Dimensi Manusia
AL-RUH MANUSIA DALAM AL-QUR’AN
I. PENDAHULUAN
Manusia
terdiri dari ruh dan jasad, karenanya Allah Swt menundukkan keduanya secara
keseluruhan, baik ketika di mahsyar, diberi pahala maupun disiksa. Ruh adalah
makhluk. Beberapa hadits mengidentifikasikan bahwa ruh adalah materi yang
lembut. Bagi sementara pihak yang berkata bahwa ruh adalah qadim, merupakan
kekeliruan besar.
Ahli hakikat
dari kalangan ahli sunnah berbeda pandangan soal ruh. Ada yang berpendapat, ruh
adalah kehidupan, yang lain berpandangan ruh adalah kenyataan yang ada dalam
hati, yang bernuansa lembut. Allah Swt menjalankan kebiasaan makhluk dengan
mencipta kehidupan dalam hati, sepanjang arwahnya menempel di badan. Manusia
hidup dengan sifat kehidupan, tetapi arwah selalu di cetak di dalam hati dan
bisa naik ketika tidur dan terpisah dengan badan, kemudian kembali kepada-Nya.[1]
II. PEMBAHASA
1. An-Nafs
Pengertian Al-nafs menurut Al
Qur`an, dapat disimpulkan dengan satu pernyataan bahwa nafs adalah makhluk yang
memiliki eksistensi, sifat dan karakteristik khusus. Oleh karena itu, dalam
pengertian ini dapat mengalami kematian dan kebinasaan sebagaiman makhluk
-makhluk lainnya.
Nafs dalam arti jiwa telah di
bicarakan para ahli sejak kurun waktu yang sangat lama. Dalam persoalan nafs telah di bahas dalam kajian filsafat,
psikologi dan juga ilmu tasawuf sendiri. Dalam filsafat,jiwa di anggap
merupakan subtansi materi, sehingga manusia di pandang memiliki jiwa dan raga,
jiwa merupakan suatu kemampuan, yakni semacam pelaku atau pengaruh dalam
kegiatan -kegiatan, jiwa semata -mata sebagai sejenis proses yang tampak pada
organisme -organisme hidup, jiwa senada dengan tingkah laku. Dalam psikologi,
jiwa di hubungkan dengan tingkah laku, psikologi mengkaji perbuatan -perbuatan
yang di pandang sebagai gejala -gejala jiwa. Teori -teori psikologi baik
psikoanalisa, behaviorisme maupun humanisme memandang jiwa sebagai suatu yang
berada di belakang tingkah laku. Dalam tasawuf ,nafs diartikan sesuatu yang
melahirkan sifat tercela, al -Ghozali (W. 1111 M) misalnya, menyebut nafs
sebagai pusat potensi marah dan syahwat pada manusia.
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia,
nafs ( nafsu ) juga di fahami sebagai dorongan hati yang kuat untuk berbuat
kurang baik, padahal dalam al -Qur`an,nafs tidak selalu berkonotasi negative.
Nafs dalam konteks manusia menunjukkan kepada sisi dalam manusia yang
berpotensi baik dan buruk. Selain itu juga tentang hakikat menusia atau
sekurang -kurangnya tentang sifat -sifat yang secara alami melekat pada
manusia, atau hokum -hokum yang berlaku pada kejiwaan manusia. Menurut sastra
arab kuno menggunakan kata nafs untuk menyebut diri,seseorang sementara kata
roh digunakan untuk menyebut nafas dan angina. Pada masa awal turunnya al-
Qur`an, kata nafs digunakan untuk menyebut jiwa atau sisi dalam manusia,
sementara roh digunakan untuk menyebut malaikat jibril atau anugrah ketuhanan
yang istimewa. Baru periode setelah al -Qur`an secara keseluruhan memasyarakat
di dunia islam, nafs digunakan oleh literature arab untuk menyebut jiwa dan roh
secara silang dan keduanya digunakan untuk menyebut rohani, malaikat dan jin.
