A.   Teori perkembanagn kognitif Piaget, Vygotsky dan Bruner2
B.   Perbedaan antara teori Piaget, Vygotsky dan Bruner19
C.   Teori konstruksivisme23
D.   Perkembangan bahasa anak usia dini31
E.    Perkembangan kognitif, bahasa, fisik-motorik, moral-Agama dan Seni-kreativitas47

Bab III Penutup

A.   Kesimpulan65
B.   Kritik dan Saran65
Daftar Pustaka
                                                                        

BAB 1
PENDAHULUAN

Perkembangan secara umum dapat diartikan sebagai pola perubahan yang dimulai pada saat konsepsi (pembuahan) dan berlanjut di sepanjang rentang kehidupan. Kebanyakan perkembangan melibatkan pertumbuhan bahkan pada kematian sekalipun, pertumbuhan tetap ada.
Berbicara tentang perkembangan tentunya tidak terlepas dari tanggapan para pakar psikologi, kalau dalam perkembangan kognitif dikenal beberapa tokoh dengan teorinya yang menjadi cikal ilmu dalam pendidikan diantaranya Piaget, Vygotsky dan Bruner. Dari ketiga tokoh tersebut memiliki pandangan berbeda tentang perkembangan kognitif anak, namun secara garis besar mereka memandang bahwa perkembangan kognitif tidak serta merta didapatkan begitu saja melainkan ada proses yang perlu dilakukan anak untuk mencapai perkembangan kognitifnya atau sering disebut dengan pengalaman. Kognitif sangat erat hubungannya dengan kinerja otak dan rasionalitas pola pikir seseorang yang dipengaruhi oleh lingkungan dimana ia berada.
Perkembangan bahasa anak usia dini, bahasa merupakan alat utama dalam berkomunikasi, karena melalui bahasa seseorang akan memahami apa yang menjadi gagasan seseorang baik bahasa dalam bentuk verbal maupun nonverbal. Perkembangan bahasa anak dimulai semenjak ia lahir samapai sepanjang rentang hidupnya. Bahasa yang dimiliki seseorang memiliki tahapan mulai dari kata tanpa makna seperti yang terjadi pada awal perkembangannya berbunyi “aaaaaaa’’ kemudian tahap satu kata, dua kata hingga tahap kemampuan untuk menyusun sebuah kalimat yang belum terstruktur hingga kesempurnaan pelafalan dan kelengkapan sebuah kalimat berdasarkan kaidah bahasa yang berlalaku.





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Teori Perkembangan Kognitif Piaget, Vygotsky, Dan Bruner

1.      Pengertian Kognitif
Kognitif adalah salah satu ranah dalam taksonomi pendidikan. Secara umum kognitif diartikan sebagai potensi intelektual yang terdiri dari tahapan: pengetahuan (knowledge), pemahaman (comprehention), penerapan (aplication), analisa (analysis), sintesa (sinthesis), evaluasi (evaluation). Kognitif berarti persoalan yang menyangkut kemampuan untuk mengembangkan kemampuan rasional (akal). Teori kognitif lebih menekankan bagaimana proses atau upaya untuk mengoptimalkan kemampuan aspek rasional yang dimiliki oleh orang lain. Oleh sebab itu kognitif berbeda dengan teori behavioristik, yang lebih menekankan pada aspek kemampuan perilaku yang diwujudkan dengan cara kemampuan merespons terhadap stimulus yang datang kepada dirinya.
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar kata kognitif. Dari aspek tenaga pendidik misalnya. Seorang dosen diharuskan memiliki kompetensi bidang kognitif. Artinya dosen tersebut harus memiliki kemampuan intelektual, seperti penguasaan materi perkuliahan, pengetahuan mengenai cara mengajar, pengetahuan cara menilai mahasiswa dan sebagainya.
Jean Piaget (1896-1980), pakar psikologi dari Swiss, mengatakan bahwa anak dapat membangun secara aktif dunia kognitif mereka sendiri. Dalam pandangan Piaget, terdapat dua proses yang mendasari perkembangan dunia individu, yaitu pengorganisasian dan penyesuaian (adaptasi). Kecenderungan organisasi dapat dilukiskan sebagai kecenderungan bawaan setiap organisme untuk mengintegasi proses-proses sendiri menjadi sistem-sistem yang koheren. Adaptasi dapat dilukiskan sebagai kecenderungan bawaan setiap organisme untuk memyesuaikan diri dengan lingkungan dan keadaan sosial.
Sedangkan Lev Vygotsky (1896-1934) menekankan bagaimana proses-proses perkembangan mental seperti ingatan, perhatian, dan penalaran melibatkan pembelajaran menggunakan temuan-temuan masyarakat seperti bahasa, sistem matematika, dan alat-alat ingatan. Ia juga menekankan bagaimana anak-anak dibantu berkembang dengan bimbingan dari orang-orang yang sudah terampil di dalam bidang-bidang tersebut. Penekanan Vygotsky pada peran kebudayaan dan masyarakat di dalam perkembangan kognitif berbeda dengan gambaran Piaget tentang anak sebagai ilmuwan kecil yang kesepian. Menurut Vygotsky, anak-anak lahir dengan fungsi mental yang relatif dasar seperti kemampuan untuk memahami dunia luar dan memusatkan perhatian. Namun, anak-anak tak banyak memiliki fungsi mental yang lebih tinggi seperti ingatan, berfikir dan menyelesaikan masalah.

2.  Teori Piaget
a.      Dasar Teori
            Teori kognitif dari Jean Piaget ini masih tetap diperbincangkan dan diacu dalam bidang pendidikan. Teori ini mulai banyak dibicarakan lagi kira-kira permulaan tahun 1960-an. Pengertian kognisi sebenarnya meliputi aspek-aspek struktur intelek yang digunakan untuk mengetahui sesuatu. Piaget menyatakan bahwa perkembangan kognitif bukan hanya hasil kematangan organisme, bukan pula pengaruh lingkungan semata, melainkan hasil interaksi diantara keduanya.
            Menurut Piaget, perkembangan kognitif mempunyai empat aspek, yaitu:
1)      Kematangan, sebagai hasil perkembangan susunan syaraf;
2)      Pengalaman, yaitu hubungan timbal balik antara orgnisme dengan dunianya;
3)      Interaksi social, yaitu pengaruh-pengaruh yang diperoleh dalam hubungannya dengan lingkungan social, dan
4)      Ekullibrasi, yaitu adanya kemampuan atau system mengatur dalam diri organisme agar dia selalu mampu mempertahankan keseimbangan dan penyesuaian diri terhadap lingkungannya.
            Sistem yang mengatur dari dalam mempunyai dua faktor, yaitu skema dan adaptasi. Skema berhubungan dengan pola tingkah laku yang teratur yang diperhatikan oleh organisma yang merupakan akumulasi dari tingkah laku yang sederhana hingga yang kompleks. Sedangkan adaptasi adalah fungsi penyesuaian terhadap lingkungan yang terdiri atas proses asimilasi dan akomodasi.
Piaget mengemukakan penahapan dalam perkembangan intelektual anak yang dibagi ke dalam empat periode, yaitu :
1)      Periode sensori-motor ( 0 – 2,0 tahun )
2)      Periode pra-operasional (2,0 – 7,0 tahun )
3)      Periode operasional konkret ( 7,0 – 11,0 tahun )
4)      Periode opersional formal ( 11,0 – dewasa )
            Piaget memperoleh gelar Ph.D dalam biologi pada umur 21, ia kemudian tertarik pada psikologi dan mempelajari anak-anak abnormal di salah satu rumah sakit di Paris. Pada periode hidupnya, Piaget semakin tertarik pada logika anak dan metode berpikir yang berbeda-beda yang digunakan anak dalam menjawab peertanyaan pada usia yang berbeda pula. Selanjutnya Piaget bekerja melakukan penelitian selama kurang lebih 40 tahun. Studinya dipusatkan pada persepsi anak dalam pemahamannya mengenai alam/benda, jumlah, waktu, perpindahan, ruang, dan geometri. Ia menganalisis operasi-operasi mental yang digunakan oleh anak, cara berpikir simbolis dan logika mereka.
            Teori perkembangan Piaget mewakili konstruktivisme, yang memandang perkembangan kognitif sebagai suatu proses di mana anak secara aktif membangun sistem makna dan pemahaman realitas melalui pengalaman-pengalaman dan interaksi-interaksi mereka.
           
b.      Implikasi Terhadap Pendidikan
            Teori Piaget membahas kognitif atau intelektual.  Perkembangan intelektual erat hubungannya dengan belajar, sehingga perkembangan intelektual ini dapat dijadikan landasan untuk memahami belajar.
            Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah :
a.       Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
b.      Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
c.       Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
d.      Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
e.       Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temanya.

3. Teori Vygotsky
a.      Dasar Teori
            Perkembangan kognitif dan bahasa anak-anak tidak berkembang dalam suatu situasi sosial yang hampa. Lev Vygotsky (1896-1934), seorang psikolog berkebangsaan Rusia, mengenal poin penting tentang pikiran anak ini lebih dari setengah abad yang lalu. Teori Vygotsky mendapat perhatian yang makin besar ketika memasuki akhir abad ke-20.
            Sezaman dengan Piaget, Vygotsky menulis di Uni Soviet selama 1920-an dan 1930-an. Namun, karyanya baru dipublikasikan di dunia Barat pada tahun 1960-an. Sejak saat itulah, tulisan-tulisannya menjadi sangat berpengaruh. Vygotsky adalah pengagum Piaget. Walaupun setuju dengan Piaget bahwa perkembangan kognitif terjadi secara bertahap dan dicirikan dengan gaya berpikir yang berbeda-beda, tetapi Vygotsky tidak setuju dengan pandangan Piaget bahwa anak menjelajahi dunianya sendirian dan membentuk gambaran realitas batinnya sendiri.
          Vygotsky mengemukakan ada empat prinsip dasar kunci dalam pembelajaran, yaitu:
1)   Penekanan pada hakekat sosio-kultural pada pembelajaran (the sosiocultural of learning),
2)   Zona perkembangan terdekat (zone of proximal development),
3)   Pemagangan kognitif (cognitive appreticeship)
4)   Perancahan (scaffolding).




Keempat prinsip tersebut secara singkat dijelaskan berikut ini.
Prinsip pertama
          Menurut Vygotsky siswa belajar melalui interaksi dengan orang dewasa dan teman sebaya yang lebih mampu. Vygotsky menekankan pentingnya interaksi sosial dengan orang lain dalam proses pembelajaran.
Prinsip kedua
          Menurut Vygotsky dalam proses perkembangan kemampuan kognitif setiap anak memiliki apa yang disebut zona perkembangan proksimal (zone of proximal development) yang didefinisikan sebagai jarak atau selisih antara tingkat perkembangan anak yang aktual dengan tingkat perkembangan potensial yang lebih tinggi yang bisa dicapai si anak jika ia mendapat bimbingan atau bantuan dari seseorang yang lebih dewasa atau lebih berkompeten.
Prinsip ketiga
          Menurut Vygotsky adalah pemagangan kognitif, yaitu suatu proses dimana seorang siswa belajar setahap demi setahap akan memperoleh keahlian dalam interaksinya dengan seorang ahli. Seorang ahli bisa orang dewasa atau orang yang lebih tua atau teman sebaya yang telah menguasai permasalahannya.
Prinsip keempat
          Menurut Vygotsky adalah perancahan atau scaffolding, merupakan satu ide kunci yang ditemukan dari gagasan pembelajaran sosial Vygotsky. Perancahan berarti pemberian sejumlah besar bantuan kepada seorang anak selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian secara perlahan bantuan tersebut dikurangi dengan memberikan kesempatan kepada anak untuk mengambil alih tanggung jawab setelah ia mampu mengerjakan sendiri. Berdasarkan uraian di atas, maka implikasi utama dari teori Vygotsky terhadap pembelajaran adalah kemampuan untuk mewujudkan tatanan pembelajaran kooperatif dengan dibentuk kelompok-kelompok belajar yang mempunyai tingkat kemampuan berbeda dan penekanan perancahan dalam pembelajaran supaya siswa mempunyai tanggungjawab terhadap belajar. (dari berbagai sumber)
b.      Ide kunci Dalam Teori Vygotsky

