Makalah kekerasan anak dalam dunia pendidikan e-mas Galih
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di Indonesia salah
satu masalah besar yang marak diperbincangkan adalah tindak kriminal terhadap
anak. Mulai dari kekerasan, pembunuhan, penganiayaan dan bentuk tindakan
kriminal lainnya yang berpengaruh negatif bagi kejiwaan anak. Hal ini terjadi
karena banyak
orang tua menganggap kekerasan pada anak adalah hal yang wajar. Mereka
beranggapan kekerasan adalah bagian dari mendisiplinkan anak. Mereka lupa bahwa
orang tua adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam mengupayakan
kesejahteraan, perlindungan, peningkatan kelangsungan hidup, dan mengoptimalkan
tumbuh kembang anaknya. Kekerasan terhadap anak dapat diartikan sebagai
perilaku yang sengaja maupun tidak sengaja
yang ditujukan untuk mencederai atau merusak anak, baik berupa serangan
fisik maupun mental.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan gambaran
latar belakang diatas, maka rumusan makalah ini adalah:
1. Apa
itu kekerasan pada anak ?
2. Bagaimana
proses terjadinya kekerasan dan dampaknya ?
3. Apa
dan siapa saja yang terlibat dalam tindak kekerasan ini ?
C.
Tujuan
Penulisan Makalah
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:
1.
Mememnuhi tugas mata
kuliyah Pemberdayaan Masyarakat dalam Penyelenggaraan PAUD.
2.
Mengetahui
bentuk-bentuk kekerasan pada anak
3.
Mengetahu proses
terjadinya tindak kekerasan
4.
Mengetahui siapa saja
yang terlibat dalam menanggulangi masalah kekerasan pada anak usia dini.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Kekerasan Terhadap Anak
Kekerasan terhadap anak adalah segalah tindakan baik
yang disengaja maupun tidak disengaja yang dapat merusak anak baik berupa serangan fisik, mental sosial,
ekonomi maupun seksual yang melanggar hak asasi manusia, bertentangan dengan
nilai-nilai dan norma-norma dalam masyarakat. Pengetian kekerasan menurut beberapa
ahli yaitu:
1. Menurut
Sutanto, kekerasan anak adalah perlakuan orang dewasa atau anak yang lebih tua
dengan menggunakan kekuasaan/otoritasnya terhadap anak yang tak berdaya yang
seharusnya menjadi tanggung jawab dari orang tua atau pengasuh yang berakibat
penderitaan, kesengsaraan, cacat/kematian.
2. Menurut Patilima, kekerasan merupakan perlakuan yang
salah dari orang tua. Patilima mendefinisikan perlakuan yang salah pada anak
adalah segala perlakuan terhadap anak yang akibat dari kekerasannya mengancam kesejahteraan
dan tumbuh kembang anak, baik secara fisik, psikologi sosial maupun mental
Kekerasan pada anak dalam arti kekerasan dan penelantaran adalah ‘Semua bentuk
perlakuan menyakitkan baik secara fisik maupun emosional, pelecehan seksual,
penelantaran, eksploitasi komersial/eksploitasi lain yang mengakibatkan cedera
atau kerugian nyata maupun potensial terhadap kesehatan anak, kelangsungan hidup
anak, tumbuh kembang anak atau martabat anak yang dilakukan dalam konteks
hubungan tanggung jawab kepercayaan atau kekuasaan.
3.
Menurut WHO kekerasan
adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap
diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang
mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma, kematian,
kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak.
B.
Faktor-
Faktor Yang Mendorong Timbulnya
Kekerasan Terhadap Anak
Beberapa
faktor pemicu kekerasan terhadap
anak menurut Komnas Perlindungan Anak, pemicu kekerasan terhadap anak yang
terjadi diantaranya:
1. Pewarisan
Kekerasan Antar Generasi (inter generational
transmission of violance)
Banyak
anak belajar perilaku kekerasan dari orang tuanya dan ketika tumbuh menjadi dewasa
mereka melakukan tindakan kekerasan kepada anaknya. Dengan demikian, perilaku
kekerasan diwarisi (transmitted)
dari generasi ke generasi.