Bahasa arab juga menggunakan istilah nafsiyun (ﻨﻔﺴﻲ) dan nafsaniyun (ﻨﻔﺴﺍ ﻨﺴﻲ)
untuk menyebut hal -hal yang berhubungan dengan nafs.
2. Al-Qolbu
Qalbu merupakan salah satu
istilah–berasal dari bahasa Arab yang sudah diadaptasi (dipinjam) oleh bahasa
Indonesia –dan dieja menjadi kalbu dan digunakan dalam arti hati atau hati
nurani. Padahal makna generiknya adalah: membalik (yang berada di atas menjadi
di bawah; yang di kanan menjadi di kiri; yang nyata menjadi tidak nyata);
berpaling; berubah; marah; inti, esensi dan jantung (Anis, II, 1970: 753 dan
Wehr, 1980: 784). Qalbu memang menjadi salah satu ukuran kualitas manusia.
Karena itu, kita sering mendengar ungkapan: berhati emas, berhati baja, berhati
iblis, berhati mulia. Sifat-sifat manusia, yang baik maupun yang buruk, juga
sering dilukiskan dengan menggunakan idiom hati, seperti: iri hati, panas hati,
gelap hati, besar hati, kelembutan hati, jatuh hati, kecil hati, dan
sebagainya.
Qalbu merupakan salah satu karunia
Allah Swt. yang sifat dan fungsinya luar biasa besar dalam kehidupan manusia,
sehingga tidak jarang kita menemui ungkapan: "Dalamnya laut dapat diduga;
dalamnya hati siapa tahu". "Hatiku tidak dapat dibohongi."
"Hati adalah pangkal pahala dan dosa," kata Ebied G. Ade. Dalam
al-Qur'an Qalb disebut sebagai alat
untuk memahami realitas dan nilai-nilai
(QS. al-Hajj [22]: 46). Qalb hanya menampung hal-hal yang disadari, dan
keputusan yang diambil oleh qalb berimplikasi pahala dan dosa (Mubarok, 2001:
6). Oleh karena itu, Allah pada hari kiamat tidak akan melihat rupa dan fisik
kita, tetapi yang dilihat (dan dinilai) oleh-Nya adalah hati dan amal perbuatan
kita (HR. Muslim)
3. Ar-Ruh
Ruh dalam bahasa Arab digunakan
untuk menyebut jiwa, nyawa, nafas, wahyu, malaikat, perintah dan rahmat. Jika
kata ruhani dalam bahasa Indonesia digunakan untuk menyebut lawan dari dimensi
jasmani, maka dalam bahasa Arab kataruhaniyyun digunakan untuk menyebut semua
jenis makhluk halus yang tidak berjasad, seperti: malaikat dan jin (Mubarok,
2001:10). Al-Qur'an, antara lain, menggunakan kata ruh untuk menunjukkan makna
nyawa menyebabkan seseorang masih tetap hidup (QS. al-Isra' [17]: 85), malaikat
(QS. al-Syu'ara' [26]: 193), rahmat Allah (QS. al-Mujadalah [58]: 22) dan
al-Qur'an (QS. al-Syura [42]: 52). Mengenai ruh manusia, meski disebutkan ada proses peniupan ruh ke dalam tubuh
manusia (QS. al-Shaffat [37]: 7-9), tetapi dari ayat itu juga dapat dipahami
bahwa ruh itu semacam sinergi dari elemen-elemen sistem organ tubuh. Artinya
ketika organ-organ tubuh manusia semuanya berfungsi maka ruh hadir, dan ketika
tidak berfungsi, ruh menghilang, sehingga kehadiran ruh dapat dipahami sebagai
sunnatullah (hukum Allah) yang dapat dirumuskan dengan: jika x maka y.
4. Al-Aql
Kata akal berasal dari kata dalam
bahasa Arab, al-‘aql. Kata al-‘aql adalah mashdar dari kata ‘aqola -ya’qilu -‘aqlan
yang maknanya adalah “ fahima wa tadabbaro “ yang artinya “paham (tahu,
mengerti) dan memikirkan (menimbang) “. Maka al-‘aql, sebagai mashdarnya,
maknanya adalah “ kemampuan memahami dan memikirkan sesuatu “. Sesuatu itu bisa
ungkapan, penjelasan, fenomena, dan lain-lain, semua yang ditangkap oleh panca
indra.