Vygotsky mengakui bahwa faktor biologis ( misalnya , pematangan neurologis ) memainkan peran dalam perkembangan. Anak-anak membawa karakteristik tertentu dan menerima yang mereka hadapi untuk situasi tertentu dan tanggapan mereka berbeda-beda. Namun, fokus utama Vygotsky adalah pada peran lingkungan terutama lingkungan sosial dan budaya anak yang mendorong pertumbuhan kognitif . Berikut adalah konsep utama dan prinsip-prinsip dalam teori Vygotsky :
1. Beberapa proses kognitif yang terlihat unik dan berbeda dengan orang lain .
Vygotsky membedakan dua jenis proses atau fungsi kognisi . Banyak jenis menunjukkan fungsi mental yang rendah: belajar dan menanggapi lingkungan tertentu dengan cara dasar - mencari makanan apa yang dimakan , bagaimana cara terbaik untuk mendapatkan dari satu tempat ke tempat lain , dan seterusnya. Tapi manusia unik dalam penggunaan fungsi mental yang lebih tinggi : secara sengaja focus pada proses kognitif yang meningkatkan belajar , memori, dan penalaran logis . Dalam pandangan Vygotsky , fungsi mental yang rendah dimiliki dibangun secara biologis/diwariskan, tapi masyarakat dan budaya mempunyai pengaruh penting untuk pengembangan fungsi mental yang lebih tinggi .
2. Melalui kedua percakapan informal dan pendidikan formal , orang dewasa menyampaikan kepada anak-anak cara-cara budaya mereka menafsirkan dan menanggapi dunia . Untuk meningkatkan fungsi mental yang lebih tinggi , orang dewasa mengajarkan pada anak-anak makna/nilai yang menempel pada benda, peristiwa , dan pengalaman manusia pada umumnya . Dalam prosesnya , mereka berubah atau memediasi situasi pertemuan dengan anak . Makna yang disampaikan melalui berbagai mekanisme , termasuk bahasa ( kata-kata yang diucapkan ,menulis , dll ) , simbol matematika , seni, musik , dan sebagainya. Percakapan informal adalah salah satu metode umum yang relevan di mana orang dewasa menyampaikan budaya untuk menafsirkan keadaan tertentu . Tapi pendidikan formal tidak kalah pentingnya bagi Vygotsky, di mana guru secara sistematis menanamkan ide, konsep , dan terminologi yang digunakan dalam berbagai disiplin akademis .
3. Setiap kebudayaan melewati sarana fisik dan kognitif yang membuat hidup bersama setiap hari lebih efektif dan efisien. Tidak hanya orang dewasa mengajari anak-anak cara-cara khusus untuk menafsirkan pengalaman tetapi mereka juga menyampaikan alat khusus yang dapat membantu anak mengatasi berbagai tugas dan masalah mereka yang cenderung
untuk dihadapi. Beberapa alat , seperti gunting , mesin jahit , dan komputer , adalah benda-benda fisik . Lainnya, seperti sistem penulisan, sistem nomor,dan peta, melibatkan simbol-simbol sebagai serta identitas fisik . Dalam pandangan Vygotsky , memperoleh alat yang setidaknya sebagian simbolik maupun mental di alam - kognitif sebagai alat yang sangat meningkatkan kemampuan berpikir anak-anak . suatu Budaya yang berbeda menyampaikan alat kognitif yang berbeda. Jadi teori Vygotsky menuntun kita untuk berharap banyak keragaman kemampuan khusus kognitif anak-anak sebagai hasil dari mereka yang bervariasi latar belakang budaya. Misalnya, anak lebih mungkin untuk memperoleh keterampilan membaca peta - peta jika (mungkin dari jalan, sistem kereta bawah tanah , dan pusat perbelanjaan) adalah bagian penting dari komunitas mereka
dan kehidupan keluarga ( Liben & Myers , 2007) . Dan anak-anak belajar menghitung dan berhitung operasi ( misalnya, penambahan , perkalian ) hanya dalam budaya yang memiliki jumlah yang tepat sistem yang sistematis memberikan simbol yang berbeda untuk jumlah yang berbeda ( M. Cole , 2006; Pinker , 2007) .
4. Pemikiran dan bahasa menjadi semakin saling tergantung dalam beberapa tahun pertama kehidupan . satu alat yang kognitif sangat penting adalah bahasa . Bagi kita sebagai orang dewasa , pemikiran dan bahasa saling berhubungan. Selain itu, biasanya kita mengungkapkan pikiran kita ketika kita berkomunikasi dengan yang lain , Pada tahun-tahun awal kehidupan , berpikir terjadi secara independen dari bahasa , dan ketika bahasa muncul , itu pertama kali digunakan terutama sebagai sarana komunikasi bukan sebagai mekanisme pemikiran . Tapi kadang-kadang sekitar usia 2 tahun , pemikiran dan bahasa menjadi saling terkait : Anak mulai untuk mengungkapkan pikiran mereka ketika mereka berbicara, dan mereka mulai berpikir dari segi kata-kata . Ketika berpikir dan berbahasa , anak-anak sering berbicara untuk diri mereka sendiri dan dalam melakukan jadi mungkin tampak berbicara dalam ” egosentris ” cara jelas Piaget . Dalam pandangan Vygotsky , seperti self-talk ( juga dikenal sebagai pidato pribadi ) memainkan peran penting dalam perkembangan kognitif . Dengan berbicara kepada diri mereka sendiri , anak-anak belajar untuk membimbing dan mengarahkan perilaku mereka sendiri melalui tugas yang sulit dan manuver yang kompleks dalam banyak cara yang sama bahwa orang dewasa telah membimbing mereka sebelumnya. Self-talk akhirnya berkembang menjadi inner speech , di mana anak-anak berbicara sendiri lewat mental bukan lewat suara . Artinya , mereka terus mengarahkan diri secara verbal melalui tugas dan kegiatan , tetapi yang lain tidak bisa lagi melihat dan mendengar yang mereka melakukan.
5. Proses mental Kompleks muncul dari kegiatan sosial , seperti anak-anak mengembangkan , mereka secara bertahap internalisasi proses yang mereka gunakan dalam konteks sosial dan mulai menggunakannya secara mandiri . Vygotsky diusulkan bahwa fungsi mental yang lebih tinggi memiliki akar dalam interaksi sosial . Sebagai anak-anak,mereka mendiskusikan benda, peristiwa, tugas,dan masalah dengan orang dewasa dan lainnya. sering dalam konteks budaya sehari-hari kegiatan mereka secara bertahap dimasukkan ke dalam cara mereka sendiri memikirkan cara-cara di mana orang-orang di sekitar mereka berbicara tentang dan menafsirkan dunia, dan mereka mulai menggunakan kata-kata , konsep, simbol , dan strategi pada dasarnya, kognitif alat yang khas untuk budaya mereka. Proses melalui mana kegiatan sosial berkembang menjadi kegiatan mental internal disebut internalisasi.
6. Anak-anak berpikir sesuai budaya mereka dan cara mereka sendiri. Anak-anak tentu tidak menginternalisasi apa yang mereka lihat dan dengar dalam konteks sosial . Sebaliknya , mereka sering mengubah ide, strategi , dan alat-alat kognitif lainnya untuk memenuhi kebutuhan dan dengan tujuan merka sendiri. Teori Vygotsky memiliki unsur konstruktivis untuk itu . Istilah apropriasi mengacu pada proses ini internalisasi tetapi juga mengadaptasi ide-ide dan strategi budaya seseorang untuk digunakan sendiri.
7. Anak-anak dapat menyelesaikan tugas-tugas lebih sulit ketika mereka memiliki bantuan dari banyak orang yang lebih paham/pandai dan kompeten dari diri mereka . Vygotsky membedakan antara dua jenis tingkat kemampuan yang mencirikan keterampilan anak-anak pada setiap titik tertentu dalam perkembangan. tingkat perkembangan seorang anak adalah batas atas tugas-tugas yang ia dapat melakukan secara mandiri , tanpa bantuan dari orang lain . Tingkat seorang anak perkembangan potensial adalah batas atas tugas bahwa dia dapat melakukan dengan bantuan individu yang lebih kompeten . Untuk mendapatkan yang benar rasa perkembangan kognitif anak , Vygotsky menyarankan , kita harus menilai kemampuan mereka baik saat melakukan sendirian dan ketika tampil dengan bantuan .
8. Tugas Menantang mendorong pertumbuhan kognitif yang maksimal. Berbagai tugas bahwa anak-anak belum biasa melakukan secara mandiri tetapi dapat melakukan dengan bantuan dan bimbingan dari orang lain , di terminologi Vygotsky, zona perkembangan proksimal ( ZPD) ( lihat Gambar berikut ) . ZPD Seorang anak termasuk belajar dan kemampuan pemecahan masalah yang baru mulai muncul dan mengembangkan kemampuan secara matang .ZPD setiap anak akan berubah seiring waktu . sebagai beberapa tugas yang dikuasai, yang lebih kompleks akan muncul untuk menyajikan tantangan baru . Singkatnya , itu adalah tantangan dalam hidup , daripada keberhasilan mudah, yang mempromosikan perkembangan kognitif .
koleksi gambar pribadi penulis
Gambar 1.1
Tugas di zona anak perkembangan proksimal (ZPD) mempromosikan pembelajaran maksimal dan pertumbuhan kognitif.
9. Bermain memungkinkan anak-anak untuk ” meregangkan “ kognitif sendiri. Dalam bermain anak selalu berperilaku melampaui rata-rata usianya, di atas perilaku sehari-hari, dalam bermain itu seolah-olah dia adalah kepala lebih tinggi dari dirinya sendiri ” ( Vygotsky , 1978, hlm.102) Selain itu, karena anak-anak bermain, perilaku mereka harus mengikuti standar atau harapan tertentu. Pada tahun-tahun awal sekolah dasar , anak-anak sering bertindak sesuai dengan bagaimana seorang ayah,guru,atau pelayan akan berperilaku. Dalam pertandingan grup terorganisir dan olahraga yang datang kemudian, anak-anak harus mengikuti set spesifik aturan. Dengan berpegang pada batasan tertentu pada perilaku mereka, anak-anak belajar untuk merencanakan ke depan , untuk berpikir sebelum bertindak, dan untuk terlibat dalam menahan diri - keterampilan yang penting untuk partisipasi sukses di dunia orang.
c.       Implikasi Terhadap Pendidikan
            Pengaruh karya Vygotsky terhadap dunia pengajaran dijabarkan oleh Smith et al. (1998).
a.          Anak tetap dilibatkan dalam pembelajaran aktif, guru harus secara aktif mendampingi setiap kegiatan anak-anak. Dalam istilah teoritis, ini berarti anak-anak bekerja dalam zona perkembangan proksimal dan guru menyediakan scaffolding bagi anak selama melalui  ZPD.
b.         Secara khusus Vygotsky mengemukakan bahwa disamping guru, teman sebaya juga berpengaruh penting pada perkembangan kognitif anak.berlawanan dengan pembelajaran lewat penemuan individu (individual discovery learning), kerja kelompok secara kooperatif ( cooperative group work) tampaknya mempercepat perkembangan anak.
c.          Gagasan tentang kelompok kerja kreatif ini diperluasa menjadi pengajaran pribadi oleh teman sebaya ( peer tutoring), yaitu seorang anak mengajari anak lainnya yang agak tertinggal dalam pelajaran. Foot et al. (1990) menjelaskan keberhasilan pengajaran oleh teman sebaya ini dengan menggunakan teori Vygotsky. Satu anak bisa lebih efektif membimbing anak lainnya melewati ZPD karena mereka sendiri baru saja melewati tahap itu sehingga bis adengan mudah melihat kesulitan-kesulitan yang dihadapi anak lain dan menyediakan scaffolding yang sesuai.

4.  Teori Bruner
a.      Dasar Teori
Jerome Bruner dilahirkan dalam tahun 1915. Jerome Bruner, seorang ahli psikologi yang terkenal telah banyak menyumbang dalam penulisan teori pembelajaran, proses pengajaran dan falsafah pendidikan. Bruner setuju dengan Piaget bahawa perkembangan kognitif anak-anak adalah melalui peringkat-peringkat tertentu. Walau bagaimanapun, Bruner lebih menegaskan pembelajaran secara penemuan yaitu mengolah apa yang diketahui pelajar itu kepada satu corak dalam keadaan baru (lebih kepada prinsip konstruktivisme).
Beliau bertugas sebagai profesor psikologi di Universitas Harvard di Amerika Syarikat dan dilantik sebagai pengarah di Pusat Pengajaran Kognitif dari tahun 1961 sehingga 1972, dan memainkan peranan penting dalam struktur Projek Madison di Amerika Syarikat.  Setelah itu, beliau menjadi seorang profesor Psikologi di Universiti Oxford di England.
Jerome S. Bruner adalah seorang ahli psikologi perkembangan dan ahli psikologi belajar kognitif. Pendekatannya tentang psikologi adalah eklektik. Penelitiannya yang demikian banyak itu meliputi persepsi manusia, motivasi, belajar dan berfikir. Dalam mempelajarai manusia, ia menganggap manusia sebagai pemroses, pemikir dan pencipta informasi. Bruner menganggap, bahwa belajar itu meliputi tiga proses kognitif, yaitu memperoleh informasi baru, transformasi pengetahuan, dan menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan. Pandangan terhadap belajar yang disebutnya sebagai konseptualisme instrumental itu, didasarkan pada dua prinsip, yaitu pengetahuan orang tentang alam didasarkan pada model-model mengenai kenyataan yang dibangunnya, dan model-model itu diadaptasikan pada kegunaan bagi orang itu.
Pematangan intelektual atau pertumbuhan kognitif seseorang ditunjukkan oleh bertambahnya ketidaktergantungan respons dari sifat stimulus. Pertumbuhan itu tergantung pada bagaimana seseorang menginternalisasi peristiwa-peristiwa menjadi suatu ”sistem simpanan” yang sesuai dengan lingkungan. Pertumbuhan itu menyangkut peningkatan kemampuan seseorang untuk mengemukakan pada dirinya sendiri atau pada orang lain tentang apa yang telah atau akan dilakukannya.
Menurut Bruner belajar bermakna hanya dapat terjadi melalui belajar penemuan. Pengetahuan yang diperoleh melalui belajar penemuan bertahan lama, dan mempunyai efek transfer yang lebih baik. Belajar penemuan meningkatkan penalaran dan kemampuan berfikir secara bebas dan melatih keterampilan-keterampilan kognitif untuk menemukan dan memecahkan masalah.
Teori instruksi menurut Bruner hendaknya mencakup:
1)         Pengalaman-pengalaman optimal bagi siswa untuk mau dan dapat belajar, ditinjau dari segi aktivasi, pemeliharaan dan pengarahan.
2)         Penstrukturan pengetahuan untuk pemahaman optimal, ditinjau dari segi cara penyajian, ekonomi dan kuasa.
3)         Perincian urutan-urutan penyajian materi pelajran secara optimal, dengan memperhatikan faktor-faktor belajar sebelumnya, tingkat perkembangan anak, sifat materi pelajaran dan perbedaan individu.
4)         Bentuk dan pemberian reinforsemen.
Beliau berpendapat bahawa seseorang anak belajar dengan cara menemui struktur konsep-konsep yang dipelajari. Anak-anak membentuk konsep dengan mengasingkan benda-benda mengikut ciri-ciri persamaan dan perbedaan. Selain itu, pengajaran didasarkan kepada perangsang anak terhadap konsep itu dengan pengetahuan yang ada. Misalnya,anak-anak membentuk konsep segiempat dengan mengenal segiempat mempunyai 4 sisi dan memasukkan semua bentuk bersisi empat kedalam kategori segiempat,dan memasukkan bentuk-bentuk bersisi tiga kedalam kategori segitiga.
Dalam teori belajarnya Jerome Bruner berpendapat bahwa kegiatan belajar akan berjalan baik dan kreatif jika anak dapat menemukan sendiri suatu aturan atau kesimpulan tertentu. Dalam hal ini Bruner membedakan menjadi tiga tahap. Ketiga tahap itu adalah:
1)         Tahap informasi, yaitu tahap awal untuk memperoleh pengetahuan atau pengalaman baru,
2)         Tahap transformasi, yaitu tahap memahami, mencerna dan menganalisis pengetahuan baru serta ditransformasikan dalam bentuk baru yang mungkin bermanfaat untuk hal-hal yang lain,
3)         Tahap evaluasi, yaitu untuk mengetahui apakah hasil tranformasi pada tahap kedua tadi benar atau tidak.
            Kajian Bruner menekankan perkembangan kognitif anak-anak. Ia menekankan cara-cara manusia berinteraksi dalam alam sekitar dan menggambarkan pengalaman secara mendalam. Menurut Bruner, perkembangan kognitif juga melalui peringkat-peringkat tertentu. Peringkat-peringkat tersebut adalah seperti berikut:
a.       Peringkat enaktif ( 0 – 2 tahun )
b.      Peringkat ikonik ( 2 – 4 tahun )
c.       Peringkat simbolik ( 5 – 7 tahun )
            Bruner amat menekankan pembelajaran konsep atau kategori. Beliau mengutamakan pembelajaran secara induktif dengan menggunakan konsep atau kategori. Beliau juga mementingkan sistem pengekodan dalam uraiannya tentang pemikiran. Dengan adanya sistem pengekodan, kita dapat membuat inferens ( kesimpulan ) daripada rangsangan yang diterima.
                                                                                                                                     
b.      Implikasi Teori Bruner kedalam pengajaran dan pembelajaran.
            Anak  belajar melalui pengalaman. Dengan itu guru perlu menyediakan peluang untuk anak menroka, memegang, mencium dan merasa. Pengalaman seperti ini mewujudkan proses pembelajaran yang bermakna. Bagi anak-anak di Tahap Satu, gambar, cartu kata dan objek perlu digunakan bagi memudahkan pembentukan konsep.            Bagi anak-anak  Tahun Enam ke atas, hukum dan prinsip perlu ditekankan agar murid-murid berupaya mengaplikasikannya dalam proses penyelesaian masalah. Bruner juga menekankan pembelajaran yang terhasil daripada interaksi anak dengan guru, interaksi dengan anak-anak lain dan interaksi dengan bahan pengajaran. Maka kerja berkumpulan dan sesi perbincangan perlu diadakan dari masa ke semasa. Pelibatan anak-anak penting agar mereka dapat menikmati pembelajaran bermakna. Pengetahuan juga perlu disusun dan diperingkatkan agar pembentukan konsep bermula daripada peringkat yang mudah kepada peringkat yang rumit. Ini bermakna guru perlu memeringkatkan isi pelajaran.
            Bruner juga menekankan motivasi ekstrinsik dan motivasi intrinsik. Ini bermakna guru perlu memberi ganjaran dan pujian apabila sesuatu tingkahlaku yang diingini dilakukan. Kesediaan belajar juga ditekankan oleh Bruner. Dengan itu, guru perlu mengambil kira kesediaan belajar anak-anak ketika merancang proses pengajarannya. Sementara itu, nilai-nilai murni seperti bekerjasama, bertolak ansur dan tolong-menolong akan dapat dipupuk dalam aktiviti pengumpulan maklumat projek dan perbincangan.

c.       Ciri khas Teori Pembelajaran Menurut Bruner

1.            Empat Tema tentang Pendidikan
Tema pertama mengemukakan pentingnya arti struktur pengetahuan. Hal ini perlu karena dengan struktur pengetahuan kita menolong anak untuk untuk melihat, bagaimana fakta-fakta yang kelihatannya tidak ada hubungan, dapat dihubungkan satu dengan yang lain.
Tema kedua adalah tentang kesiapan untuk belajar. Menurut Bruner kesiapan terdiri atas penguasaan ketrampilan-ketrampilan yang lebih sederhana yang dapat mengizinkan seseorang untuk mencapai kerampilan-ketrampilan yang lebih tinggi.
Tema ketiga adalah menekankan nilai intuisi dalam proses pendidikan. Dengan intuisi, teknik-teknik intelektual untuk sampai pada formulasi-formulasi tentatif tanpa melalui langkah-langkah analitis untuk mengetahui apakah formulasi-formulasi itu merupaka kesimpulan yang sahih atau tidak.
Tema keempat adalah tentang motivasi atau keingianan untuk belajar dan cara-cara yang tersedia pada para guru untuk merangsang motivasi itu.