2.
Stres Sosial (social stress)
Stres
yang ditimbulkan oleh berbagai kondisi sosial meningkatkan resiko kekerasan terhadap
anak dalam keluarga. Kondisi-kondisi sosial ini mencakup: pengangguran (unemployment), penyakit (illness), kondisi perumahan buruk (poor housing conditions), ukuran
keluarga besar dari rata-rata (a
larger than average family size), kelahiran bayi baru (the presence of a new baby), orang
cacat (disabled person) di
rumah, dan kematian (the death) seorang
anggota keluarga. Sebagian besar kasus dilaporkan tentang tindakan kekerasan
terhadap anak berasal dari keluarga yang hidup dalam kemiskinan. Tindakan
kekerasan terhadap anak juga terjadi dalam keluarga kelas menengah dan kaya,
tetapi tindakan yang dilaporkan lebih banyak di antara keluarga miskin karena
beberapa alasan.
3.
Isolasi Sosial dan
Keterlibatan Masyarakat Bawah
Orangtua
dan pengganti orangtua yang melakukan tindakan kekerasan terhadap anak.
4.
Struktur Keluarga
Tipe-tipe
keluarga tertentu memiliki risiko yang meningkat untuk melakukan tindakan
cenderung terisolasi secara sosial. Sedikit sekali orang tua yang bertindak
keras ikut serta dalam suatu organisasi masyarakat dan kebanyakan mempunyai
hubungan yang sedikit dengan teman atau kerabat. kekerasan dan pengabaian
kepada anak. Misalnya, orang tua tunggal lebih memungkinkan melakukan tindakan
kekerasan terhadap anak dibandingkan dengan orang tua utuh. Selain itu,
keluarga-keluarga di mana baik suami atau istri mendominasi di dalam membuat
keputusan penting, seperti: di mana bertempat tinggal, pekerjaan apa yang mau
diambil, bilamana mempunyai anak, dan beberapa keputusan lainnya, mempunyai
tingkat kekerasan terhadap anak yang lebih tinggi dibandingkan dengan
keluarga-keluarga yang suami-istri sama-sama bertanggung jawab atas
keputusan-keputusan tersebut.
C.
Bentuk-
Bentuk Kekerasan Terhadap Anak
1.
Kekerasan Secara Fisik (Physical Abuse)
Kekerasan
fisik (Physical abuse) adalah penyiksaan, pemukulan, dan
penganiayaan terhadap anak, dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu,
yang menimbulkan luka-luka fisik atau kematian pada anak. Bentuk luka dapat
berupa lecet atau memar akibat persentuhan atau kekerasan benda tumpul, seperti
bekas gigitan, cubitan, ikat pinggang, atau rotan. Dapat pula berupa luka bakar
akibat bensin panas atau berpola akibat sundutan rokok atau setrika. Lokasi
luka biasanya ditemukan pada daerah paha, lengan, mulut, pipi, dada, perut,
punggung atau daerah bokong. Terjadinya kekerasan terhadap anak secara fisik umumnya
dipicu oleh tingkah laku anak yang tidak disukai orang tuanya, seperti anak nakal
atau rewel, menangis terus, minta jajan, buang air atau muntah di sembarang tempat,
memecahkan barang berharga.
2.
Kekerasan Emosional (emotional abuse)
Emotional
abuse terjadi
ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak setelah mengetahui anaknya meminta
perhatian, mengabaikan anak itu. Ia membiarkan anak basah atau lapar karena ibu
terlalu sibuk atau tidak ingin diganggu pada waktu itu. Ia boleh jadi
mengabaikan kebutuhan anak untuk dipeluk atau dilindungi. Anak akan mengingat
semua kekerasan emosional jika kekerasan emosional itu berlangsung konsisten.
Orang tua yang secara emosional berlaku keji pada anaknya akan terus menerus melakukan
hal sama sepanjang kehidupan anak itu.
3.