Letak akal
Dikatakan di dalam Al-Qur’an surat
Al-Hajj (22) ayat 46, yang artinya,” Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi
lalu ada bagi mereka al-qolb (yang dengan al-qolb itu) mereka memahami (dan
memikirkan) dengannya atau ada bagi mereka telinga (yang dengan telinga itu)
mereka mendengarkan dengannya, maka sesungguhnya tidak buta mata mereka tapi
al-qolb (mereka) yang di dalam dada.” Dari ayat ini maka kita tahu bahwa
al-’aql itu ada di dalam al-qolb, karena, seperti yang dikatakan dalam ayat
tersebut, memahami dan memikirkan (ya’qilu) itu dengan al-qolb dan kerja
memahami dan memikirkan itu dilakukan oleh al-‘aql maka tentu al-‘aql ada di
dalam al-qolb, dan al-qolb ada di dalam dada. Yang dimaksud dengan al-qolb
tentu adalah jantung, bukan hati dalam arti yang sebenarnya karena ia tidak
berada di dalam dada, dan hati dalam arti yang sebenarnya padanan katanya dalam
bahasa Arab adalah al-kabd.
5. Al-Fitrah
Dalam Alqur’an, kata fitrah berasal
dari kata fathara. Fitrah mengandung arti “yang mula-mula diciptakan Allah”,
“keadaan yang mula-mula”, “yang asal”, atau “yang awal”. Jika melihat firman
Allah dalam surat al-An’am ayat 79, sebuah surat yang sangat dikenal karena
sering dilafadzkan dalam pembukaan shalat, sebelum membaca al-Fatihah, yang
bunyinya adalah sebagai berikut:
Sesungguhnya Aku menghadapkan diriku
kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama
yang benar, dan Aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.
(Q.S. al An’am [6]: 79).
Kata fitrah dalam konteks ayat ini
(fathara) dikaitkan dengan pengertian hanif, yang jika diterjemahkan secara
bebas menjadi “cenderung kepada agama yang benar”. Dari pengertian tersebut,
timbul suatu teori, bahwa agama umat manusia yang paling asli adalah menyembah
kepada Allah. Dan disinilah sejatinya letak fitrah manusia. Disebutkan dalam
Alqur’an surat al-A’raf ayat 172, bahwa fitrah manusia ditandai dengan
perjanjian manusia dengan Allah segera setelah manusia diciptakan:
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu
mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari rahim mereka dan Allah mengambil
kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku Ini Tuhanmu?”
mereka menjawab: “Benar (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan
yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami
(Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan). (Q.S.
al-A’raf [7] 172).
Memang, tidak selamanya manusia
tetap dalam ikatan perjanjian dengan Allah sebagaimana tergambar dalam surat
al-A’raf itu. Manusia juga memiliki potensi negatif, sebagaimana firman Allah
SWT: Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya
(Q.S. Asy Syams [91]: 8). Seiring perkembangan usia dan pergaulannya, manusia
hampir selalu menodai perjanjian itu atau bahkan memutuskannya. Pada kondisi
seperti inilah manusia sebenarnya telah jauh dari ajaran-ajaran agama, karena
lebih memberati dorongan nafsu, dorongan-dorongan untuk melakukan kejelekan dan
kemaksiatan. Manusia lupa akan fitrahnya, lupa akan asal mulanya, lupa dengan
janjinya kepada Allah.
6. As-Shodru
As-Shodru secara bahasa artinya
dada, as-shodru merupakan salah satu lapisan hati yang berisi nafsu amarah dan
nafsu syahwat.
Orang disebut kafaru (kafir) apabila
ia menutup Qolbunya dengan hawa nafsu, sehingga cahaya Iman-nya tidak
keluar. Itulah yang disebut dalam Surat
Al Baqarah ayat 7 : Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka,
serta penglihatan mereka ditutup. Dan
bagi mereka siksa yang amat berat.