2.        Model dan Kategori
Pendekatan Bruner terhadap belajar didasarkan pada dua asumsi. Asumsi pertama adalah bahwa perolehan pengetahuan merupakan suatu proses interaktif. Berlawanan dengan penganut teori perilakau Bruner yakin bahwa orang yang belajar berinteraksi dengan lingkungannya secara aktif, perubahan tidak hanya terjadi di lingkungan tetapi juga dalam diri orang itu sendiri.
Asumsi kedua adalah bahwa orang mengkontruksi pengetahuannya dengan menghubungkan informasi yang masuk dengan informasi yang disimpan yang diperoleh sebelumnya, suatu model alam (model of the world). Model Bruner ini mendekati sekali struktur kognitif Aussebel. Setiap model seseorang khas bagi dirinya. Dengan menghadapi berbagai aspek dari lingkungan kita, kita akan membentuk suatu struktur atau model yang mengizinkan kita untuk mengelompokkan hal-hal tertentu atau membangun suatu hubungan antara hal-hal yang diketahui.    
3.      Belajar sebagai Proses Kognitif
Bruner mengemukakan bahwa belajar melibatkan tiga proses yang berlangsung hampir bersamaan. Ketiga proses itu adalah (1) memperoleh informasi baru, (2) transformasi informasi dan (3) menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan (Bruner, 1973).
Informasi baru dapat merupaka penghalusan dari informasi sebelumnya yang dimiliki seseorang atau informasi itu dapat dersifat sedemikian rupa sehingga berlawanan dengan informasi sebelumnya yang dimiliki seseorang. Dalam transformasi pengetahuan seseorang mempelakukan pengetahuan agar cocok dengan tugas baru. Jadi, transformasi menyangkut cara kita memperlakukan pengetahuan, apakah dengan cara ekstrapolasi atau dengan mengubah bentuk lain.
Hampir semua orang dewasa melalui penggunaan tiga sistem keterampilan untuk menyatakan kemampuannya secara sempurna. Ketiga sistem keterampilan itu adalah yang disebut tiga cara penyajian (modes of presentation) oleh Bruner (1966). Ketiga cara itu ialah: cara enaktif, cara ikonik dan cara simbolik.
Cara penyajian enaktif ialah melalui tindakan, jadi bersifat manipulatif. Dengan cara ini seseorang mengetahui suatu aspek dari kenyataan tanpa menggunakan pikiran atau kata-kata. Jadi cara ini terdiri atas penyajian kejadian-kejadian yang lampau melalui respon-respon motorik. Misalnya seseorang anak yang enaktif mengetahui bagaimana mengendarai sepeda.
Cara penyajian ikonik didasarkan atas pikiran internal. Pengetahuan disajikan oleh sekumpulan gambar-gambar yang mewakili suatu konsep, tetapi tidak mendefinisikan sepenuhnya konsep itu. Misalnya sebuah segitiga menyatakan konsep kesegitigaan.
Penyajian simbolik menggunakan kata-kata atau bahasa. Penyajian simbolik dibuktikan oleh kemampuan seseorang lebih memperhatikan proposisi atau pernyataan daripada objek-objek,  memberikan struktur hirarkis pada konsep-konsep dan memperhatikan kemungkinan-kemungkinan alternatif dalam suatu cara kombinatorial.
Sebagai contoh dari ketiga cara penyajian ini, tentang pelajaran penggunaan timbangan. Anak kecil hanya dapat bertindak berdasarkan ”prinsip-prinsip” timbangan dan menunjukkan hal itu dengan menaiki papan jungkat-jungkit. Ia tahu bahwa untuk dapat lebih jauh kebawah ia harus duduk lebih menjauhi pusat. Anak yang lebih tua dapat menyajikan timbangan pada dirinya sendiri dengan suatu model atau gambaran. ”Bayangan” timbangan itu dapat diperinci seperti yang terdapat dalam buku pelajaran. Akhirnya suatu timbangan dapat dijelaskan dengan menggunakan bahasa tanpa pertolongan gambar atau dapat juga dijelaskan secara matematik dengan menggunakan Hukum Newton tentang momen.
Ciri khas Teori Bruner dan perbedaannya dengan teori yang lain
Teori Bruner mempunyai ciri khas daripada teori belajar yang lain yaitu tentang ”discovery” yaitu belajar dengan menemukan konsep sendiri. Disamping itu, karena teori Bruner ini banyak menuntut pengulangan-penulangan, maka desain yang berulang-ulang itu disebut ”kurikulum spiral kurikulum”. Secara singkat, kurikulum spiral menuntut guru untuk memberi materi pelajaran setahap demi setahap dari yang sederhana ke yang kompleks, dimana materi yang sebelumnya sudah diberikan suatu saat muncul kembali secara terintegrasi di dalam suatu materi baru yang lebih kompleks. Demikian seterusnya sehingga siswa telah mempelajari suatu ilmu pengetahuan secara utuh.
Bruner berpendapat bahwa seseorang murid belajar dengan cara menemui struktur konsep-konsep yang dipelajari. Anak-anak membentuk konsep dengan melihat benda-benda berdasarkan ciri-ciri persamaan dan perbedaan. Selain itu, pembelajaran didasarkan kepada merangsang siswa  menemukan konsep yang baru dengan menghubungkan kepada konsep yang lama melalui pembelajaran penemuan.
4.      Belajar Penemuan       
          Salah satu model kognitif yang sangat berpengaruh adalah model dari Jerome Bruner (1966) yang dikenal dengan nama belajar penemuan (discovery learning). Bruner menganggap bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia dan dengan sendirinya memberikan hasil yang paling baik. Bruner menyarankan agar anak hendaknya belajar melalui berpartisipasi aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip agar mereka dianjurkan untuk memperoleh pengalaman dan melakukan eksperimen-eksperimen yang mengizinkan mereka untuk menemukan konsep dan prinsip itu sendiri.
Pengetahuan yang diperoleh dengan belajar penemuan menunjukkan beberapa kebaikan. Diantaranya adalah:
1.      Pengetahuan itu bertahan lama atau lama dapat diingat.
2.      Hasil belajar penemuan mempunyai efek transfer yang lebih baik.
3.     Secara menyeluruh belajar penemuan meningkatkan penalaran anak dan kemampuan untuk berfikir secara bebas.
Asumsi umum tentang teori belajar kognitif:
a.       Bahwa pembelajaran baru berasal dari proses pembelajaran sebelumnya.
b.      Belajar melibatkan adanya proses informasi (active learning).
c.       Pemaknaan berdasarkan hubungan.
d.      Proses kegiatan belajar mengajar menitikberatkan pada hubungan dan strategi.
Model kognitif mulai berkembang pada abad terakhir sebagai protes terhadap teori perilaku yang yang telah berkembang sebelumnya. Model  kognitif ini memiliki perspektif bahwa para peserta didik memproses infromasi dan pelajaran melalui upayanya mengorganisir, menyimpan, dan kemudian menemukan  hubungan antara pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang telah ada. Model ini menekankan pada bagaimana informasi diproses.
Peneliti yang mengembangkan kognitif ini adalah Ausubel, Bruner, dan Gagne.  Dari ketiga peneliti ini, masing-masing memiliki penekanan yang berbeda.  Ausubel menekankan pada apsek pengelolaan (organizer) yang memiliki pengaruh utama terhadap belajar. Menurut Ausubel, konsep tersebut dimaksudkan untuk penyiapan struktur kognitif peserta didik untuk pengalaman belajar. Bruner bekerja pada pengelompokkan atau penyediaan bentuk konsep sebagai suatu jawaban atas  bagaimana peserta didik  memperoleh informasi dari lingkungan.  Bruner mengembangkan teorinya tentang perkembangan intelektual, yaitu:
1.      enactive, dimana seorang peserta didik  belajar tentang dunia melalui tindakannya pada objek, anak melakukan aktifitas-aktifitasnya dalam usahanya memahami lingkungan.
2.      iconic,  dimana belajar terjadi melalui penggunaan model dan gambar
3.      symbolic yang mendeskripsikan kapasitas dalam berfikir abstrak, siswa mempunyai gagasan-gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi bahasa dan logika dan komunikasi dilkukan dengan pertolongan sistem simbol. Semakin dewasa sistem simbol ini samakin dominan.
Sejalan dengan pernyataan di atas, maka untuk mengajar sesuatu tidak usah ditunggu sampai anak mancapai tahap perkembangan tertentu. Yang penting bahan pelajaran harus ditata dengan baik maka dapat diberikan padanya. Dengan lain perkataan perkembangan kognitif seseorang dapat ditingkatkan dengan jalan mengatur bahan yang akan dipelajari dan menyajikannya sesuai dengan tingkat perkembangannya.
Penerapan teori Bruner yang terkenal dalam dunia pendidikan adalah kurikulum spiral dimana materi pelajaran yang sama dapat diberikan mulai dari Sekolah Dasar sampai Perguruan tinggi disesuaikan dengan tingkap perkembangan kognitif mereka. Cara belajar yang terbaik menurut Bruner ini adalah dengan memahami konsep, arti dan hubungan melalui proses intuitif kemudian dapat dihasilkan suatu kesimpulan (discovery learning).
Berdasarkan pendapat ketiga ahli di atas (Burner, Ausubel, dan Gagne), ternyata teori kognitif melibatkan hal-hal mental atau pemikiran seseorang individu. Teori ini ada kaitan dengan ingatan jangka pendek dan ingatan jangka panjang. Sesuatu pengetahuan yang diperolehi melalui pengalaman atau pendidikan formal akan disimpan dan disusun   melalui proses pengumpulan pengetahuan supaya dapat digunakan kemudian. 
B.     Perbedaan Antara Teori Piaget, Vygotsky Dan Bruner
            Piaget memandang anak-anak sebagai pembelajaran lewat penemuan individual, sedangkan Vygotsky lebih banyak menekankan peranan orang dewasa dan anak-anak lain dalam memudahkan perkembangan si anak.
1.      Konsep Sosiokultural
            Banyak developmentalis yang bekerja di bidang kebudayaan dan pembangunan menemukan dirinya sepaham dengan Vygotsky, yang berfokus pada konteks pembangunan sosial budaya. Teori Vygotsky menawarkan suatu potret perkembangan manusia sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan dari kegiatan-kegiatan sosial dan budaya. Vygotsky menekankan bagaimana proses-proses perkembangan mental seperti ingatan, perhatian, dan penalaran melibatkan pembelajaran menggunakan temuan-temuan masyarakat seperti bahasa, sistem matematika, dan alat-alat ingatan. Ia juga menekankan bagaimana anak-anak dibantu berkembang dengan bimbingan dari orang-orang yang sudah terampil di dalam bidang-bidang tersebut. Penekanan Vygotsky pada peran kebudayaan dan masyarakat di dalam perkembangan kognitif berbeda dengan gambaran Piaget tentang anak sebagai ilmuwan kecil yang kesepian.
            Piaget memandang anak-anak sebagai pembelajaran lewat penemuan individual, sedangkan Vygotsky lebih banyak menekankan peranan orang dewasa dan anak-anak lain dalam memudahkan perkembangan si anak. Menurut Vygotsky, anak-anak lahir dengan fungsi mental yang relatif dasar seperti kemampuan untuk memahami dunia luar dan memusatkan perhatian. Namun, anak-anak tak banyak memiliki fungsi mental yang lebih tinggi seperti ingatan, berfikir dan menyelesaikan masalah. Fungsi-fungsi mental yang lebih tinggi ini dianggap sebagai ”alat kebudayaan” tempat individu hidup dan  alat-alat itu berasal dari budaya. Alat-alat itu diwariskan pada anak-anak oleh anggota-anggota kebudayaan yang lebih tua  selama pengalaman pembelajaran yang dipandu. Pengalaman dengan orang lain secara berangsur menjadi semakin mendalam dan membentuk gambaran batin anak tentang dunia. Karena itulah berpikir setiap anak dengan cara yang sama dengan anggota lain dalam kebudayaannya.
            Vygotsky menekankan baik level konteks sosial yang bersifat institusional maupun level konteks sosial yang bersifat interpersonal. Pada level institusional, sejarah kebudayaan menyediakan organisasi dan alat-alat yang berguna bagi aktivitas kognitif melalui institusi seperti sekolah, penemuan seperti komputer, dan melek huruf. Interaksi institusional memberi kepada anak suatu norma-norma perilaku dan sosial yang luas untuk membimbing hidupnya. Level interpersonal memiliki suatu pengaruh yang lebih langsung pada keberfungsian mental anak. Menurut Vygotsky (1962), keterampilan-keterampilan dalam keberfungsian mental berkembang melalui interaksi sosial langsung. Informasi tentang alat-alat, keterampilan-keterampilan dan hubungan-hubungan interpersonal kognitif dipancarkan melalui interaksi langsung dengan manusia. Melalui pengorganisasian pengalaman-pengalaman interaksi sosial yang berada di dalam suatu latar belakang kebudayaan ini, perkembangan mental anak-anak menjadi matang.
2.      Perkembangan Bahasa
            Para pakar perilaku memandang bahasa sama seperti perilaku lainnya, misalnya duduk, berjalan, atau berlari. Mereka berpendapat bahwa bahasa hanya merupakan urutan respons (Skinner,1957) atau sebuah imitasi (Bandura, 1977). Tetapi banyak diantara kalimat yang kita hasilkan adalah baru, kita tidak mendengarnya atau membicarakannya sebelumnya.
            Kita tidak mempelajari bahasa di dalam suatu ”ruang hampa sosial” (social vacuum). Kebanyakan anak-anak diajari bahasa sejak usia yang sangat muda. Kita memerlukan pengenalan kepada bahasa yang lebih dini untuk memperoleh keterampilan bahasa yang baik (Adamson,1992; Schegloff,1989). Dewasa ini, kebanyakan peneliti penguasaan bahasa yakin bahwa anak-anak dari berbagai konteks sosial yang luas menguasai bahasa ibu mereka tanpa diajarkan secara khusus dan dalam beberapa kasus tanpa penguatan yang jelas ( Rice,1993). Dengan demikian aspek yang penting dalam mempelajari suatu bahasa tampaknya tidaklah banyak. Walaupun begitu, proses pembelajaran bahasa biasanya memerlukan lebih banyak dukungan dan keterlibatan dari pengasuh dan guru. Suatu peran lingkungan yang membangkitkan rasa ingin tahu dalam penguasaan bahasa pada anak kecil disebut motherese, yakni cara ibu dan orang dewasa sering berbicara pada bayi dengan frekuensi dan hubungan yang lebih luas dari pada normal, dan dengan kalimat-kalimat yang sederhana.
            Bahasa dipahami dalam suatu urutan tertentu. Pada setiap tahap di dalam tahap perkembangan, interaksi linguistik anak dengan orang tua dan orang lain pada dasarnya mengikuti suatu prinsip tertentu ( Conti-Ramsden & Snow, 1991; Maratsos, 1991). Perkembangan pemahaman bahasa pada anak bukan saja sangat dipengaruhi oleh kondisi biologis anak, tetapi lingkungan bahasa di sekitar anak sejak usia dini jauh lebih penting dibandingkan dengan apa yang diperkirakan di masa lalu ( Von Tetzchner & Siegel, 1989).
            Vygotsky lebih banyak menekankan bahasa dalam perkembangan kognitif daripada Piaget. Bagi Piaget, bahasa baru tampil ketika anak sudah mencapai tahap perkembangan yang cukup maju. Pengalaman berbahasa anak tergantung pada tahap perkembangan kognitif saat itu. Namun, bagi Vygotsky, bahasa berkembang dari interaksi sosial dengan orang lain. Awalnya, satu-satunya fungsi bahasa adalah komunikasi. Bahasa dan pemikiran berkembang sendiri, tetapi selanjutnya anak mendalami bahasa dan belajar menggunakannya sebagai alat untuk membantu memecahkan masalah. Dalam tahap praoperasional, ketika anak belajar menggunakan bahasa untuk menyelesaikan masalah, mereka berbicara lantang sembari menyelesaikan masalah. Sebaliknya, begitu menginjak tahap operasional konkret, percakapan batiniah tidak terdengar lagi.
3.      Zona Perkembangan Proksimal
            Meskipun pada akhirnya anak-anak akan mempelajari sendiri beberapa konsep melalui pengalaman sehari-hari, Vygotsky percaya bahwa anak akan jauh lebih berkembang jika berinteraksi dengan orang lain. Anak-anak tidak akan pernah mengembangkan pemikiran operasional formal tanpa bantuan orang lain.
            Pada satu sisi, Piaget menjelaskan proses perkembangan kognitif sejalan dengan kemajuan anak-anak, dan dia menggambarkan bahwa  anak-anak mampu melakukan sesuatu sendiri. Pada sisi lain, Vygotsky mencari pengertian bagaimana anak-anak berkembang dengan melalui proses belajar, dimana fungsi-fungsi kognitif belum matang, tetapi masih dalam proses pematangan. Vygotsky membedakan antara aktual development dan potensial development pada anak. Aktual development ditentukan apakah seorang anak dapat melakukan sesuatu tanpa bantuan orang dewasa atau guru. Sedangkan potensial development membedakan apakah seorang anak dapat melakukan sesuatu, memecahkan masalah di bawah petunjuk orang dewasa atau kerjasama dengan teman sebaya.
            Menurut teori Vygotsky, Zona Perkembangan Proksimal merupakan celah antara actual development dan potensial development, dimana antara apakah seorang anak dapat melakukan sesuatu tanpa bantuan orang dewasa dan apakah seorang anak dapat melakukan sesuatu dengan arahan orang dewasa atau kerjasama dengan teman sebaya.
            Maksud dari ZPD adalah menitikberatkan ZPD pada interaksi sosial akan dapat memudahkan perkembangan anak. Ketika anak mengerjakan pekerjaanya di sekolah sendiri, perkembangan mereka kemungkinan akan berjalan lambat. Untuk memaksimalkan perkembangan, anak seharusnya bekerja dengan teman yang lebih terampil yang dapat memimpin secara sistematis dalam memecahkan masalah yang lebih kompleks. Melalui perubahan yang berturut-turut dalam berbicara dan bersikap, anak mendiskusikan pengertian barunya dengan temannya kemudian mencocokkan dan mendalami kemudian menggunakannya. Sebuah konsekuensi pada proses ini adalah bahwa anak belajar untuk pengaturan sendiri (self-regulasi).
4.      Konsep Scaffolding
            Scaffolding merupakan suatu istilah yang ditemukan oleh seorang ahli psikologi perkembangan-kognitif masa kini, Jerome Bruner, yakni suatu proses yang digunakan orang dewasa untuk menuntun anak-anak melalui zona perkembangan proksimalnya.
            Pengaruh karya Vygotsky dan Bruner terhadap dunia pengajaran dijabarkan oleh Smith et al. (1998).
a.       Walaupun Vygotsky dan Bruner telah mengusulkan peranan yang lebih penting bagi orang dewasa dalam pembelajaran anak-anak daripad peran yang diusulkan Piaget, keduanya tidak mendukung pengajaran didaktis diganti sepenuhnya. Sebaliknya mereka malah menyatakan, walaupun anak tetap dilibatkan dalam pembelajaran aktif, guru harus secara aktif mendampingi setiap kegiatan anak-anak. Dalam istilah teoritis, ini berarti anak-anak bekerja dalam zona perkembangan proksimal dan guru menyediakan scaffolding bagi anak selama melalui  ZPD.
b.      Secara khusus Vygotsky mengemukakan bahwa disamping guru, teman sebaya juga berpengaruh penting pada perkembangan kognitif anak.berlawanan dengan pembelajaran lewat penemuan individu (individual discovery learning), kerja kelompok secara kooperatif ( cooperative group work) tampaknya mempercepat perkembangan anak.
c.       Gagasan tentang kelompok kerja kreatif ini diperluasa menjadi pengajaran pribadi oleh teman sebaya ( peer tutoring), yaitu seorang anak mengajari anak lainnya yang agak tertinggal dalam pelajaran. Foot et al. (1990) menjelaskan keberhasilan pengajaran oleh teman sebaya ini dengan menggunakan teori Vygotsky. Satu anak bisa lebih efektif membimbing anak lainnya melewati ZPD karena mereka sendiri baru saja melewati tahap itu sehingga bis adengan mudah melihat kesulitan-kesulitan yang dihadapi anak lain dan menyediakan scaffolding yang sesuai.
            Komputer juga dapat digunakan untuk meningkatkan pembelajaran dalam berbagai cara. Dari perspektif pengikut Vygotsky-Bruner, perintah-perintah di layar komputer merupakan scaffolding ( Crook, 1994). Ketika anak menggunakan perangkat lunak (software) pendidikan, komputer memberikan bantuan atau petunjuk secara detail seperti yang diisyaratkan sesuai dengan kedudukan anak yang sedang dalam ZPD. Tak pelak lagi, beberapa anak di kelas lebih terampil dalam menggunakan komputer sehingga bisa berperan sebagai tutor bagi teman sebayanya. Dengan murid-murid yang bekerja dengan komputer, guru bisa dengan bebas mencurahkan perhatinnya kepada individu-individu yang memerlukan bantuan dan menyiapkan scaffolding yang sesuai bagi masing-masing anak.