Kekerasan secara Verbal
(verbal abuse)
Biasanya berupa perilaku verbal
dimana pelaku melakukan pola komunikasi yang berisi penghinaan, ataupun
kata-kata yang melecehkan anak. Pelaku biasanya melakukan tindakan mental abuse, menyalahkan, melabeli,
atau juga mengkambinghitamkan.
4.
Kekerasan Seksual (sexual abuse)
Sexual abuse meliputi
pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam
lingkup rumah tangga tersebut (seperti istri, anak dan pekerja rumah tangga).
Selanjutnya dijelaskan bahwa sexual
abuse adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual,
pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan atau tidak disukai,
pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersil dan atau
tujuan tertentu.
5.
Kekerasan Anak Secara
Sosial
Kekerasan
secara sosial dapat mencakup penelantaran anak dan eksploitasi anak.
Penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orangtua yang tidak memberikan
perhatian yang layak terhadap proses tumbuh-kembang anak. Misalnya anak
dikucilkan, diasingkan dari keluarga, atau tidak diberikan pendidikan dan
perawatan kesehatan yang layak. Eksploitasi anak menunjuk pada sikap
diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang dilakukan keluarga
atau masyarakat. Sebagai contoh, memaksa anak untuk melakukan sesuatu demi
kepentingan ekonomi, sosial, atau politik tanpa memperhatikan hak-hak anak
untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan perkembangan fisik, psikisnya dan
status sosialnya. Misalnya, anak dipaksa untuk bekerja di pabrik-pabrik yang
membahayakan (pertambangan, sektor alas kaki) dengan upah rendah dan tanpa
peralatan yang memadai, anak dipaksa untuk angkat senjata, atau dipaksa
melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga melebihi batas kemampuannya.[1]
D.
Perlibatan
Orang Tua Dan Masyarakat Dalam Permasalahan Kekerasan Pada Anak
Di
samping dari aspek hukum, upaya untuk mereduksi meningkatnya jumlah kekerasan
terhadap anak di Indonesia dapat dilakukan oleh orang tua, guru sebagai pendidik,
masyarakat dan pemerintah, yaitu:
1.
Orang Tua
Para orang tua seharusnya lebih memperhatikan kehidupan anaknya. Orang tua
dituntut kecakapannya dalam mendidik dan menyayangi anak-anaknya. Jangan
membiarkan anak hidup dalam kekangan, mental maupun fisik. Sikap memarahi anak
habis-habisan, apalagi tindakan kekerasan (pemukulan dan penyiksaan fisik)
tidaklah arif, karena hal itu hanya akan menyebabkan anak merasa tidak
diperhatikan, tidak disayangi. Akhirnya anak merasa trauma, bahkan putus asa.
Penting disadari orang tua bahwa anak dilahirkan ke dunia ini dilekati dengan
berbagai hak yang layak didapatkannya. Seorang anak memiliki hak untuk
mendapatkan pengasuhan yang baik, kasih sayang, dan perhatian. Anak pun
memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan yang baik di keluarga maupun di
sekolah, juga nafkah (berupa pangan, sandang dan papan). Bagaimanapun
keadaannya, tidak wajib seorang anak menafkahi dirinya sendiri, sehingga ia
harus kehilangan banyak hak-haknya sebagai anak karena harus membanting tulang
untuk menghidupi diri (atau bahkan keluarganya).
Dalam kasus child
abuse, siklus kekerasan dapat berkembang dalam keluarga. Individu yang
mengalami kekerasan dari orang tuanya dulu, memiliki kecenderungan signifikan
untuk melakukan hal yang sama pada anak mereka nanti. Tingkah laku agresi
dipelajari melalui pengamatan dan imitasi, yang secara perlahan terintegrasi
dalam sistem kepribadian orang tua. Oleh karena itu penting bagi orang tua
untuk menyadari sepenuhnya bahwa perilaku mereka merupakan model rujukan bagi
anak-anaknya, sehingga mereka mampu menghindari perilaku yang kurang baik.
