MAKALAH SEJARAH BERDIRINYA MADRASAH
A. Madrasah
1. Sejarah dan motivasi pendirian
madrasah
Beberapa paradigma dapat digunakan dalam memandang sejarah
dan motivasi pendirian madrasah. Paling tidak ada 3 teori tentang timbulnya
madrasah:
a) Madrasah selalu dikaitkan dengan
nama nidzam al-mulk (W. 485H/1092 M), salah seorang wajir dinasti saljuk sejak
456 H/1068 M sampai dengan wafatnya, dengan usahanya membangun madrasah
nizhamiyah diberbagai kota utama daerah kekuasaan saljuk begituh dominannya
peran nidzam al-mulk adalah orang pertama yang membangun madrasah.
b) Menurut al-makrizi, ia berasumsi
bahwa madrasah pertama adalah madrasah nizhamiyah yang didirikan tahun 457 H.
c) Madrasah sudah eksis semenjak awal
islam seperti bait al-hikmah yang didirikan Al-Makmun di Bagdad abad ke-3 H.
Dari informasi diterima diatas dapat
diketahui bahwa madrasah yang pertama di Nisyapur. Namun demikian, madrasah itu
kurang dikenal mengingat motivasi pendirian madrasah itu sendiri pada waktu itu
masih bersifat ahliyah (keluarga) berdasarkan wakaf keluarga dan sejarah baru
mencatat sesuatu bila telah menjadi fenomena yang meluas.
Lahirnya lembaga pendidikan formal
dalam bentuk madrasah merupakan pengembangan dari sistem pengajaran dan
pendidikan yang pada awalnya berlangsung di mesjid-mesjid.
Disisi lain, syalabi mengemukakan
bahwa perkembangan dari masjid ke madrasah terjadi secara tidak langsung,
menurutnya madrasah sebagai konsekuensi logis dari semakin ramainya pengajian
di masjid yang fungsi utamanya adalah ibadah. Agar tidak kegiatan ibadah, dibuatlah
tempat khusus untuk belajar yang dikenal madrasah.
Dengan berdirinya madrasah, maka
pendidikan islam mesasuki periode baru. Yaitu pendidikan menjadi fungsi bagi
negara dan madrasah- madrasah dilembagakan untuk tujuan pendidikan sektarian
dan indoktrinasi politik.
Meskipun madrasah sebagai lembaga
pendidikan dan pengajaran didunia islam baru timbul sekitara abad ke-14 H, ini
bukan berarti bahwa sejak awal perkembangannya islam tidak mempunyai lembaga
pendidikan dan pengajaran. Pada awal telah berdiri madrasah yang menjadi cikal
bakal munculnya madrasah nizamiyah, madrasah tyersebut berada diwilayah Persia,
tepatnya di daerah Nisyapur, misalnya madrasah al- baihaqiyah, madrasah
sa’idiyah dan madrasah yang terdapat di Khusan.
2. Madrasah Nizhamiyah.
Madrasah nizhamiyah merupakan pertotipe awal bagi lembaga
pendidikan tinggi, ia juga dianggap sebagai tonggak baru dalam penyelenggaraan
pendidikan islam, dan merupakan karakteristik tradisi pendidikan islam sebagai
suatu lembaga pendidikan resmi dengan sistem asrama. Pemerintah atau penguasa
ikut terlibat didalam menentukan tujuan, kurikulum, tenaga pengajar, pendanaan,
sarana fisik dan lain-lain. Kendati madrasah nizhamiyah mampu melestarikan
tradisi keilmuan dan menyebarkan ajaran islam dalam persi tertentu. Tetapi
keterkaitan dengan standarisasi dan pelestarian ajaran kurang mampu menunjang
pengembangan ilmu dan penelitian yang inofatif.
3. Madrasah di Mekah dan Madinah.
Informasi tentang madrasah mendapat dukungan banyak dari
berbagai leteratur. Namun sayang para sejarawan tidak cukup tertarik berbicara
madrasan di Mekah dan Madinah. Hal ini mengakibatkan pelacakan informasi
tentang permasalahan tersebut kurang lengkap.