C.  Teori Konstruktivisme
a.      Dasar Teori          
            Teori ini menekankan pembinaan pengetahuan oleh anak. Anak dapat membina pengetahuan dengan menggunakan pengetahuan sedia ada mereka. Pelajar akan mengaitkan pembelajaran baru dengan pembelajaran lama yang sedia ada.
Prinsip-prinsip asas Teori Konstruktivisme ialah seperti berikut:
a.       Pengetahuan dibina oleh pelajar.
b.      Setiap pelajar memiliki idea dan pengetahuan asas.
c.       Proses pembinaan pengetahuan melibatkan aspek sosial.
            Komunikasi antara guru dengan murid mungkin menimbulkan perselisihan faham. Guru dianggap sebagai fasilitator dalam proses pembinaan pengetahuan pelajar.

b.      Implikasi Teori Konstruktivisme
            Kanak-kanak ialah pembina teori. Ilmu pengetahuan tidak disampaikan kepadanya. Sebaliknya, dia bertanggungjawab membina pengetahuan. Oleh itu, guru perlu menyediakan suasana pengajaran dan pembelajaran yang sesuai untuk pembinaan pengetahuan kanak-kanak.
            Guru juga perlu menerima hakikat bahawa kanak-kanak datang ke kelas dengan berbekalkan pelbagai pengetahuan yang sedia ada dan nilai-nilai tertentu. Mereka akan membina pengetahuan berdasarkan idea-idea dan nilai-nilai yang sedia ada itu. Sebenarnya, guru bukan merupakan penyebar pengetahuan, sebaliknya beliau lebih merupakan seorang pemudah cara atau fasilitator. Beliau akan menyedikan pelbagai jenis bahan pembelajaran dan menggalakkan uji kaji, percubaan serta penyelesaian masalah agar pembinaan pengetahuan oleh kanak-kanak dapat berlaku.
            Guru perlu menggalakkan interaksi di kalangan murid. Interaksi ini akan dapat memudahkan mereka bertukar-tukar idea dan pembinaan pengetahuan mereka. Guru juga perlu berupaya menyesuaikan diri dengan keadaan bilik darjah yang menggalakkan pergerakan murid dan tahap kebisingan yang dibenarkan. Bilik darjah juga perlu disediakan dengan pelbagai jenis bahan dan media pembelajaran yang boleh menggalakkan dan merangsangkan pembelajaran kanak-kanak. Bahan-bahan pembelajaran yang mencukupi dan mencabar akan memudahkan murid-murid membina pengetahuan.
            Kurikulum yang disediakan tidak seharusnya terlalu ketat. Rancangan pengajaran dan pembelajaran perlu fleksibel kerana pada kebiasannya, proses pembelajaran kanak-kanak adalah spontan dan sukar diramal. Kurikulum itu juga perlu memenuhi keperluan, minat dan kebolehan kanak-kanak.
1.      Teori Psikologi Piaget
            Piaget dalam teorinya memandang anak sebagai individu (pembelajar) yang aktif. Perhatian utama Piaget tertuju kepada bagaimana anak-anak dapat mengambil peran dalam lingkungannya dan bagaimana lingkungan sekitar berpengaruh pada perkembangan mentalnya. Menurut Piaget (dalam Helena, 2004), anak senantiasa berinteraksi dengan sekitarnya dan selalu berusaha mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya di lingkungan itu. Melalui kegiatan yang dimaksudkan untuk memecahkan masalah itulah pembelajaran terjadi. Piaget tidak memberikan penekanan terhadap pentingnya bahasa dalam perkembangan kognoitif anak. Bagi Piaget bukan perkembangan bahasa pertama yang paling fundamental dalam perkembangan kognitif melainkan aktivitas atau action.
            Menurut psikologi Piaget, dua macam perkembangan dapat terjadi sebagai hasil dari beraktivitas, yaitu asimilasi dan akomodasi. Suatu perkembangan disebut asimilasi jika aktivitas terjadi tanpa menghasilkan perubahan pada anak, sedangkan akomodasi terjadi jika anak menyesuaikan diri terhadap hal-hal yang ada di lingkungannya. Misalnya menurut contoh Cameron (2001), ketika anak sudah bisa menggunakan sendok dan kemudian diberi garpu dan dia menggunakan garpu (alat makan baru) sebagaimana ia menggunakan sendok yang berfungsi sebagai alat makan yang dikenal sebelumnya, berarti ia telah melakukan asimilasi. Akan tetapi, ketika ia sadar bahwa dengan garpu ia memiliki kesempatan untuk makan dengan cara menusukkan garpu ke makanan dan bukan cuma menyendoknya. Dengan demikian, anak itu telah melakukan akomodasi.
            Pada mulanya asimilasi dan akomodasi merupakan proses adaptasi perilaku yang kemudian menjadi proses berpikir. Akomodasi merupakan konsep penting yang kemudian dipertimbangkan dalam dunia pembelajaran bahasa yang dikenal dengan sebutan restructuring. Istilah ini mengacu kepada reorganisasi representasi mental dalam sebuah bahasa (McLaughlin, 1992). Maksudnya, anak telah memiliki pola-pola bahasa dalam pikirannya, tetapi ketika dihadapkan kepada fakta bahasa (pola) baru dan fakta baru tersebut memiliki potensi untuk berkomunikasi dengan cara berbeda, maka anak melakukan penyesuaian dengan pola-pola baru.
            Menurut pandangan Piaget, pikiran anak berkembang perlahan-lahan seiring dengan pertumbuhan pengetahuan dan keterampilan intelektualnya hingga sampai ke tahap berpikir logis dan formal. Akan tetapi, pertumbuhan ditandai dengan perubahan-perubahan mendasar tertentu yang menyebabkan anak mampu melampaui serangkaian tahapan yang dimaksud. Pada setiap tahap, anak mampu berpikir memikirkan hal-hal tertentu, tetapi tidak atau belum mampu memikirkan hal-hal yang lain. Jadi, menurut Piaget, berpikir melibatkan hal-hal yang abstrak dan menggunakan jalur logika belum mampu dilakukan anak sebelum ia berusia 11 tahun atau lebih.
            Pendapat ini banyak dikritik karena ketika diakhir tahun 70-an dan di awal tahun 80-an diterapkan kebijakan bahwa anak-anak harus terlebih dahulu melakukan srangkaian kegiatan yang menyiapkan mereka untuk menulis kalimat yang memakan waktu lama, anak akan kehilangan kesempatan untuk mengalami proses yang holistik atau menyeluruh. Proses holistik tersebut ialah proses yang menyadarkan anak bahwa tujuan menulis adalah komunikasi dan bukan berlatih menulis bentuk huruf semata.      Aspek komunikasi inilah yang merupakan aspek sosial dari kegiatan menulis, dan aspek ini yang terabaikan oleh Piaget. Piaget lebih memperhatikan anak dalam dunianya sendiri, dan bukan anak yang berkomunikasi dengan orang dewasa atau dengan anak lain.
            Ada pendapat Piaget yang penting, yaitu anak sebagai pembelajar dan pemikir yang aktif, yang membangun pengetahuannya dengan ‘bergulat’ dengan benda-benda atau gagasan-gagasan. Jika kita mengambil gagasan Piaget bahwa anak beradaptasi dengan lingkungannya, kita dapat melihat bagaimana lingkungan dapat menjadi setting untuk perkembangan. Lingkungan menawarkan berbagai kesempatan kepada anak untuk bertindak. Oleh karenanya, lingkungan kelas, misalnya, dapat menjadi ajang kegiatan dan kreativitas yang menyebabkan pembelajaran terjadi. Berdasarkan pendapat ini, pembelajaran bahasapun dapat terjadi jika lingkungan kelas maupun sekitarnya dimanfaatkan sedemikian rupa agar menawarkan berbagai kesempatan bagi keterlibatan dan kreativitas anak.
2.      Teori Psikologi Vygotsky
            Pakar psikologi lain, Vygotsky (1962, 1978), memberikan pandangan berbeda dengan Piaget terutama pandangannya tentang pentingnya faktor sosial dalam perkembangan anak. Vygotsky memandang pentingnya bahasa dan orang lain dalam dunia anak-anak. Meskipun Vygotsky dikenal sebagai tokoh yang memfokuskan kepada perkembangan sosial yang disebut sebagai sosiokultural, dia tidak mengabaikan individu atau perkembangan kognitif individu. perkembangan bahasa pertama anak tahun kedua di dalam hidupnya dipercaya sebagai pendorong terjadinya pergeseran dalam perkembangan kognitifnya. Bahasa memberi anak sebuah alat baru sehingga memberi kesempatan baru kepada anak untuk melakukan berbagai hal, untuk menata informasi dengan menggunakan simbol-simbol. Anak-anak sering terlihat berbicara sendiri dan mengatur dirinya sendiri ketika ia berbuat sesuatu atau bermain. Ini disebut sebagai private speech. Ketika anak menjadi semakin besar, bicaranya semakin lirih, dan mulai membedakan mana kegiatan bicara yang ditujukan ke orang lain dan mana yang ke dirinya sendiri.
            Yang mendasari teori Vygotsky adalah pengamatan bahwa perkembangan dan pembelajaran terjadi di dalam konteks sosial, yakni di dunia yang penuh dengan orang yang berinteraksi dengan anak sejak anak itu lahir. Ini berbeda dengan Piaget yang memandang anak sebagai pembelajar yang aktif di dunia yang penuh orang. Orang-orang inilah yang sangat berperan dalam membantu anak belajar dengan menunjukkan benda-benda, dengan berbicara sambil bermain, dengan membacakan ceritera, dengan mengajukan pertanyaan dan sebagainya. Dengan kata lain, orang dewasa menjadi perantara bagi anak dan dunia sekitarnya.
            Kemampuan belajar lewat instruksi dan perantara adalah ciri inteligensi manusia. Dengan pertolongan orang dewasa, anak dapat melakukan dan memahami lebih banyak hal dibandingkan dengan jika anak hanya belajar sendiri. Konsep inilah yang disebut Vygotsky sebagai Zone of Proximal Development (ZPD). ZPD memberi makna baru terhadap ‘kecerdasan’. Kecerdasan tidak diukur dari apa yang dapat dilakukan anak dengan bantuan yang semestinya. Belajar melakukan sesuatu dan belajar berpikir terbantu dengan berinteraksi dengan orang dewasa.
            Menurut Vygotsky, pertama-tama anak melakukan segala sesuatu dalam konteks sosial dengan orang lain dan bahasa membantu proses ini dalam banyak hal. Lambat laun, anak semakin menjauhkan diri dari ketergantungannya kepada orang dewasa dan menuju kemandirian bertindak dan berpikir. Pergeseran dari berpikir dan berbicara nyaring sambil melakukan sesuatu ke tahap berpikir dalam hati tanpa suara disebut internalisasi. Menurut Wretsch (dalam Helena, 2004) internalisasi bagi Vygotsky bukanya transfer, melainkan sebuah transformasi. Maksudnya, mampu berpikir tentang sesuatu yang secara kualitatif berbeda dengan mampu berbuat sesuatu. Dalam proses internalisasi, kegiatan interpersonal seperti bercakap-cakap atau berkegiatan bersama, kemudian menjadi interpersonal, yaitu kegiatan mental yang dilakukan oleh seorang individu.
            Banyak gagasan Vygotsky yang dapat membantu dalam membangun kerangka berpikir untuk mengajar bahasa asing bagi anak-anak. Untuk membuat keputusan apa yang bisa dilakukan guru agar mendukung pembelajaran kita dapat menggunakan gagasan bahwa orang dewasa menjadi perantara. “Lalu … apalagi yang dapat dipelajari anak-anak?”. Ini dapat berdampak pada bagaimana menyiapkan pelajaran atau bagaimana guru harus berbicara dengan siswa setiap saat. ZPD dapat menjadi pemandu dalam memilih dan menyusun pengalaman pembelajaran bagi siswa untuk membantu mereka maju dari tahap interpersonal ke intrapersonal. Kita membantu anak agar internalisasi terjadi sehingga bahasa baru yang diajarkan menjadi bagian dari pengetahuan dan keterampilan berbahasa anak.