Ada sekat yang menutupi, sehingga
Iman-nya tidak bisa berperan. Padahal
asal-mulanya, sebelum manusia itu lahir ke dunia, ketika masih di alam
arwah imannya berperan. Karena perjalanan waktu maka Ash Shodru-nya ditutup dengan hawa
nafsu, syahwat dan pikiran-pikiran yang menentang AlQur’an, menentang Islam, menentang
Allah subhanahu wata’ala serta menentang Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi
wasallam. Sehingga mereka disebut kafaru
(kafir).
7. Al-fuad
Al-Fu'ad adalah bagian dari pada
hati yang berkaitan dengan ma'rifat. Al-fu'ad adalah tempat melihat dan bagian
hati adalah pengetahuan jika pengetahuan dan ru’yah disatukan, sesuatu yang
tidak dapat terlihat dapat diketahui dan seseorang hamba menjadi yakin.
Al-Fu'ad merupakan tempat ma'rifat dan rahasia-rahasia, alat penglihat batin
setiap kali seseorang mendapat sesuatu yang bermanfaat, maka yang pertama kali
merasakan manfaat adalah fu'ad, lalu Qalb. Al-fu'ad terletak ditengah-tengah
Qalb, sedangkan Qalb berada di tengah-tengah Shadr.
Al-fu'ad merupakan potensi Qalb yang
berkaitan dengan indrawi, mengolah informasi yang sering dilambangkan berada
dalam otak manusia. fu'ad mempunyai tanggung jawab intelektual yang jujur
kepada apa yang dilihatnya. Potensi ini cenderung dan selalu merujuk pada
objektivitas, kejujuran dan jauh dari berbohong. Qalb diberikan potensi pikir,
yaitu hati dalam bentuk fu'ad. Kemampuan untuk mengolah, memilih, dan
memutuskan segala informasi ruang akal, berpikir, bertafakkur, memilih dan
mengolah data yang masuk dalam qalb manusia. Sehingga lahirlah ilmu pengetahuan
yang bermuatan moral Al-Fu'ad yang ada dalam al-Qur'an merupakan simbol dalam
penyebutan arti al-fu'ad adalah al Qalb karena bisa mengebu-mengebu dan
menyala-menyala al fu'ad dimiliki oleh manusia dan hewan yang memiliki Qalb dan
pula yang mengatakan al-fu'ad ditengah-tengah Qalb. Selain itu juga ada yang
menyatakan kata al-fu'ad: penutup Qalb atau kulit Qalb. Jika fuad adalah
isi/biji maka Qalb adalah bungkusan paling luar/kulitnya.
SUMBER
Jaelani, A.F. 1997. Penyucian Jiwa
(Tazkiyatun Al-Qur’an- nafs). Jakarta: Amzah.
________2002. Ensiklopedi Islam
(kal-nah). Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve.
Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakir.
2002, Nuansa-Nuansa Psikologi Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
www.alsofwah.or.id
III. KESIMPULAN
Al-ruh
merupakan dimensi jiwa manusia yang sifatnya spiritual dan potensi yang berasal
dari Tuhan. Dimensi ini menyebabkan manusia memiliki sifat Ilahiyah (sifat
ketuhanan) dan mendorong manusia untuk mewujudkan sifat Tuhan itu dalam
kehidupannya di dunia. Di sinilah fungsinya sebagai khalifah dapat
teraktualisasikan. Dengan ini, maka manusia menjadi makhluk yang semi
samawi-ardi, yaitu makhluk yang memiliki unsur-unsur alam dan potensi-potensi
ketuhanan.
DAFTAR PUSTAKA
Imam
al-Qusyairy an-Naisabury, Risalatul Qusyairiyah Induk Ilmu Tasawuf, Risalah
Gusti, Surabaya, 2000.
Baharuddin,
Paradigma Psikologi Islam Studi tentang Elemen Psikologi dari al-Qur’an,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004.
Komentar
Posting Komentar