Lebih lanjut secara kuantitatif madrasah di Mekah lebih
banyak dibandingkan di Madinah. Diantara madrasah Abu Hanifah, Maliki, madrasah
ursufiyah, madrasah muzhafariah, sedangkan madrasah megah yang dijumpai di
Mekah adalah madrasah qoi’it bey, didirikan oleh Sultan Mamluk di Mesir.
4. Kehidupan Guru
Tinggi rendahnya penghormatan
terhadap guru pada awal abad-abad pendidikan muslim tergantung atas dua faktor,
yaitu:
1. Tempat dimana dia mengajar, di
Persia: penghormatan kepada guru merupakan suatu tradisi lama dalam pendidikan
zoroastrian, tradisi ini dilanjutkan kedalam periode islam.
2. Tingkatan dimana ia belajar.
Biasanya, penghormatan kepada guru semakin tinggi terhadap guru sekolah
menengah dan pendidikan tinggi. Guru-guru sekolah dasar kurang dihargai karena
pengetahuannya yang amat sederhana dan karena tingkat pendidikan tampaknya
sudah menjadi daya tarik.
b) Tipe-tipe guru.
Ada enam tipe guru yaitu muallim, mu’addib, mudarris,
syaikh, ustad, imam, belum lagi termasukguru pribadi dan para muaiyyid atau
asisten (guru- guru yunior). Muallim biasanya julukan bagi guru sekolah dasar,
mu’addib, arti harfiyahnya orang yang beradab atau guru adab, adalah julukan
untuk guru-guru sekolah dasar dan menengah, mudarris adalah satu julukan
propesional untuk seorang murid atau pembantu. Ia sama dengan asisten profesor
dan membantu mahasiswa menjelaskan hal-hal yang sulit mengenai kuliah yang
diberikan profesornya, syaikh atau guru besar adalah julukan khusus yang
menggambarkan keunggulan akademis atau teologis, imam adalah guru agama
tertinggi.
c) Pakaian guru
Selama pemerintahan abbasiyah para guru mengikuti gaya
Persia, mengenakan tutup kepala Persia, celana lebar, rok, rompi, dan jaket.
Semuanya ditutup dengan jubah atau aba mantel luar dan taylasan diatas surban.
dari moral yang diajarkan.
d) Pola sikap siswa terhadap guru dalam
interaksi edukatif.
1. Pola ketaatan
Ketaatan
seorang siswa terhadap gurunya membawa barokah dalam proses pencarian ilmu.
Untuk itu, maka siswa dalam interaksi dengan guru merupakan upaya mencari
ridhonya (kerelaan hatinya).
Gambaran ketaatan siswa dalam interaksinya dengan guru
dibagi 2 (dua), yaitu:
a. Ketaatan terhadap guru secara
langsung, yaitu jangan berjalan didepan guru, jika bertamu kerumah guru
hendaknya tidak mengetuk pintu, tetapi cukup menunggu diluar, dan lain-lain.
b. Ketaatan terhadap keluarga guru,
menghormati guru dan semua orang yang mempunyai ikatan keluarga dengan guru.
2. Pola kasih sayang
Menurut ibn naiskawaih, kewajiban
antara siswa terhadap guru berada diantara cinta terhadap Allah dan cinta
kepada orang tua, karena menurut Ibnu Miskawaih, guru merupakan penyebab
eksistensi hakiki kita dan penyebab kita memperoleh kebahagiaan sempurna.
3. Pola komunikasi guru dan siswa dalam
proses belajar mengejar pada pendidikan islam klasik.
Pendidikan islam pada masa ini sudah
mengenal beberapa bentuk komunikasi dalam proses belajar mengajar, yaitu:
Ø Pola satu arah
Pada pola komunikasi terjadi hanya satu arah, seorang guru
bertindak sebagai instruktur dan senantiasa mendorong siswa untuk lebih
menghapal.