3.      Teori Psikologi Bruner
            Menurut Bruner (dalam Helena, 2004) bahasa adalah alat yang paling penting bagi pertumbuhan kognitif anak. Bruner meneliti bagaimana orang dewasa menggunakan bahasa untuk menjembatani dunia sekitar dengan anak-anak dan membantu mereka memecahkan masalah. Pembicaraan atau “omongan” yang mendukung anak dalam melakukan kegiatan disebut scaffolding talk. Scaffolding talk atau omongan guru yang digunakan untuk menyelenggarakan kegiatan di kelas, dapat berlangsung mulai dari memeriksa presensi sampai membubarkan kelas. Ketika scaffolding talk itu terjadi dalam pembelajaran bahasa Inggris, maka semua itu juga harus dilakukan dalam bahasa Inggris pula. Dalam sebuah ekxperimen yang dilakukan terhadap ibu-ibu dan anak-anak di Amerika, orang tua yang melakukan scaffolding talk secara efektif biasa melakukan hal-hal sebagai berikut:
a.       Mereka membuat anak tertarik kepada tugas-tugas yang diberikan;
b.      Mereka membuat tugas menjadi lebih sederhana, seringkali dengan memecah-mecah tugas menjadi langkah-langkah yang lebih kecil;
c.       Mereka mampu mengarahkan anak kepada penyelesaian tugas dengan mengingatkan anak tentang tujuan utamanya;
d.      Mereka menunjukkan apa-apa yang penting untuk dikerjakan, atau menunjukkan bagaimana melakukan bagian-bagian dari tugas itu;
e.       Mereka menunjukkan bagaimana tugas itu dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya.
            Gagasan Bruner yang lain yang sangat relevan dan berguna bagi pembelajaran adalah mengenai format and routine. Kedua hal ini mengacu pada kebiasaan-kebiasaan yang memungkinkan kegiatan scaffolding terjadi. Scaffolding adalah aktivitas guru, baik secara fisik maupun verbal, yang dilakukan secara rutin sehingga anak menjadi terbiasa dengan kegiatan atau ungkapan-ungkapan guru waktu pelajaran berlangsung. Jadi, ketika anak terbiasa dengan pola kegiatan atau bahasa guru, mereka merasa “nyaman” dan percaya diri dan mereka menjadi siap untuk menerima hal-hal yang baru. Caontoh yang paling menonjol yang diberikan Bruner adalah kebiasaan membaca ceritera atau story reading yang dilakukan orang tua di Amerika kepada anak-anaknya. Tentu saja, ketika anak bertambah usia, buku cerita yang digunakan juga berubah, tetapi format kegiatannya masih serupa. Dalam kegiatan ini, orang dewasalah yang banyak bicara baik ketika membaca ceritera (yang sering diberi ilustrasi gambar-gambar) maupun sambil memberi pertanyaam atau instruksi kepada anak-anak, seperti “Coba lihat ini… hidungnya besar, kan?”. Dengan cara ini keterlibatan anak dalam berbicara akan meningkat pula. Jika orang tua atau guru banyak melakukan pembacaan ceritera, maka guru akan banyak melakukan pengulangan ungkapan-ungkapan yang semakin lama semakin canggih yang dipahami oleh siswa. Kegiatan membaca certera ini ditunjang oleh orang dewasa agar anak dapat berpartisipasi sesuai dengan tingkat kemampuannya.
            Dengan kata lain penggunaan bahasa yang dilakukan secara rutin menjadi mudah ditebak; anak mudah menebak apa yang dikatakan guru dan anak akan dapat lebih mudah merespon perkataan guru. Di sini terdapat “ruang” tempat anak dapat mempraktikkan bahasanya sendiri. “Ruang untuk tumbuh” atau space of growth ini menjadi zone of proximal development (ZPD) sebagaimana ada dalam teori Vygotsky. Menurut Bruner, kegiatan rutin dan penyesuaian-penyesuain inilah yang menyediakan tempat bagi perkembangan bahasa dan kognitif anak.
Implikasi Praktis
            Teori Vygotsky tentang Zone of Proximal Development menekankan betapa peran guru sangat dibutuhkan dalam rangka terjadinya pembelajaran yang optimal. Dikatakan bahwa anak atau siswa memiliki kapasitas atau potensi untuk belajar sendiri (seperti teori Piaget), tetapi belajar yang optimal terjadi karena anak mendapat pertolongan dari orang dewasa yang ada di sekitarnya. Pembelajaran terjadi karena adanya interaksi dengan lingkungan sosialnya. Penelitian Halliday mengenai bagaimana anak kecil ber(tukar) makna (learning how to mean) memberikan ilustrasi yang bernilai terhadap teori Vygotsky ini.
            Bahasan ini menunjukkan betapa pentingnya bagi guru untuk merencanakan kegiatan belajar mengajar yang seksama. Rencana tersebut secara eksplisit perlu mencantumkan kegiatan apa yang akan dilakukan atau pengalaman pembelajaran apa yang akan diberikan dan untuk tujuan apa. Rencana pengajaran tersebut diharapkan secara serius mempertimbangkan jenis-jenis interaksi di dalam kelas yang menjadikan kelas sebagai ZPD. Implikasinya ialah bahwa guru memang masih perlu menjelaskan pola kalimat, melakukan drill jika perlu melatih ucapan, tetapi sebagian besar waktu sebaiknya dimanfaatkan semaksimal mungkin agar terjadi macam interaksi.    Teori Burner juga mendukung gagasan Vygotsky. Gagasan Bruner tentang scaffolding atau memberikan kegiatan-kegiatan pendukung dalam upaya terjadinya internalisasi sangat relevan dengan pendidikan bahasa. Di bidang ini, kegiatan scaffolding secara verbal merupakan keniscayaan jika pendidikan bahasa dimaksudkan sebagai pendidikan komunikasi. Sayangnya, justru scaffolding talk atau “omongan” guru yang diharapkan menyertai seluruh proses pembelajaran bahasa Inggris sering tidak muncul di dalam kelas. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa guru berbahasa Inggris hanya kalau sedang membaca bacaan, pertanyaan yang ada di buku dan instruksi-instruksi tertulis. Kegiatan lain diselenggarakan dalam bahasa Indonesia. Misalnya, memeriksa kehadiran siswa, mengatur atau mengelola kelas, memberi komentar-komentar; semuanya dilakukan dalam bahasa Indonesia. Padahal, justru ungkapan-ungkapan bahasa Inggris yang “bukan pelajaran” inilah yang potensial untuk membangun ZPD, menanamkan kebiasaan, dan memungkinkan terjadinya internalisasi.
            Implikasi lain, terutama teori Vygotsky, tampaknya terjadi pula pada pandangan para pengikut konstruktivisme dalam pembelajaran (bahasa). Seperti telah disinggung di depan bahwa menurut teori Vygotsky, anak-anak dibesarkan di dalam suatu setting kelompok sosial. Vygotsky memandang pentingnya kultur dan pentingnya konteks sosial bagi perkembangan kognitif. Menurut Vygotsky, atau dengan cara pandang konstruktivisme ini, anak-anak dengan pertolongan orang dewasa dapat menguasai konsep-konsep atau gagasan-gagasan yang mereka tidak bisa pahami sendiri. Annie Susany (2002) menyatakan bahwa dalam visi konstruktivisme terdapat empat pandangan utama yang diyakini oleh para pendukungnya, yaitu:
a.       Belajar dan berkembang adalah bersifat sosial, sehingga belajar merupakan suatu kegiatan kolaboratif;
b.      “The Zone of Proximal Development” dapat bertindak sebagai suatu pegangan untuk rencana kurikuler dan mata pelajaran;
c.       Pengajaran di sekolah seyogyanya terjadi dalam suatu konteks yang bermakna (meaningful context) dan tidak bisa dipisahkan dari pengajaran serta pengetahuan yang dikembangkan oleh para siswa dan “dunia nyata”;
d.      Pengalaman-pengalaman di luar sekolah hendaknya dihubungkan dengan pengalaman-pengalaman para anak-anak di dalam lingkungan sekolah.
            ZPD dalam hal ini merupakan suatu gagasan yang memandang bahwa potensi perkembangan kognitif seseorang terbatas pada suatu waktu tertentu saja. ZPD ini bisa dikembangkan secara terus menerus dan memerlukan interaksi sosial. ZPD menurut Vygotsky sebagai jarak antara tingkat perkembangan dengan tingkat potensi perkembangan yang dimiliki seseorang. Berdasarkan pada konsep ini, seorang guru bisa menawarkan suatu tujuan yang mungkin sulit dicapai oleh para anak-anak dan kemudian mereka ini berusaha untuk mencapainya sendiri atau dengan bantuan anak-anak lain yang lebih dewasa. Vigotsky memandang bermain sebagai faktor atau sarana yang sangat penting dalam belajar.

D.    Perkembangan Bahasa Anak Usia Dini

A.    Teori-teori Perkembangan Bahasa
            Implementasi pengembangan bahasa pada anak tidak terlepas dari berbagai teori yang dikemukakan para ahli. Pemahaman akan berbagai teori dalam pengembangan bahasa dapat mempengaruhi dalam menerapkan metode yang tepat bagi implementasi terhadap pengembangan bahasa anak itu sendiri sehingga diharapkan pendidik mampu mencari dan membuat bahan pengajaran yang sesuai dengan tingkat usia anak.
Adapun beberapa teori yang dapat dijadikan rujukan dalam implementasi pembelajaran bahasa adalah:

1) Teori behaviorist oleh Skinner, mendefinisikan bahwa pembelajaran dipengaruhi oleh perilaku yang dibentuk oleh lingkungan eksternalnya, artinya pengetahuan merupakan hasil dari interaksi dengan lingkungannya melalui pengkondisian stimulus yang menimbulkan respon. Perubahan lingkungan pembelajaran dapat mempengaruhi pikiran, perasaan, dan perilaku anak secara bertahap. Perilaku positif jika diperkuat cenderung untuk diulangi lagi karena pemberian penguatan secara berkala dan disesuaikan dengan kemampuan anak akan efektif untuk membentuk perilaku anak. Latihan yang diberikan kepada anak harus dalam bentuk pertanyaan (stimulus) dan jawaban (respon) yang dikenalkan anak melalui tahapan-tahapan, mulai dari yang sederhana sampai pada yang lebih rumit contoh: sistem pembelajaran drilling. Anak akan memberikan respon pada setiap pembelajaran dan dapat segera memberikan balikan. Disini Pendidik perlu memberikan penguatan terhadap hasil kerja anak yang baik dengan pujian atau hadiah.

2) Teori Nativist oleh Chomsky, mengutarakan bahwa bahasa sudah ada di dalam diri anak. Pada saat seorang anak lahir, dia telah memiliki seperangkan kemampuan berbahasa yang disebut ‘Tata Bahasa Umum” atau ‘Universal Grammar’. Meskipun pengetahuan yang ada di dalam diri anak tidak mendapatkan banyak rangsangan, anak akan tetap dapat mempelajarinya. Anak tidak sekedar meniru bahasa yang dia dengarkan, tapi ia juga mampu menarik kesimpulan dari pola yang ada, hal ini karena anak memiliki sistem bahasa yang disebut Perangkat Penguasaan Bahasa (Language Acquisition Devise/LAD). Teori ini berpengaruh pada pembelajaran bahasa dimana anak perlu mendapatkan model pembelajaran bahasa sejak dini. Anak akan belajar bahasa dengan cepat sebelum usia 10 tahun apalagi menyangkut bahasa kedua (second language). Lebih dari usia 10 tahun, anak akan kesulitan dalam mempelajari bahasa.