Peran keluarga terutama orang tua di sini sangatlah penting. Perlindungan
dan kasih sayang seharusnya semakin ditingkatkan. Perekonomian yang sulit
jangan menjadikan anak sebagai bahan eksploitasi untuk mencari uang. Masa anak
masih dalam tahap belajar dan bermain serta mengenal lingkungan. Hal tersebut
adalah bekal mereka untuk mengahadapi kehidupan yang selanjutnya ketika mereka
beranjak dewasa kelak. Pendidikan juga sangat wajib bagi anak, anak adalah
tunas bangsa yang harus lebih diperhatikan kembali. Orang tua juga wajib dalam
mengawasi lingkungan anak agar tidak menjadi korban kekerasan orang-orang yang
tidak bertanggung jawab.
2. Guru
Peran
seorang guru dituntut untuk menyadari bahwa pendidikan di negara kita bukan saja
untuk membuat anak pandai dan pintar, tetapi harus juga dapat melatih mental
anak didiknya. Peran guru dalam memahami kondisi siswa sangat diperlukan. Sikap
arif, bijaksana, dan toleransi sangat diperlukan. Idealnya seorang guru
mengenal betul pribadi peserta didik, termasuk status sosial orang tua murid
sehingga ia dapat bertindak dan bersikap bijak.
3. Masyarakat
Anak-anak kita ini selain
bersentuhan dengan orang tua dan guru, mereka pun tidak bisa lepas dari
berbagai persinggungan dengan lingkungan masyarakat di mana dia berada. Untuk
itu diperlukan kesadaran dan kerjasama dari berbagai elemen di masyarakat untuk
turut memberikan nuansa pendidikan positif bagi anak-anak. Salah satu elemen
tersebut adalah pihak pengelola stasiun TV. Banyak riset menyimpulkan bahwa pengaruh media (terutama TV) terhadap
perilaku anak (sebagai salah satu penikmat acara TV) cukup besar. Berbagai
tayangan kriminal di berbagai stasiun TV, tanpa kita sadari telah menampilkan
potret-potret kekerasan yang tentu akan berpengaruh pada pembentuk mental dan
pribadi anak. Penyelenggara siaran TV bertanggungjawab untuk mendesain acaranya
dengan acara yang banyak mengandung unsur edukasi yang positif.
4. Pemerintah
Pemerintah adalah pihak yang
bertanggung jawab penuh terhadap kemaslahatan rakyatnya, termasuk dalam hal ini
adalah menjamin masa depan bagi anak-anak kita sebagai generasi penerus.
Pemerintah harus memberikan ketegasan pada masyarakat mengenai Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, bila perlu memberikan
sosialisasi bahwa ada Undang-Undang bertujuan dalam perlindungan anak serta
dijelaskan juga sanksi terhadap yang melanggar Undang-Undang tersebut.
Pemerintah juga harus memberikan fasilitas pelatihan dan pembelajaran anak.
Maka pemerintah harus siap menampung anak-anak yang terlantar sesuai dengan
bunyi UUD 1945 pasal 34 ayat 1, “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara
oleh negara”.
Selain itu
sangatlah perlu dilakukan peningkatan pemberdayaan badan pemerintah seperti
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). KPAI merupakan lembaga independen
yang kedudukannya sejajar dengan komisi negara lainnya. KPAI dibentuk pada 21
Juni 2004 dengan Keppres No. 95/M Tahun 2004 berdasarkan amanat Keppres 77/2003
dan pasal 74 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002. Dalam keputusan Presiden
tersebut, dinyatakan bahwa KPAI bertujuan untuk meningkatkan efektifitas
penyelenggaraan perlindungan anak. KPAI diharapkan mampu secara aktif
memperjuangkan kepentingan anak. KPAI bertugas melakukan sosialisasi mengenai
seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan
masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap
penyelenggaraan kepentingan anak. Selain itu KPAI juga dituntut untuk
memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam
rangka perlindungan anak.
Menurut ketentuan undang-undang
No.23 Tahun 2002 tentang perlindungan Anak pasal 64 (3) dan Undang-Undang No.
11 Tahun 2012 pasal 90 mengatur, anak sebagai korban berhak mendapatkan
rehabilitasi dari lembaga maupun di luar lembaga. Kemudian di atur pula ke
dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
bahwa korban tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum baik medis,
rehabilitasi psiko-sosial. Menurut pasal 1 nomor 2 , Undang-undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan anak disebutkan bahwa:
“Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk
menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi”.