Ø Pola banyak arah
Pola ini komunikasi terjadi tidak hanya antara guru dan
siswa, tetapi siswa dan guru, siswa dan siswa. Ini berlangsung dalam diskusi
dan perdebatan masalah-masalah ilmiah.
I.
Kurikulum
pendidikan islam
1.
Kurikulumpendidikan islam sebelum berdirinya madrasah.
a. Kurikulum pendidikan rendah
Sebelum berdirinya madrasah, tidak ada tingkatan dalam
pendidikan islam, tetapi hanya satu tingkat yang bermula dikuttab dan berakhir
didiskusi halaqah. Tidak ada kurikulum khusus yang diikuti oleh seluruh umat
islam, dilembaga kuttab biasanya diajarkan membaca dan menulis disamping al
qur’an, kadang diajarkan bahasa nahwu dan arudh.
Sedangkan kurikulum yang ditawarkan oleh Ibnu Sina untuk
tingkat ini adalah mengajari al-qur’an, karena anak-anak dari segi fisik dan
mental telah siap menerima pendiktean. Namun demikian, ada perbedaan antara
kuttab-kuttab yang diperuntukan bagi masyarakat umum yang ada diistana. Di
istana orang tua (para pembesar istana) adalah yang membuat rencana pelajaran
tersebut sesuai dengan anaknya dan tujuan yang dikehendaki. Rencana pelajaran
untuk pendidikan istana ialah pidato, sejarah, peperangan- peperangan, cara
bergaul dengan masyarakat disamping pengetahuan pokok, seperti al-qur’an, syair
dan bahasa.
Kurikulum pada tingkat ini bervariasi tergantung pada
tingkat kebutuhan masyarakat, karena sebuah kurikulum dibuat tidak akan pernah
lepas dari faktor sosiologis, politis, ekonomis masyarakat yang melingkupinya.
b. Kurikulum pendidikan tinggi.
Kurikulum pendidikan tinggi, berpariasi tergantung pada
syaikh yang mau mengajar para mahasiswa tidak terikat untuk mempelajari mata
pelajaran tertentu, demikian juga guru tidak mewajibkan kepada mahasiswa untuk
mengikuti kurikulum tertentu.
Kurikulum
pendidikan tingkat ini dibagi kepada dua jurusan, jurusan
ilmu-ilmu
agama dan jurusan ilmu pengetahuan.
Al-Khuwarazmi (Yusuf al-kutub, tahun 976) meringkas
kurikulum agama sebagai berikut: Ilmu Fiqih, ilmu nahwu, ilmu kalam, ilmu
kitabah (sekretaris), ilmu arudh, dan lain-lain.
Ikhwan
Al-Ahafa mengklasifikasikan ilmu-ilmu umum kepada:
1. Disiplin-disiplin umum: tulis baca,
arti baca gramatika, ilmu hitung, satra, ilmu tentang tanda dan isyarat, ilmu
sihir, jimat, kimia, sulap, dagang, dan sebagainya.
2. Ilmu-ilmu filosofis: matematika,
logika, ilmu angka- angka, geometri, astronomi, musik, aritmatika dan
hukum-hukum geometri, dan sebagainya.
c.
Kurikulum
setelah berdirinya madrasah.
Pada zaman keemasan islam, aktivitas-aktivitas kebudayaan
pendidikan islam tidak mengizinkan teologi dan dugma membatasi ilmu pengetahuan
mereka, mereka meyelidiki setip cabang ilmu pengetahuan manusia, baik
psikologi, sejarah, historiografi, hukum, sosiologi, kesustraan, etika,
filsafat, teologi, kedokteran, matematika, logika, seni, arsitektur.
Sejalan dengan perkembangan zaman
dan tingkat kebutuhan, mendirikan madrasah dianggap krusial. Pendirian lembaga
pendidikan tinggi islam ini terjadi di bawah patronase wazir Nizam Al-Mulk
(1064 M). Biasanya sebuah madrasah dibangun untuk seorang ahli fiqih yang
termasyhur dalam suatu mazhab yang empat. Umpamanya Nuruddin Mahmud bin Zanki
telah mendirikan di Damaskus dan Halab beberapa madrasah untuk mazhab Hanafi
dan Syafi’i dan telah dibangun juga sebuah madrasah untuk mazhab ini di kota
Mesir.