3) Teori Constructive oleh Piaget, Vigotsky dan Gardner, menyatakan bahwa perkembangan kognisi dan bahasa dibentuk dari interaksi dengan orang lain sehingga pengetahuan, nilai dan sikap anak akan berkembang. Anak memiliki perkembangan kognisi yang terbatas pada usia-usia tertentu, tetapi melalui interaksi sosial anak akan mengalami peningkatan kemampuan berpikir. Pengaruhnya dalam pembelajaran bahasa adalah anak akan dapat belajar dengan optimal jika diberikan kegiatan sementara anak melakukan kegiatan perlu didorong untuk sering berkomunikasi. Adanya anak yang lebih tua usianya atau orang dewasa yang mendampingi pembelajaran dan mengajak bercakap-cakap akan menolong anak menggunakan kemampuan berbahasa yang lebih tinggi atau melejitkan potensi kecerdasan bahasa yang sudah dimiliki anak. Oleh karena itu pendidik perlu menggunakan metode yang interaktif, menantang anak untuk meningkatkan pembelajaran dan menggunakan bahasa yang berkualitas.
Permainan yang dapat mendukung terciptanya rangsangan pada anak dalam berbahasa antara lain alat peraga berupa gambar yang terdapat pada buku atau poster, mendengarkan lagu atau nyanyian, menonton film atau mendengarkan suara kaset, membaca cerita (story reading/story telling) ataupun mendongeng. Semua aktivitas yang dapat merangsang kemampuan anak dalam berbahasa dapat diciptakan sendiri oleh pendidik. Pendidik dapat berimprovisasi dan mengembangkan sendiri dengan cara menerapkannya kepada anak sesuai dengan kondisi dan lingkungannya.
Perkembangan bahasa pada anak usia dini sangat penting karena dengan bahasa sebagai dasar kemampuan seorang anak akan dapat meningkatkan kemampuan-kemampuan yang lain. Pendidik perlu menerapkan ide-ide yang dimilikinya untuk mengembangkan kemampuan berbahasa anak, memberikan contoh penggunaan bahasa dengan benar, menstimulasi perkembangan bahasa anak dengan berkomunikasi secara aktif. Anak terus perlu dilatih untuk berpikir dan menyelesaikan masalah melalui bahasa yang dimilikinya. Kegiatan nyata yang diperkuat dengan komunikasi akan terus meningkatkan kemampuan bahasa anak. Lebih daripada itu, anak harus ditempatkan di posisi yang terutama, sebagai pusat pembelajaran yang perlu dikembangkan potensinya. Anak belajar bahasa perlu menggunakan berbagai strategi misalnya dengan permainan-permainan yang bertujuan mengembangkan bahasa anak dan penggunaan media-media yang beragam yang mendukung pembelajaran bahasa. Anak akan mendapatkan pengalaman bermakna dalam meningkatkan kemampuan berbahasa dimana pembelajaran yang menyenangkan akan menjadi bagian dalam hidup anak.

B. Pengertian Bahasa

Bahasa merupakan alat untuk berkomunikasi. Melalui bahasa manusia dapat berinteraksi dan berkomunikasi mengemukakan hasil pemikirannya dan dapat mengekspresikan perasaannya. Dengan bahasa orang dapat membuka cakrawala berfikir dan mengmbangakan wawasannya. Anak-anak belajar bahasa melalui interaksi dengan lingkungannya baik lingkungan rumah,sekolah, atau masyrakat. Di sekolah anak belajar bahsa melalui interaksi dengan guru, teman sebaya dan orang dewasa lainnya. Guru atau pendidik anak usia dini perlu memahami tentang perkembangan dan pengembangan bahasa anak.
Menurut Ensiklopedia Indonesia (1980) bahasa adalah kumpulan kata dan aturan yang tetap di dalam menggabungkannya berupa kalimat, merupakan system bunyi yang melambangkan pengertian-pengertian tertentu.           
Menurut Fred Ebbeck (1989) bahasa dapat dimaknai sebagai suatu system tanda,baik lisan maupun tulisan merupakan system komunikasi antar manusia.
Menurut Yus Badudu (1989) bahasa merupakan alat penghubung atau komunikasi antar anggota masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang menyatakan perasaan, dan keinginannya. Bahasa sebagai suatu system lambing bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri. Lebih lanjut menurut Broomly dalam Nurbiana Dieni dkk (2005) mendefinisikan bahasa sebagai system simbol yang teratur untuk mentransfer berbagai ide maupun informasi yang terdiri dari simbol-simbol visual maupun verbal.
Pendapat lain tentang bahasa dikemukakan oleh Eliason (1994) bahwa bahasa meliputi berbicara, menyimak,menulis dan ketrampilan membaca. Sedangkan menurut Hui Ling Chua (2003) bahasa memungkinkan anak untuk menterjemahkan pengalaman mentah ke dalam symbol-simbol yang dapat digunakan untuk berkomunikasi dan berfikir.Menurut Eliason, bahasa adalah alat untuk berfikir, mengekspresikan diri dan berkomunikasi.

C. Perkembangan Bahasa Anak

Menurut Eliason (1994) perkembangan bahasa dimulai sejak bayi dan mengandalkan perannya pada pengalaman,penguasaan dan pertumbuhan bahasa.Anak belajar bahasa sejak masa bayi sebelum belajar berbicara mereka berkomunikasi melalui tangisan, senyuman dan gerakan badan.
Belajar bahasa sangat krusial terjadi pada usia sebelum enam tahun. Oleh karena itu pendidikan Anak Usia Dini merupakan wahana yang sangat penting dalam mengembangkan bahasa anak sehingga kondisi ini bisa memfasilitasi pengembangan ketrampilan berbahasa pada anak usia dini. Anak memperoleh bahasa dari lingkungan keluarga dan lingkungan tetangga. Dengan kosa kata yang mereka miliki pertumbuhan kosa kata anak akan tumbuh dengan cepat seperti dikemukan oleh Sroufe(1996) pertumbuhan kosa kata anak akan lebihcepat setelah mereka mulai berbicara.
D. Tujuan Pengembangan Bahasa bagi Anak Usia Dini
Pengembangan kemampuan berbahasa bagi Anak Usia Dini bertujuan agar anak mampu berkomunikasi secara lisan dengan lingkungannya. Lingkungan yang dimaksud adalah lingkunagn di sekitar anak antara lain teman sebaya, teman bermain,orang dewasa, baik yanga da di sekolah, di rumah, maupun dengan tetangga di sekitar tempat tinggalnya.
Kemampuan bahasa Anak Usia Dini diperoleh dan dipelajari anak secara alami untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya sehingga anak akan ammpu bersosialisasi, berinteraksi dan merespon orang lain.
E.                        Fungsi Bahasa bagi anak
Fungsi bahasa bagi Anak Usia Dini adalah sebagai alat untuk mengembangkan kemampuan intelektual dan kemampuan dasar anak. Secara khusus Gardner mengemukakan bahwa fungsi bahasa bagi anak usia Dini adlah untuk mengembangkan ekspresi,perasaan, Imajinasi dan pikiran.
DEPDIKNAS (2000) menjelaskan fungsi pengembangan kemampuan berbahasa bagi anak Usia Dini anatara lain:
1.      Sebagai alat untuk berkomunikasi dengan lingkungan
2.      Sebagai alat untuk mengembangkan kemampuan intelektual anak
3.      Sebagai alat untuk mengembangkan ekspresi anak
4.      Sebagai alat untuk menyatakan perasaan dan buah pikiran kepada orang lain
Tujuan khusus komunikasi bagi anak meliputi : Bahasa reseftif, bahasa ekspresif, komunikasi verbal,mengingat dan membedakan.
1.      Bahasa Reseftif

Yang dimaksud dengan bahasa reseftif adalah bahasa pasif. Tujuan khusus bahasa reseftif
a.       Membantu anak mengembangkan kemampuan mendengarkan,contohnya mendengarkan cerita, nyanyian dan sebagainya.
b.      Membantu anak mengindentifikasi konsep melalui pemahaman pelabelan kata-kata.
c.       Meningkatkan kemampuan untuk merespon pembelajaran langsung contohnya bagaiman anak dapat menjawab atau merespon pertanyaan yang diajukan oleh guru.
d.       Membantu anak untuk mereaksi setiap komunikasi lainnya contohnya anak dapat memberi respon atau reaksi ketika ia berinteraksi dengan lingkungannya baik dengan guru, orang tua atau teman sebayanya.

2.      Bahasa ekspresif

a.       Membantu anak mengekspresikan kebutuhan, keinginan dan perasaan secara verbal.
b.       Mendorong anak untuk berbicara secara lebih jelas dan tegas sehingga mudah dipahami.
c.       Mendorong kepasihan berbahasa. Anak harus belajar bahasa yang pasih baik ucapan maupun susunan kalimatnya sehingga mudah dimengerti oleh orang lain melalui pemberian contoh guru sendiri menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
d.      Membantu anak memahami bahwa komunikasi tesebut dapat berpengaruh secara lebih efektif terhadap lingkungan sosial dan lingkungan anak.


3. Komunikasi non verbal
a.       Membantu anak untuk mengeksresikan perasaan dan emosinya melalui ekspresi wajah.
b.      Membantu anak mengeksresikan keinginan dan kebutuhannya melalui gerak tubuh dan tangan.
c.       Mendorong anak untuk menggunakan kontak mata ketika berinteraksi dengan orang lain.

4.      Mengingat dan membedakan
a.       Mengajar anak untuk membedakan antara tipr/nada/kerasnya bunyi
b.      Membantu anak untuk mengulang dan meniru pola mimik
c.       Membantu anak mengirim pesan verbal yang kompleks
d.      Meningkatkan kemampuan anak untuk mengingat, membangun dan mengurutkan.

F. Prinsip Pengembangan Bahasa
Dalam mengembangkan bahasa Anak Usia Dini perlu memperhatikan prinsip sebagai berikut:
Sesuaikan dengan tema kegiatan dan lingkungan terdekat.Misalnya tentang jenis-jenis kendaraan,bagian-bagian kendaraan, gunanya,warnanya dll.
1. Pembelajaran harus berorientasi pada kemampuan yang hendak dicapai sesuai potensi anak. Misalnya anak dapat menyebutkan makanan khas kota Bandung,
2. Tumbuhkan kebebasan dalam mengungkapkan pikiran dan perasaan dikaitkan dengan spontanitas. Misalnya anak dapat mengungkapkan pengalamannya yang berkaitan dengan naik kendaraan.
3. Diberikan alternatif pikiran dalam mengungkapkan isi hatinya. Apabila anak sulit untuk mengungkapkan pikirannnya dengan kata-kata bisa dilakukan melalui tulisan atau gambar.
4. Komunikasi guru dan anak akrab dan menyenangkan
5. Guru menguasai pengembangan bahasa
6. Guru bersikap normatif, model, contoh pengguna bahasa Indonesia yang baik dan benar
7. Bahan pembelajaran membantu pengembangan kemampuan dasar anak
8. Tidak menggunakan huruf satu-satu secara formal.
G. Konteks Pengembangan Bahasa
Konteks Pengembangan bahasa atau yang dikenal dengan ketrampilan berbahasa meliputi:
1. Mendengarkan
2. Berbicara
3. Membaca
4. Menulis
H. Metode Pengembangan Bahasa Anak Usia Dini
Metode yang digunakan guru dalam mengembangkan kemampuan berbahasa anak usia dini.
1. Metode bercerita
a. Pengertian
Metode bercerita merupakan salah satu pemberian pengalaman belajar bagi Anak Usia Dini dengan membawakan cerita kepada anak secara lisan. Cerita yang dibawakan guru harus menarik dan mengundang perhatian anak.
Penggunaan bercerita sebagai salah satu strategi pembelajaran untuk Anak Usia Dini, haruslah memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Isi cerita harus terkait dengan dunia kehidupan anak, sehingga anak memahami isi cerita tersebut
2. Kegiatan bercerita diusahakan dapat memberikan perasaan gembira lucu dan mengasyikan sesuai dengan kehidupan anak yang penuh suka cita.
3. Kegiatan bercerita diusahakan menjadi pengalaman yang bersifat unik dan menarik bagi anak.
Untuk dapat bercerita dengan baik, pendidik harus memperhatikan hal-hal berikut:
1. Menguasai isi cerita secara tuntas
2. Memiliki ketrampilan bercerita
3. Berlatih dalam irama dan modulasi suara secara terus-menerus
4. Menggunakan perlengkapan yang menarik perhatian anak
5. Menciptakan situasi emosional sesuai dengan tuntutan cerita.
Teknik-teknik yang bisa digunakan guru dalam membacakan cerita:
1. Membaca langsung dari buku cerita
2. Bercerita dengan menggunakan ilustrasi gambar dari buku
3. Menceritakan dongeng
4. Bercerita dengan papan flannel
5. Bercerita dengan menggunakan media boneka
6. Dramatisasi suatu cerita
7. Bercerita sambil memainkan jari-jari tangan

b. Manfaat bercerita bagi anak:
1. Bagi Anak Usia Dini mendenganrkan cerita yang menarik yang dekat denganlingkungannya merupakan kegiatan yang mengaksyikan.
2. Guru dapat menanmkan kegiatan bercerita untuk menanamkan kejujuran, keberanian,kesetiaan, keramahan,ketulusan,dan sikap-sikap positif yang lain daalm kehidupan lingkungan keluarga, sekolah dan luar sekolah.
3. Memberikan sejumlah pengetahuan sosial, nilai-nilai moral dan keagamaan.
4. Memberikan pengalaman untuk belajar dan berlatih mendengarkan
5. Memungkinkan anak untuk mengembangkan kemampuan kognitif, efektif maupun psikomotorik.
6. Memungkinkan dimensi perasaan anak.
7. Memberika informasi tentang kehidupan sosial anak dengan orang-orang yang ada di sekitarnya dengan bermacam pekerjaan.
8. Membantu anak membangun bermacam peran yang mungkin dipilih anak, dan
bermacam layanan jasa yang ingin disumbangkan anak kepada masyarakat.

c. Tujuan Kegiatan Bercerita bagi Anak Usia Dini :
1. Menanamkan pesan-pesan atau nila-nilai sosial, moral dan agama yang terkandung dalam sebuah cerita.
2. Guru memberikan informasi tentang lingkungan fisik dan lingkungan sosial yang perlu diketahui oleh anak.
d. Tema Kegiatan bercerita bagi Anak Usia Dini
Tema yang dipilih sebagai materi sangatlah banyak dan beragam, diantaranya adalah tema-tema yang berkaitan dengan kehidupan anak sehari-hari.
e. Prosedur Pelaksanaan Kegiatan Bercerita:
1. Menetapkan tujuan dan tema cerita
2. Menetapkan bentuk bercerita yang dipilih
3. Menetapkan bahan dan alat yang diperlukan dalam kegiatan bercerita
4. Menetapkan langkah-langkah kegiatan bercerita

2. Metode Bercakap-cakap
a. Pengertian Metode Bercakap-cakap
Metode bercakap-cakap merupakan suatu penyampaian pengembangan yang dilaksanakan melalui bercakap-cakap antara guru dengan anak.
Tujuan meroda bercakap-cakap menurut Moeslihatun (1999) adalah:
1. Mengmbangkan kecakapan dan keberanian anak dalam menyampaikan pendapat kepada siapapun.
2. memberi kesempatan pada anak untuk berekspresi secara lisan
3. Memperbaiki lafal dan ucapan anak
4. Mengembangka intelegensi anak
5. Menambah perbendaharaan kosa kata
6. Melatih daya tangkap
7. Melatih daya fikir dan fantasi anak
8. Menambah pengetahuan dan pengalaman anak
9. Memberikan kesenangan pada anak
10. Merangsang anak untuk belajar membaca dan menulis

b. Bentuk metode bercakap-cakap
1). Bercakap-cakap bebas
2). Bercakap-cakap menurut pokok bahasan
3). Bercakap-cakap dengan menggunakan gambar seri

3. Metode tanya jawab
Metode tanya jawab biasanya dapat digunakan dengan metoda lain yang disebut metode bantu.Menurut Depdikbud (1998) adalah suatu metode dalam pengembangan bahasa yang dapat memberi rangsangan agar anak aktif untuk berfikir, melalui pertanyaan-pertanyan guru, anak akan berusaha memahaminya dan menenukan jawabannya.
4. Metode bermain Peran
Metode bermain peran merupakan salah satu metode yang dapat digunakan dalam mengmbangkan kemampuan bahasa dimana diupayakan untuk membantu anak dalam menemukan makna dari lingkungan yang bermanfaat dan memecahkan masalah yang dihadapi dengan kelompok sebayanya.