Selanjutnya,
dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak yang pada
prinsipnya mengatur mengenai perlindungan hak-hak anak. Dalam Undang-undang
Nomor 4 tahun 1979, tentang Kesejahteraan Anak, pada prinsipnya diatur mengenai
upaya-upaya untuk mencapai kesejahteraan anak. Dan, yang terakhir Undang-undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang pada prinsipnya
mengatur mengenai perlindungan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana dalam
konteks peradilan anak.
Implementasi
perlindungan hukum bagi anak sebagai korban ternyata belum maksimal sebagaimana
yang diberikan oleh undang-undang. Walaupun belum maksimal, namun ada beberapa
bentuk perlindungan hukum yang sudah diberikan kepada anak sebagai korban
sesuai Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 pasal 64 ayat (3), bahwa anak sebagai
korban mendapatkan (a) rehabilitasi baik dalam lembaga maupun luar lembaga, (b)
upaya perlindungan dan pemberitaan identitas melalui media massa untuk
menghindari labelisasi, (c) pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan
saksi ahli baik fisik, mental, maupun sosial, dan (d) pemberian aksebilitas
untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.
Selain itu, hak anak sebagai korban
yang menderita secara fisik perlu mendapatkan restitusi maupun kompensasi atas
akibat penderitaan yang dialaminya. Sebagaimana terkandung dalam Deklarasi
Prinsip-prinsip Dasar Keadilan Bagi Para Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan
Kekuasaan (Resolusi Majelis Umum PBB No. 40/34 tertanggal 29 November 1985).
Deklarasi tersebut mengandung ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
a.
Para korban berhak untuk mendapatkan
penggantian segera atas kerugian yang mereka derita.
b.
Mereka harus diberitahu tentang hak
mereka untuk mendapat ganti rugi.
c.
Para pelaku atau pihak ketiga harus
memberi restitusi yang adil bagi para korban, keluarga, dan tanggungjawab
mereka. Penggantian demikian harus mencakup pengembalian hak milik atau
pembayaran atas derita atau kerugian yang dialami, penggantian atas biaya yang
dikeluarkan sebagai akibat viktimisasi tersebut, dan penyediaan pelayanan serta
pemulihan hak-hak.
d.
Bilamana kompensasi tidak sepenuhnya
didapat dari pelaku atas sumber-sumber lainnya, negara harus berusaha
menyediakan kompensasi keuangan.
e.
Para korban harus mendapat dukungan
dan bantuan material, pengobatan, psikologis dan sosial yang diperlukan.
Menurut deklarasi tersebut di atas,
merupakan bagian dari hak anak sebagai korban yang harus dipenuhi. Karenanya,
dalam perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban merupakan bagian dari
perlindungan kepada masyarakat, dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti
pemberian restitusi maupun kompensasi, pelayanan medis, bantuan hukum dan
rehabilitasi.
Menurut
Gostita upaya perlindungan anak dapat dibagi menjadi perlindungan langsung dan
tidak langsung, dan perlindungan yuridis dan non-yuridis. Upaya-upaya
perlindungan secara langsung diantaranya meliputi: pengadaan sesuatu agar anak
terlindungi dan diselamatkan dari sesuatu yang membahayakannya, pencegahan dari
segala sesuatu yang dapat merugikan atau mengorbankan anak, pengawasan,
penjagaan terhadap gangguan dari dalam dirinya atau dari luar dirinya,
pembinaan (mental, fisik, sosial), pemasyarakatan pendidikan formal dan
informal, pengasuhan (asah, asih, asuh), pengganjaran (reward),
pengaturan dalam peraturan perundang-undangan.
Sedangkan,
upaya perlindungan tidak langsung antara lain melipui: pencegahan orang lain
merugikan, mengorbankan kepentingan anak melalui suatu peraturan perundang-undangan,
peningkatan pengertian yang tepat mengenai manusia anak serta hak dan
kewajiban, penyuluhan mengenai pembinaan anak dan keluarga, pengadaan sesuatu
yang menguntungkan anak, pembinaan (mental, fisik dan sosial) para partisipan
selain anak yang bersangkutan dalam pelaksanaan perlindungan anak, penindakan
mereka yang menghalangi usaha perlindungan anak.