Berdirinya madrasah, pada satu sisi, merupakan sumbangan
islam bagi peradaban sesudahnya, tapi pada sisi lain membawa dampak yang buruk
bagi dunia pendidikan setelah hegomoni negara terlalu kuat terhadap madrasah
ini. Akibatnya kurikulum madrasah ini dibatasi hanya pada wilayah hukum (fiqih)
dan teologi. ”pemakruhan” penggunaan nalar setelah runtuhnya Mu’tazilah, ilmu-
ilmu profan yang sangat dicurigai dihapus dari kurikulum madrasah, mereka yang
punya minat besar terhadap ilmu-ilmu ini terpaksa belajar sendiri-sendiri.
Karenanya ilmu-ilmu profan banyak berkembang di lembaga nonformal.
II.
Perkembangan
Ilmu Keislaman
Pengaruh dari kebudayaan bangsa yang sudah maju, terutama
melalui gerakan terjemahan, bukan saja membawa kemajuan dibidang ilmu
pengetahuan umum. Tetapi juga ilmu pengetahuan agama. Dalam bidang tafsir,
sejak awal sudah dikenal dua metode penafsiran, pertama, tafsir bi al-ma’tsur
yaitu, interpretasi tradisional dengan mengambil interpretasi dari Nabi SAW dan
para sahabatnya. Kedua, tafsir bi al-ra’yi yaitu metode rasional yang lebih
banyak bertumpu kepada pendapat dan pikiran dari pada hadis dan pendapat sahabat.
Kedua metode ini memang berkembang pada masa pemerintahan Abbasiyah, akan
tetapi jelas sekali bahwa tafsir dengan metode bi al ra’yi (tafsir rasional),
sangat dipengaruhi oleh perkembangan pemikiranfilsafat dan ilmu pengetahuan,
hal yang sama juga terlihat dalam ilmu fiqh, dan terutama dalam ilmu teologi
perkembangan logika dikalangan umat islam sangat mempengaruhi perkembangan dua
bidang ilmu tersebut.
Imam-imam mazhab hukum yang empat hidup pada masa
pemerintahan Abbasiyah pertama. Imam Abu Hanifah (700-767 M) dalam
pendapat-pendapat hukumnya di pengaruhi ole perkembangan yang terjadi di
Kuffah, kota yang berada ditengah-tengah kebudayaan Persia yang hidup
kemasyarakatannya telah mencapai tingkat kemajuan yang lebih tinggi, karena itu
mazhab ini lebih banyak menggunakan pemikiran rasional dari pada hadis.
Muridnya dan sekaligus pelanjutnya, Abu Yusuf, menjadi Qodhi Al-Qudhal dizaman
Harun Al-Rasyid.
Berbeda dengan Abu Hanifah, imam
Malik (713-795 M) banyak menggunakan hadis dan tradisi masyarakat madmah.
Pendapat dua tokoh mazhab hukum ditengahi oleh imam Syafi’i (767-820 M) dan
imam Ahmad ibn Hambal (780- 855 M).Disamping empat pendiri mazhab besar
tersebut, pada masa pemerintahan bani Abbas banyak mujtahid mutlak lain yang
mengeluarkan pendapatnya secara bebas dan mendirikan mazhabnya pula, akan
tetapi karena pengikutnya tidak berkembang pemikiran dan mazhab itu hilang
bersama berlalunya zaman.
Aliran teologi sudah ada sejak masa
bani Umayah, seperti khawarij, murji’ah, dan mu’tazilah, akan tetapi perkembangan
pemikirannya masih terbatas. Teologi rasional mu’tazilah muncul diujung
pemerintahan bani Umayah. Namun pemikirannya yang sudah kompleks dan sempurna
baru dirumuskanpada masa pemerintahan bani Abbas periode pertama. Selain itu
dalam bidang sastra, penulisan hadis juga berkembang pesat pada masa bani
Abbas. Hal itu mungkin terutama disebabkan oleh tersedianya pasilitas dan
transportasi, sehingga memudahkan para pencari dan penulis hadis bekerja, dan
hadis merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an.