E. Perkembangan Kognitif, Bahasa, Fisik-motorik, Moral Dan Agama dan Seni Anak Usia Dini
A.    Perkembangan Kognitif
1. Pengertian Kognitif
  kognitif adalah  yang mencakup kegiatan mental (otak). Segala upaya yang menyangkut aktivitas otak adalah termasuk dalam  kognitif.   kognitif  memiliki enam jenjang atau aspek, yaitu:
1. Pengetahuan/hafalan/ingatan (knowledge)
2. Pemahaman (comprehension)
3. Penerapan (application)
4. Analisis (analysis)
5. Sintesis (syntesis)
6. Penilaian/penghargaan/evaluasi (evaluation)
Tujuan aspek kognitif berorientasi pada kemampuan berfikir yang mencakup kemampuan intelektual yang lebih sederhana, yaitu mengingat, sampai pada kemampuan memecahkan masalah yang menuntut siswa untuk menghubungakan dan menggabungkan beberapa ide, gagasan, metode atau prosedur yang dipelajari untuk memecahkan masalah tersebut. Dengan demikian aspek kognitif adalah subtaksonomi yang mengungkapkan tentang kegiatan mental yang sering berawal dari tingkat pengetahuan sampai ke tingkat yang paling tinggi yaitu evaluasi.
2.      Tahap-tahap Perkembangan Kognitif
a.       Tahap Sensomotorik
Tahap ini merupakan tahap pertama dalam perkembangan kognisi anak. Pada tahap ini bayi belum mampu membedakan dirinya dari isi dunia lainnya, tingkahnya terbatas pada penggunaan pola respon. Urutan perkembangannya adalah penggunaan panca indera, lalu motorik, koordinasi keduanya, baru sensomotorik.
b.            Tahap Praoperasional
Cara berpikir bayi pada tahap ini masih dalam tahap yang sederhana, belum operasional.
c.             Tahap Operasional Konkret
Tahap ini dilalui anak pada usia tujuh sampai sebelas tahun. Pada tahap ini anak dapat menyebutkan sesuatu secara kongkret suatu kesamaan benda, namun belum bisa menjelaskannya.
d.            Tahap Operasional Formal
Pada tahap ini anak sudah berusia sebelas tahun ke atas. Anak sudah berpikir logis seperti halnya orang dewasa. Mereka mulai merumuskan dan mengetas hipotesis yang rumit, berpikir abstrak, men-generalisasikan dengan menggunakan konsep abstrak, dari satu situasi ke situasi lain.
3.      Alat Peraga Edukatif Pada Sentra Kognitif meluputi:

SENTRA PERSIAPAN BERHITUNG
c. Pasak Geometri
1.
ABACUS
d. Puzzle Geometri Cat
a.
Sempoa Angka Domino
e. Puzzle Geometri Bentuk
b.
Tangga Kubus
f. Pasak Silinder
c.
Ball Shorter
g. Balok Bangun & Angka
d.
Ring Shorter
4. PUZZLE ANGKA
e.
Silinder Shorter
a. Puzzle Angka Kaki
2.
KESEIMBANGAN
b. Magic Numeric
a.
Timbangan Bulat
c. Puzzle Angka Tangan
b.
Timbangan Persegi
d. Puzzle Seri Angka 0-9
c.
Timbangan Kubus
e. Puzzle Seri Angka PSP
d.
Timbangan Geometri
5. JAM
3.
SENTRA BERHITUNG
a. Model Jam Bundar
a.
Kubus Angka & Huruf
b. Jam Bundar
b.
Kotak Berjenjang Angka
c. Jam & Gambar

Tabel 1. ( Alat peraga edukatif sentra kognitif)

Gambar 1 (APE Sentra Kognitif)

B.                 Perkembangan Bahasa
Bayi, sudah mampu berkomunikasi tanpa harus berbahasa, baik dengan tangisan, senyum, dan gerak gerik tubuhnya. Tahap perkembangan ini dibagi kepada dua, tahap perkembangan artikulasi dan tahap perkembangan kata/kalimat.
1.      Tahap Perkembangan Atikulasi
Tahap ini dilalui bayi pada usia 14 bulan. Pada tahap ini bayi sudah mampu menghasilkan bunyi vokal, “aaa”, “eee” atau “uuu”. Adapun tahapan perkembangan artikulasi itu sebagai berikut:
a.             Bunyi Resonansi
Bunyi paling umum yang dibuat bayi adalah bunyi tangis, meskipun ada banyak arti yang diungkapkan bayi melalui tangisan tersebut. Selain bunyi tangis, ada pula bunyi kuasi resonansi. Bunyi ini belum ada konsonan dan vokalnya. 
b.      Bunyi Berdekut
Bunyi ini adalah bunyi kuasi konsonan yang berlangsung dalam satu embusan nafas. Bunyi yang dihasilkan adalah konsonan belakang dan tengah, dengan vokal belakang, tapi tanpa resonansi penuh. Bunyi ini seperti meledak-ledak yang disertai tawa.
c.      Bunyi Berleter
Bayi mengeluarkan suara terus menerus tanpa tujuan. Bayi mencoba berbagai macam bunyi. Bayi sudah mampu membuat bunyi vokal seperti a.
d.      Bunyi Berleter Ulang
Bayi memonyongkan bibirnya, menarik ke dalam tanpa menggerakkan rahang. Konsonan yang mula-mula diucap adalah p, b, bunyi letup t dan d, bunyi nasal dan bunyi j.
e.      Bunyi Vokabel
Bunyi ini menyerupai kata, tapi tidak mempunyai arti, dan bukan tiruan dewasa. Bentuk vokabel ini sudah konsisten secara fonetis. Seiring dengan perkembangan ini, bayi yang normal sudah bisa menirukan intonasi kalimat dan kemampuan mengucapkan kata. 

2.       Tahap Perkembangan Kata dan Kalimat
a.      Kata Pertama
Kemampuan mengucapkan kata pertama ditentukan oleh penguasaan artikulasi dan kemampuan mengaitkan kata dengan benda yang menjadi rujukannya.
b.      Kalimat Satu Kata
Kata pertama yang dihasilkan anak, dilanjutkan dengan kata kedua, ketiga dan seterusnya. Yang pertama kali muncul melalui kalimat satu kata si anak adalah ujaran yang seringkali didengarnya dari orang dewasa. Hingga usia 18 bulan, anak telah memiliki 50 buah kosakata, meskipun kalimat satu kata (holofrasis).
c.      Kalimat Dua Kata
Ucapan kalimat dua kata ini diungkapkan anak sudah lebih produktif dibanding kalimat satu kata. Misalnya, hubungan agen + asi pada kalimat mommy come.
d.      Kalimat Lebih Lanjut
Menjelang usia dua tahun, anak rata-rata sudah bisa menyusun kalimat empat kata, yakni dengan cara perluasan, meskipun kalimat dua kata masih mendominasi korpus bicaranya.
3.      Tahap Menjelang Sekolah
Yang dimaksud ini adalah menjelang anak masuk sekolah dasar; yakni pada usia lima sampai enam tahun. Anak pada usia ini sudah menguasai hampir semua kaidah dasar gramatikal bahasanya. Dia bisa membuat berita, tanya, dan keontruksi lainnya. Mereka sudah dapat menggunakan bahasa dalam konteks sosial yang bermacam-macam.
4.      Alat Peraga Edukatif Sentra Bahasa
SENTRA PERSIAPAN MEMBACA & MENULIS
PUZZLE ALPHABET
1.    Puzzle Alphabet Huruf Besar
2.      Puzzle Alphabet Cat
3.      Puzzle Alphabet Cat Huruf Kecil
4.      Puzzle Alphabet Kura-Kura
5.      Puzzle Seri Alphabet
6.      Puzzle Alphabet Ikan
7.      Balok Huruf
Balok Huruf 3 Dimensi
1.  Kutu
2.  Sapi
3.  Baju Besar
4. Sepatu
5. Bebek
6. Pisang










            Tabel 2. (Alat peraga edukatif sentra bahasa)
Gambar 2. (APE Sentra Bahasa)

C.                 Perkembangan Fisik-motorik
1.      Pengertian Perekembangan Fisik-motorik
Perkembangan fisik/motorik diartikan sebagai perkembangan dari unsur kematangan dan pengendalian gerak tubuh. Ketrampilan motorik kasar diawali dengan bermain yang merupakan gerakan kasar. Pada usia 3 tahun sesuai dengan tahap perkembangan, anak pada umumnya sudah menguasai sebagian besar ketrampilan motorik kasar. Sementara ketrampilan motorik halus baru mulai berkembang, yang diawali dengan kegiatan yang amat sederhana seperti memegang sendok, memegang pensil, mengaduk. Ketrampilan motorik halus lebih lama pencapaiannya dari pada ketrampilan motorik kasar karena ketrampilan motorik halus membutuhkan kemampuan yang lebih sulit misalnya konsentrasi, control, kehati-hatian, dan kondisi otot tubuh yang satu dengan yang lain.
            Keterampilan motorik anak pada usia 4-6 tahun mempunyai perbedaan dengan orang tua dalam hal (1) cara memegang, (2) cara berjalan dan (3) cara menyepak/menendang. Pada anak cara mamegang dilakukan dengan asal saja, sedangkan orang dewasa memegang benda dengan cara yang khas, agar dapat dipergunakan secara optimal.     Ketika orang dewasa berjalan, hanya memerlukan otot-ototnya yang diperlukan saja, sedangkan anak-anak berjalan seolah-olah semua tubuhnya ikut bergerak.  Dalam menyepak/menendang, anak-anak menyepak bola diikuti dengan kedua belah tangannya yang ikut maju kedepan secara berlebihan. Masa lima tahun pertama adalah masa emas bagi motorik anak.
            Perkembangan keterampilan motorik merupakan factor yang sangat penting bagi perkembangan kepribadian anak secara keseluruhan. Elizabeth Hurlock (1956) mencatat beberapa alasan tentang fungsi perkembangan motorik bagi konstelasi perkembangan individu, yaitu sebagai berikut :
a.       Melalui keterampilan motorik, anak dapat menghibur dirinya dan memperoleh perasaan senang, seperti anak merasa senang dengan memiliki ketrampilan memainkan boneka, melempar dan menangkap bola atau memainkan alat-alat lainnya.
b.      Melalui keterampilan motorik anak dapat beranjak dari kondisi helplessness (tidak berdaya) pada bulan-bulan pertama kehidupannya, ke kondisi  yang independence (bebas tidak bergantung). Anak dapat bergerak dari satu tempat ketempat yang lainnya, dan dapat berbuat sendiri untuk dirinya. Kondisi ini akan menunjang perkembangan self confidence (rasa percaya diri).
c.       Melalui keterampilan motorik, anak dapat menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sekolah (school adjustment). Pada usia TK atau pra sekolah, anak sudah dapat dilatih menulis, menggambar, mewarnai dll.
d.      Melalui perkembangan motorik yang normal memungkinkan anak dapat bermain atau bergaul dengan teman sebayanya,  sedangkan yang tidak normal akan menghambat anak untuk dapat bergaul dengan teman sebayanya bahkan dia akan dikucilkan atau menjadi anak yang fringer (terpinggirkan).
e.       Perkembangan keterampilan motorik sangat penting bagi perkembangan self concept atau kurang konsep diri/kepribadian anak.

2. Alat Peraga Edukatif pada Sentra Fisik-motorik

SENTRA OUTDOOR
1.
Prosotan
2.
Jembatan Goyang
3.
Jungkitan
4.
Papan Titian
5.
Bola Dunia
6.
Ayunan
7.
Gawang Futsal

Tabel 3. (Alat peraga edukatif sentra fisik-motorik)
Gambar 3. ( APE Sentra Fisik-Motorik)

D.    Perkembangan Moral Dan Agama.

A.    Perkembangan Moral Anak Usia Dini

1.         Perkembangan Moral Anak Usia Dini

Manusia merupakan makhluk etis atau makhluk yang mampu memahami kaidah-kaidah moral dan mampu menjadikannya sebagai pedoman dalam bertutur kata, bersikap, dan berperilaku. Kemampuan seperti di atas bukan merupakan kemampuan bawaan melainkan harus diperoleh melalui proses belajar. Anak dapat mengalami perkembangan moral jika dirinya mendapatkan pengalamanan bekenaan dengan moralitas. Perkembangan moral anak ditandai dengan kemampuan anak untuk memahami aturan, norma, dan etika yang berlaku (Slamet Suyanto,  2005: 67). Mengingat moralitas merupakan factor penting dalam kehidupan manusia maka manusia sejak dini harus mendapatkan pengaruh yang positif untuk menstimulasi perkembangan moralnya.