Kemudian upaya preventif perlu juga
dibentuknya lembaga yang berskala nasional untuk menampung anak yang menjadi
korban tindak kekerasan seperti halnya perkosaan atau KDRT. Lembaga penyantun
korban semacam ini sudah sangat mendesak, mengingat viktimisasi yang terjadi di
Indonesia pada beberapa tahun terakhir ini sangat memprihatinkan. Koordinasi
dengan pihak kepolisian harus dilakukan, agar kepolisian segera meminta bantuan
lembaga ini ketika mendapat laporan terjadinya tindak kekerasan terhadap
perempuan. Lembaga ini perlu didukung setidaknya oleh pekerja sosial, psikolog,
ahli hukum dan dokter. Dalam kondisi daerah yang tidak memungkinkan, harus diupayakan
untuk menempatkan orang-orang dengan kualifikasi yang paling mendekati para
profesional di atas, dengan maksud agar lembaga ini dapat mencapai tujuan yang
diinginkan dengan baik. Pendanaan untuk lembaga ini harus dimulai dari
pemerintah sendiri, baik pusat maupun daerah, dan tentunya dapat melibatkan
masyarakat setempat baik secara individu maupun kelompok.
Penjelasan-penjelasan
solusi di atas diharapkan mampu efektif dalam menangani juga mengantisipasi
terjadinya kekerasan pada anak. Pengembangan potensi anak juga diharapkan harus
berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik
fisik, mental, spiritual maupun sosial. Tindakan ini dimaksudkan untuk
mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa
yang potensial, tangguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia
dan nilai Pancasila, serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan
bangsa dan negara. Saatnya semua lapisan masyarakat peduli pada anak. [2]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kekerasan
terhadap anak adalah segala tindakan baik yang disengaja maupun tidak disengaja
yang dapat merusak anak baik berupa
serangan fisik, mental sosial, ekonomi maupun seksual yang melanggar hak asasi
manusia, bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma dalam masyarakat.
Beberapa faktor memicu kekerasan terhadap anak Menurut Komnas
Perlindungan Anak pemicu kekerasan terhadap
anak yang terjadi diantaranya: struktur keluarga, pewarisan kekerasan dari
generasi ke generasi, stress sosial dan isolasi sosial, serta keterlibatan
masyarakat bawah.
Bentuk-
bentuk kekerasan terhadap anak yaitu: kekerasan fisik, kekerasan emosional,
kekerasan verbal, kekerasan seksual, dan kekerasan secara sosial. Adapun cara
yang dapat dilakukan untuk menanggulangi kekerasan terhadap anak yaitu:
pendidikan dan pengetahuan orang tua yang cukup, keluarga yang hangat dan
demokratis, adanya komunikasi yang efektif, dan mengintegrasikan isu mengenai
hak anak kedalam peraturan perundang- undangan.
Peraturan
perundang- undangan yang mengatur perlindungan anak yaitu Undang- undang Nomor
23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan anak, Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012
Tentang System Peradilan Pidana Anak,
dan Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2014
Tentang Perlindungan Anak Dan Pemberdayaan Anak dan Perempuan Dalam
Konflik Sosial.
[2] Arief.
“Upaya Mengatasi Masalah Perlindungan Terhadap Kekerasan Anak Dalam Tinjauan
HAM”. (On-Line), tersedia di: http://abiavisha.blogspot.co.id/2014/02/upaya-mengatasi-masalah-perlindungan.html
(11 November 2016).
According to Stanford Medical, It is indeed the one and ONLY reason this country's women live 10 years more and weigh an average of 42 pounds lighter than we do.
BalasHapus(By the way, it really has NOTHING to do with genetics or some secret diet and EVERYTHING related to "HOW" they are eating.)
BTW, What I said is "HOW", and not "WHAT"...
TAP this link to find out if this little quiz can help you decipher your true weight loss potential