Keberadaan guru mempunyai pengaruh
yang penting dalam suatu pemerintahan, bahkan kekuasaannya mempunyai andil yang
besar dalam kekuasaan kholifah, karena guru terhimpun dalam suatu organisasi
yang mempunyai fower yang dapat mengendalikan kepentingan kholifah, khususnya
dalam hal pengangkatan dan pemberian izin untuk menjadi pengajar di masjid.
Pola
interaksi guru dan siswa pada pendidikan islam klasik
a.Pola
sikap guru terhadap siswa dalam interaksi edukatif pada pendidikan islam
klasik.
Bentuk
pola sikap guru pada pendidikan islam klasik berdasarkan pada nilai- nilai
hubungan yang ada pada pola bentuk sikap Rasulullah dan Sahabat dalam
mendakwahkan islam, yaitu pola keikhlasan, pola kekeluargaan, pola
kesederajatan dan pola uswatun hasanah.
·
Pola
keikhlasan
Pola keikhlasan mengandung makna bahwa interaksi yang
berlangsung bertujuan agar siswa dapat menguasai ilmu pengetahuan yang
diajarkan tanpa mengharap ganjaran materi dari interaksi tersebut, dan
menganggap interaksi itu berlangsung sesuai dengan panggilan jiwa dan untuk
mengabdikan diri kepada Allah SWT.
·
Pola
kekeluargaan
Pada
masa ini guru memposisikan dirinya dan siswa seperti orang tua dan anak,
artinya mereka mempunyai tanggung jawab yang penuh dalam pendidikan tersebut,
dan mencurahkan kasih sayang seperti menyayangi anak sendiri.
Pada
pola ini guru senantiasa bersikap:
ü Lemah lembut dalam proses belajar
mengajar.
ü Bijaksana dalam memberikan pujian
atau hadiah dan hukuman pada anak.
ü Guru tidak bersikap pilih kasih.
·
Pola
kesederajatan
Guru
dalam interaksinya senantiasa memunculkan sikap tawadhu terhadap siswanya, pola
interaksi seperti ini membuat guru menghargai potensi yang dimiliki anak.
Dengan demikian pola yang dimunculkan bernuansa demokratis, guru memberikan
kesempatan pada siswa untuk menyampaikan sesuatu yang belum dimengerti.
·
Pola al
uswah al hasanah
Pada
pendidikan islam klasik, interaksi yang terjadi antara guru dan siswa tidak
hanya terjadi pada proses belajar mengajar, tetapi berlangsung juga di tengah
masyarakat, dimana guru menjadi agen moral sekaligus model
Dan pada zaman bani Abbasiyah juga
ilmu tasawuf dan ilmu bahasa mengalami kemajuan, ilmu tasawuf adalah ilmu
syari’at. Inti ajarannya adalah tekun beribadah dengan menyerahkan diri
sepenuhnya kepada Allah dan meninggalkan kesenangan perhiasan dunia dan
bersembunyi diri beribadah.dalam ilmu bahasa ini didalamnya mencakup ilmu
nahwu, shorof, ma’any, bayan, badi’, arudl, dan lain-lain. Ilmu bahasa pada
daulah bani Abbasiyah berkembang dengan pesat, karena bahasa arab semakin
berkembang memerlukan ilmu bahsa yang menyeluruh.[3]
IV.