2.       Konsep-konsep Pengembangan Moral Anak Usia Dini

Menurut Megawangi, dalam Siti Aisyah dkk. (2007: 8.36), anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter apabila mereka berada di lingkungan yang berkarakter pula. Usaha mengembangkan anak-anak agar menjadi pribadi-pribadi yang bermoral atau berkarakter baik merupakan tangguang jawab keluarga, sekolah, dan seluruh komponen masyarakat. Usaha tersebut harus dilakukan secara terencana, terfokus, dan komprehensif.  Pengembangan moral anak usia dini melalui pengembangan pembiasaan berperilaku dalam keluarga dan sekolah.
a. Pengembangan berperilaku yang baik dimulai dari dalam keluarga
Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi perkembangan anak. Keluarga merupakan lingkungan pendidikan pertama dan paling efektif untuk melatih berbagai kebiasaan yang baik pada anak.
Menurut Thomas Lickona, sebagimana pendapatnya dikutip oleh Siti Aisyah dkk. (2007: 8.38 – 8.41), ada 10 hal penting yang harus diperhatikan dan dijadikan prinsip dalam mengembangkan karakter anak dalam keluarga, yaitu sebagai berikut.
1)    Moralitas penghormatan
Hormat merupakan kuci utama untuk dapar hidup harmonis dengan masyarkat. Moralitas penghormatan mencakup:
a)    Penghormatan kepada diri sendiri untuk mencegah agar diri sendiri tidak terlibat dalam perilaku yang merugikan diri sendiri.
b)    Penghormatan kepada sesame manusia meskipun berbeda suku, agama, kemampuan ekonomi, dst.
c)    Penghormatan kepada lingkungan fisik yang merupakan ciptaan Tuhan.
2)     Perkembangan moralitas kehormatan berjalan secara bertahap
Anak-anak tidak bisa langsung berkembang menjadi manusia yang bermoral, tetapi memerlukan waktu dan proses yang terus menerus, dan memerlukan kesabaran orang tua untuk melakukan pendidikan tersebut.
3)     Mengajarkan prinsip menghormati
Anak-anak akan belajar menghormati orang lain jika dirinya merasa bahwa pihak lain menghormatinya. Oleh karena itu orang tua hendaknya menghormati anaknya. Penghormatan orang tua kepada anak dapat dilakukan misalnya dengan menghargai pendapat anak, menjelaskan kenapa suatu aturan dibuat untuk anak, dst.
4)    Mengajarkan dengan contoh
Pembentukan perilaku pada anak mudah dilakukan melalui contoh. Oleh karena itu contoh nyata dari orang tua bagaimana seharusnya anak berperilaku harus diberikan. Selain itu, orang tua juga bisa membacakan buku-buku yang di dalamnya terdapat pesan-pesan moral. Orang tua hendaknya mengontrol acara-acara televisi yang sering ditonton anaknya, jangan sampai acara yang disukai anak adalah acara yang berpengaruh buruk pada perkembangan moralnya.
5)     Mengajarkan dengan kata-kata
Selain mengajar dengan contoh, orang tua hendaknya menjelaskan dengan kata-kata apa yang ia contohkan. Misalnya anak dijelaskan mengapa berdusta dikatakan sebagai tindakan yang buruk, karena orang lain tidak akan percaya kepadanya.
6)     Mendorong anak unruk merefleksikan tindakannya
Ketika anak telah melakukan tindakan yang salah, misalnya merebut mainan adiknya sehingga adiknya menangis, anak disuruh untuk berpikir jika ada anak lain yang merebut mainannya, apa reaksinya.
7)     Mengajarkan anak untuk mengemban tanggung jawab
Anak-anak harus dididik untuk menjadi pribadi-pribadi yang altruistik, yaitu peduli pada sesamana. Untuk itu sejak dini anak harus dilatih melalui pemberian tanggung jawab.
8)     Mengajarkan keseimbangan antara kebebasan dan kontrol
Keseimbangan antara kebebasan dan kontrol diperlukan pengembangan moral anak.  Anak diberi pilihan untuk menentukn apa yang akan dilakukannya namun aturan-aturan yang berlaku harus ditaati.
9)     Cintailah anak, karena cinta merupakan dasar dari pembentukan moral
Perhatian dan cinta orang tua kepada anak merupakan kontribusi penting dalam pembentukan karakter yang baik pada anak. Jika anak-anak diperhatikan dan disayangi maka mereka juga belajar memperhatikan dan menyayangi orang lain.
10)     Menciptakan keluarga bahagia
Pendidikan moral kepada anak tidak terlepas dari konteks keluarga. Usaha menjadikan anak menjadi pribadi yang bermoral akan lebih mudah jika jika anak mendapatkan pendidikan dari lingkungan keluarga yang bahagia. Untuk itu usaha mewujudkan keluarga yang bahagia merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh orang tua sehubungan dengan erkembangan moral anaknya.
b.  Pengembangan kebiasaan berperilaku yang baik di sekolah
Perkembangan moral anak tidak terlepas dari lingkungan di luar rumah. Menurut Goleman (1997) dan Megawangi 2004) dalam Siti Aisyah dkk. (2007: 8.41 – 8.42), bahwa lingkungan sekolah berperan dalam pengembangan moral anak usia dini. Pendidikan moral pada lembaga pendidikan formal dimulai ketika anak-anak mengikuti pendidikan pad ataman kanak-kanak. Menurut Schweinhart (Siti Aisyah dkk., 2007: 8.42), pengalaman yang diperoleh anak-anak dari taman kanak-kanak memberikan pengaruh positif pada pada perkembangan anak selanjutnya.
Di lembaga pendidikan formal anak usia dini, peran pendidik dalam pengembangan moral anak sangat penting. Oleh karena itu, menurut Megawangi (Siti Aisyah, 2007: 8.45), pendidik harus memperhatikan beberapa hal, yaitu sebagai berikut.
1)  Memperlakukan anak didik dengan kasih sayang, adil, dan hormat.
2)  Memberikan perhatian khusus secara individual agar pendidik dapat mengenal secara baik anak didiknya.
3)  Menjadikan dirinya sebagai contoh atau tokoh panutan.
4)   Membetulkan perilaku yang salah pada anak didik.

c.   Strategi dan Teknik Pengembangan Moral Anak Usia Dini

Pengembangan moral anak usia dini dilakukan agar terbentuk perilaku moral. Pembentukan perilaku moral pada anak, khususnya pada anak usia dini memerlukan perhatian serta pemahaman terhadap dasar-dasar serta berbagai kondisi yang mempengaruhi dan menenytukan perilaku moral. Ada 3 strategi dalam pembentukan perilaku moral pada anak usia dini, yaitu: 1) Strategi latihan dan pembiasaan, 2) Strategi aktivitas dan bermain, dan 3) Strategi pembelajaran (Wantah, 2005: 109).
1.    Strategi Latihan dan Pembiasaan
Latihan dan pembiasaan merupakan strategi yang efektif untuk membentuk perilaku tertentu pada anak-anak, termasuk perilaku moral. Dengan latihan dan pembiasaan terbentuklah perilaku yang bersifat relatif menetap. Misalnya, jika anak dibiasakan untuk menghormati anak yang lebih tua atau orang dewasa lainnya, maka anak memiliki kebiasaan yang baik, yaitu selalu menghormati kakaknya atau orang tuanya.
2.    Strategi Aktivitas Bermain
Bermain merupakan aktivitas yang dilakukan oleh setiap anak dapat digunakan dan dikelola untuk pengembangan perilaku moral pada anak. Menurut hasil penelitian Piaget (dalam Wantah, 2005: 116), menunjukkan bahwa perkembangan perilaku moral anak usia dini terjadi melalui kegiatan bermain. Pada mulanya anak bermain sendiri tanpa dengan menggunakan mainan. Setelah itu anak bermain menggunakan mainan namun dilakukan sendiri. Kemudian anak bermain bersama temannya bersama temannya namun belum mengikuti aturan-aturan yang berlaku. Selanjutnya anak bermain bersama dengan teman-temannya berdasarkan aturan yang berlaku.
3.    Strategi Pembelajaran
Usaha pengembangan moral anak usia dini dapat dilakukan dengan strategi pembelajaran moral. Pendidikan moral dapat disamakan dengan pembelajaran nilai-nilai dan pengembangan watak yang diharapkan dapat dimanifestasikan dalam diri dan perilaku seseorang seperti kejujuran, keberanian, persahabatan, dan penghargaan (Wantah, 2005: 123).
Pembelajaran moral dalam konteks ini tidak semata-mata sebagai suatu situasi seperti yang terjadi dalam kelas-kelas belajar formal di sekolah, apalagi pembelajaran ini ditujukan pada anak-anak usia dini dengan cirri utamanya senang bermain. Dari segi tahapan perkembangan moral, strategi pembelajaran moral berbeda orientasinya antara tahapan yang satu dengan lainnya. Pada anak usia 0 – 2 tahun pembelajaran lebih banyak berorientasi pada latihan aktivitas motorik dan pemenuhan kebutuhan anak secara proporsional. Pada anak usia antara 2 – 4 tahun pembelajaran moral lebih diarahkan pada pembentukan rasa kemandirian anak dalam memasuki dan menghadapi lingkungan. Untuk anak usia 4 – 6 tahun strategi pembelajaran moral diarahkan pada pembentukan inisiatif anak untuk memecahkan masalah yang berhubungan dengan perilaku baik dan buruk.
Secara umum ada berbagai teknik yang dapat diterapkan untuk mengembangkan moral anak usia dini. Menurut Wantah (2005: 129) teknik-teknik dimaksud adalah: 1. membiarkan, 2. tidak menghiraukan, 3. memberikan contoh (modelling), 4. mengalihkan arah (redirecting), 5. memuji, 6. mengajak, dan 7. menantang (challanging).
B.       Pengembangan Nilai-nilai Agama Anak Usia Dini
Menurut Zakiah Darajat (dalam Lilis Suryani dkk., 2008: 1.9), agama suatu keimanan yang diyakini oleh pikiran, diresapkan oleh perasaan, dan dilaksanakan dalam tindakan, perkataan, dan sikap.  Perkembangan nilai-nilai agama artinya perkembangan dalam kemampuan memahami, mempercayai, dan menjunjung tinggi kebenaran-kebenaran yang berasal dari Sang Pencipta, dan berusaha menjadikan apa yang dipercayai sebagai pedoman dalam bertutur kata, bersikap dan bertingkah laku dalam berbgaia situasi.
Pemahaman anak akan nilai-nilai agama menurut Ernest Harms (dalam Lilis Suryani dkk., 2008; 1.10 – 1.11) berlangsung melalui 3 tahap, yaitu sebagai berikut.
1.  Tingkat Dongeng (The Fairy Tale Stage)
Tingkat ini dialami oleh anak yang berusia 3 – 6 tahun. Ciri-ciri perilaku anak pada masa ini masih banyak dipengaruhi oleh daya fantasinya sehingga dalam menyerap materi ajar agama anak juga masih banyak menggunakan daya fantasinya.
2.  Tingkat Kenyataan (The Realistic Stage)
Tingkat ini dialami anak usia 7 – 15 tahun. Pada masa ini anak sudah dapat menyerap materi ajar agama berdasarkan kenyataan-kenyataan yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Anak sudah tertarik pada apa yang dilakukan oleh lembaga-lembaga keagamaan. Segala bentuk tindak amal keagamaan mereka ikuti dan tertarik untuk mempelajari lebih jauh.
3.  Tingkat Individu (The Individual Stage)
Tingkat individu dialami oleh anak yang berusia 15 ke atas. Konsep keagaamaan yang individualistic ini terbagi atas tiga bagian, yaitu: a. konsep keagamaan yang konvensional dan konservatif yang dipengaruhi oleh sebagian kecil fantasi, b. konsep keagamaan yang murni dinyatakan dengan pandangan yang bersifat personal, dan c. konsep keagamaan yang humanistic. Agama telah menjadi etos humanis dalam diri mereka dalam menghayati ajaran agama.
            Pengembangan nilai-nilai agama pada anak harus didasarkan pada
karakteristik perkembangan anak. Jika memperhatikan pendapat Ernest Harms sebagaimana dikemukakan di atas, maka usaha pengembangan nilai-nilai agama menjadi efektif jika dilakukan melalui cerita-cerita yang di dalamnya terkandung ajaran-ajaran agama. Dengan demikian daya fantasi anak berperan dalam menyerap nilai-nilai agama yang terdapat dalam cerita yang diterimanya.
C.     Alat Peraga Edukatif Senra Moral Dan Agama

SENTRA AGAMA
1.
PUZZLE
2.
ALAT PERAGA
a.
Puzzle Hijjayah
a.
Peraga Shalat
b.
Puzzle Rumah Ibadah
b.
Peraga Wudhu
c.
Puzzle Peraga Wudhu
c.
Gambar Pajang Rumah Ibadah


d.
Balok Iqro


e.
Peraga Baca

Tabel 4. (Alat peraga edukatif sentra moral dan agama)
Gambar 4. (APE Sentra moral dan Agama)

E.     Perkembangan Seni Dan Kreativitas Anak Usia Dini
a.       Pengertian Perkembangan Seni Dan Kreativitas
Perkembangan seni dan kreativitas merupakan tahapan perubahan kecerdasan atau kemampuan kinestetik-jasmani, visual-spasial, sistematis, konseptual, dan logis-matematis yang dimiliki oleh setiap manusia. Dari beberapa kecerdasan itu tidak dapat diketahui apabila tidak adanya rangsangan atau stimulus dari luar diri individu. Apabila seseorang sudah mengetahui bakat seninya maka perlu adanya pengasahan bakat tersebut sehingga akan menjadi terampil dan menjiwai atas bakat yang dimiliki, diantara nya melalui latihan, mengikuti kompetisi maupun melalui pendidikan tertentu.
b.      Macam-macam Kesenian
1.      Seni teater atau peran untuk mengasah kemampuan verbal-linguistik dan berpikir sistematis
2.      Seni rupa untuk mengasah kemampuan berpikir logis anak
3.      Seni musik untuk mengasah
4.      Seni tari (seni gerak tubuh) untuk mengasah kemmapuan konseptual, matematis dan kinestetik
5.      Seni lukis, gambar, peta, diagram, membuat kerajinan tangan, merancang untuk menggasah kemampuan visual spasial
c.       Alat Peraga Edukatif Sentra Seni Dan Kreativitas

BAHAN AJAR PENUNJANG KONSENTRASI
SORTING BOX
1.    Kotak Pengenal Bentuk (1 Papan )
8.      Kotak Pengenal Bentuk (5 Papan )
9.      Rumah Pengenal Bentuk
MENARA SUSUN
1.    Menara Susun Segi 3
2.    Menara Susun Segi 4
3.    Menara Susun Segi 5
5.      Menara Susun Segi 6
6.      Menara Susun Silinder
SLIDING MARBLE
Sliding Marble

Tabel 5. (Alat peraga edukatif sentra seni dan kreativitas)
Gambar 5. (APE Sentra seni dan kreativas)











BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
            Perkembangan kognitif anak dipengaruhi oleh bebrapa faktor salah satunya faktor lingkungan. Seiring dengan perkembangan fisik anak, maka kemampuan kognitifnya juga akan berkembang. Mulai dari seorang anak mampu bealajar sendiri dengan pemahamannya sampai terjadinya proses interaksi dengan lingkungannya yang menambah porsi kemampuan kognitif seorang anak, sehingga dengan kata lain anak usi dini lebih banyak membangun kemampuan kognitifnya melalui interaksi dengan lingkungan dengan cara imitasi (meniru) dari apa yang ia lihat dan ia dengar.
            Perkembangan bahasa merupakan proses yang sangat kompleks, dimana bahasa anak tidak hanya lepas dari adanya komunikasi aktif antara sang anak dengan orang lain mulai dari interaksi dengan ayah ibu, teman sebaya sampai komunikasi dengan orang yang lebih dewasa. Dari komunikasi itulah anak belajar berbahasa dan memperkaya kosa kata yang dimilikinya. Perkembangan bahasa anak berjalan seiring dengan perkembangan kognitifnya, melalui proses kognitif anak mampu menyampaikan gagasannya menggunakan bahasa dan kalimat yang benar dan tepat sasaran
B.     Kritik dan Saran
Penulis sadar dalam makalah ini terdapat kesalahan, baik dari segi materi yang  hingga penulisannya. Sehingga diharapkan agar pembaca berkenan memberi masukan dalam bentuk apapun, agar makalag ini bisa menajadi sumber bacaan yang bermutu dan bermanfaat.










DAFTAR PUSTAKA

Bruner, J. (1990). Acts of Meaning. Cambridge: Havard University Press.
Cameron. (2001). Teaching Languages to Young Learners. UK: Cambridge University Press.
Chomsky, N. (1965). Aspects of the Theory of Syntax. Cambridge: MIT Press.
Ee Ah Meng. (2002). Psikologi Pendidikan 111, Penerbitan Fajar Bakti
Lilis Suryani dkk. (2008) Metode Pengembangan Perilaku dan Kemampuan Dasar Anak Usia Dini. Jakarta: Universitas Terbuka.
Masitoh dkk. (2005) Strategi Pembelajaran TK. Jakarta: 2005.
Siti Aisyah dkk. (2007) Perkembangan dan Konsep Dasar Pengembangan Anak Usia Dini. Jakarta: Universitas Terbuka.
Slamet Suyanto. (2005) Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan Dan Ketenagaan Perguruan Tinggi.

Santrok, John W. (2002). Life Span Development: Perkembangan Masa Hidup, Edisi 5 Jilid 1. Jakarta: Erlangga.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH HASIL OBSERVASI DI TEMPAT PENITIPAN ANAK (TPA) DARRUL ILMI BANDAR LAMPUNG

MAKALAH PRINSIP PERKEMBANGAN SOSIAL EMOSIONAL AUD

MAKALAH Manajemen Pendidikan Anak Usia Dini Hakekat Pendidikan Anak Usia Dini