Perkembangan
Ilmu-ilmu Non Keislaman (Kedokteran, Filsafat, Astronomi, dan lain-lain), Para
Ilmuan Muslim dan Kepakarannya
a. Kedokteran
Seiring dengan ilmu-ilmu lain, ilmu
kedokteran juga sempat mencapai masa keemasannya, daulah Abbasiyah telah
melahirkan banyak dokter ternama. Sekolah-sekolah tinggi kedokteran banyak
didirikan diberbagai tempat, begitulah rumah-rumah sakit besar yang
berfungsiselain sebagai perawatan para pasien,juga sebagai ajang peraktek para
dokter dan calon dokter. Diantaranya sekolah tinggi kedokteran yang terkenal:



Adapun para dokter yang populer pada masa itu antara lain:
§ Abu Zakaria Yuhana bin Miskawaih,
seorang ahli formasi di rumah sakit Yunde
Shafur.
§ Sabur bin sahal, direktur rumah
sakit Yunde Shafur.
§ Hunain bin Ishak (194-264 H/ 810-878
M) seoranng ahli penyakit mata
§ ternama.
§ Abu Zakaria Ar-Razy kepala rumah
sakit di Bagdad dan seorang dokter ahli
§ penyakit campak dan cacar, dan dia
juga orang pertam yang menyusun buku
§ mengenai kedokteran anak.
§ Ibnu Sina (370-428 H/ 980-1037 M).
Ia seorang ilmuan yang multi dimensi,
yakni selain mengasai ilmu kedokteran, juga ilmu-ilmu lain,
seperti filsafat dan sosiologi. Ibnu Sina berhasil menemukan sistem peredaran
darah pada manusia diantara karyanya adalah Al- Qur’an fi al rhibb yang
merupakan ensiklopedi kedokteran paling besar dalam sejarah.[4]
b. Filsafat
Melalui proses penerjemahan
buku-buku filsafat yang berbahasa Yunani para ulama muslim banyak mendalami dan
mengkaji filsafat serta mengadakan perubahan serta perbaikan sesuai dengan
ajaran islam. Sebab itulah lahirla filsafat islam yang akhirnya menjadi
bintangnya dunia filsafat diantara para ahli filsafat
yang terkenal pada waktu itu adalah:
v Abu Ishak Al-Kindi (1994-260
H/809-873 M). ia adalah satu-satunya filosof berkebangsaan asli arab, yakni
dari suku kindah, karya-karyanya tidak kurang dari 236 buah buku.
v Abu Nasr Al-Faraby (390 H/961 M), Al
Farabi banyak menulis buku tentang filsafat, logika, jiwa, kenegaraan, etika,
dan interpretasi terhadap filsafat
v Aristoteles dan karyanya tak kurang
dari 12 buah buku.
v Al-Ghazali (450-505 H/1058-1101 M),
beliau dijuluki sebagai hujjatul islam, karyanya tidak kurang dari 70 buah
diantaranya:
a.
Al Munqidz
Minadlalal
b. Tahafutul Falasifah
c.
Mizanul
Amal
d. Ihyaulumuddin
e.
Mahkun
Nazar
f.
Miyazul
Ilmi, dan
g. Maqashidul Falasifah
v Ibnu Rusyd di barat lebih dikenal
dengan nama Averoes, banyak berpengaruh di barat dalam bidang filsafat,
sehingga disana terdapat aliran yang disebut averro[5]isme.
c.
Ilmu
Astronomi
Ilmu astronomi atau perbintangan
berkembang dengan baik, bahkan sampai mencapai puncaknya, kaum muslimin pada
masa bani Abbasiyah mempunyai modal yang terbesar dalam mengembanngkan ilmu
perhitungan. Mereka menggodok dan mempersatukan aliran-aliran ilmu bintang yang
berasal atau dianut oleh Yunani, Persia, India, Kaldan. Dan ilmu falak arab
jahiliyah. Ilmu bintang memegang peranan penting dalam menentukan garis politik
para khalifah dan amir.
Diantara para ahli ilmu astronomi pada masa ini adalah:
§ Al-battani atau Albatagnius, seorang
ahli astronomi yang terkenal dimasanya.
§ Al-Fazzari, seorang pencipta
atrolobe, yakni alat pengukur tinggi dan jarak bintang.
§ Abul Wafak, seorang menemukan jalan
ketiga dari bulan, jalan kesatu dan kedua telah ditemukan oleh ilmuan yang
berkebangsaan Yunani.
§ Rahyan Al Bairuny, seorang
astronomi.
§ Abu Mansyur Al Falaky, seorang ahli
ilmu falaq.
Untuk mendukung perkembangan ilmu ini, para khalifah telah
banyak membangun observatorium diberbagai kota, disamping observatorium milik
pribadi ilmuan.
d. Ilmu Matematika
Bidang ilmu matematika juga mengalami kemajuan pesat,
diantara para
tokohnya
yaitu:
¨ Umar Al Farukhan, seorang insinyur
dan arsitek kota Bagdad.
¨ Al-Khawarizmi, seorang pakar
matematika muslim yang mengarang buku Al- Gebra (Al-jabar). Dan dia juga yang
menemukan angka nol.
¨ Ilmu Farmasi dan Kimia
Pakar ilmu farmasi dan kimia pada
masa dinasti Abbasiyah sebenarnya sangat banyak, tetapi yang paling terkenal
adalah ibnu Baithar. Ia adalah seorang ilmuan farmasi yang produktif menulis,
karyanya adalah Almughni (memuat tentang obat-obatan) dan lain-lain.
VI. KESIMPULAN
Pendidikan Islam mencapai puncak kejayaan pada masa dinasti
Abbasiyah, yaitu pada masa pemerintahan Harun al Rasyid. Pendidikan pada masa
ini memiliki tujuan keagamaan dan ahlak, tujuan kemasyarakatan, cinta ilmu
pengetahuan dan tujuan kebendaan.
Kehidupan murid pada pendidikan tingkat dasar memiliki
ciri-ciri yaitu diharuskannya belajar membaca dan menulis, diajarkan membaca
dan menghafalkan al Qur`an, serta hubungan yang baik antara guru dan murid
layaknya orang tua dan anak. Pada pendidikan tingkat tinggi kehidupan murid
berbeda karena mereka diberi kebebasan untuk memilih guru yang mereka kehendaki
dan diberi kebebasan untuk berpindah dari guru yang satu ke guru yang lain
apabila guru itu dianggap lebih baik.
Pada masa itu berkembang sistem rikhlah ilmiah, yaitu
pengembaraan dan perjalanan jauh yang dilakukan oleh guru dan pelajar sehingga
dinamika sosial dan peradaban Islam terus berkembang. Juga dikenal lembaga
wakaf yang bertujuan untuk kemaslahatan dan kesejahteraan umat Islam terutama
dalam bidang pendidikan.
Pada masa kejayaan ini ditandai dengan berkembangnya
berbagai lembaga pendidikan, baik formal yaitu berupa madrasah (sekolah) dan
nonformal yang berupa kutab, pendidikan di istana, toko-toko buku, rumah-rumah
ulama, majelis kesusasteraan, badiah, rumah sakit, perpustakan, dan ribath.
Selain itu juga berkembang ilmu pengetahuan sebagai mercusuar bagi pendidikan
Islam di masa yang akan datang.
Masa kejayaan pendidikan Islam berakhir setelah jatuhnya
kota Baghdad oleh Tar-Tar (Holako) dan sebagai masa memudarnya kebudayaan
Islam.
DAFTAR PUSTAKA
1. Nata, Abuddin, Sejarah Pendidikan Islam,
Jakarta: PT. Raja Grafika Persada, 2004
2. Ahmad, Tafsir Ilmu Pendidikan dalam Perspektif
Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000
3. Mahrus As’ad, Sejarah Kebudayaan Islam,
Bandung: Amico, 1994
4. Yatim Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2002
5. Djazimi, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, Serang:
IAIN ”SMH” Banten, 2001
6. Langgulung Hasan, Asas-asas Pendidikan Islam,
Jakarta: Alhusna Zikra, 2000
[2] Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual
Barat, (Surabaya: Risalah Gusti, 2003), h.76-77
[5]
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam
Persepektif islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya 2000), h. 26-27
Komentar
Posting Komentar